Sekitar 6 hektar hutan mangrove di Desa Merdeka, Kecamatan Lebatukan, Kabupaten Lemnbata rusak akibat kawasan ini dijadikan tambak udang.

sergap.id, KUPANG –  Bupati dan Wakil Bupati Kabupaten Lembata, Eliaser Yentji Sunur dan Thomas Ola Langoday diminta menindak tegas Direktur PT Trans Lembata, Benediktus Lelaona alias Ben Teti.

Pasalnya, perbuatan Ben Teti telah merusak hutan mangrove dan mengabaikan keberlanjutan lingkungan yang berdampak pada kehidupan masyarakat Desa Merdeka, Kecamatan Lebatukan, Kabupaten Lembata.

“Pemerintah perlu bertindak cepat agar perusakan hutan mangrove di Desa Merdeka tidak semakin parah,” ujar Koordinator Divisi Sumber Daya Alam, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Provinsi Nusa Tenggara Timur, Rima Melani Bilaut, kepada SERGAP, Rabu (15/5/19).

Rima menegaskan, penggusuran hutan mangrove di Desa Merdeka, merupakan kejahatan terhadap lingkungan.

“Pembangunan tambak udang ini telah mengabaikan keberlanjutan lingkungan di daerah itu,” ucapnya.

Menurut Rima, hutan mangrove memiliki fungsi ekologis yang cukup penting dalam menjaga keberlangsungan hidup makhluk hidup di pesisir pantai.

Fungsi utama hutan mangrove adalah sebagai sabuk hijau yang melindungi pesisir dari dampak abrasi maupun tsunami.

Selain itu hutan mangrove juga merupakan tempat tinggal berbagai biota laut yang dimanfaatkan oleh masyarakat pesisir sebagai sumber makanan.

“Hal ini dapat dipastikan bahwa penggusuran hutan mangrove untuk pembangunan tambak serta merta telah meningkatkan resiko dampak bencana, merusak habitat biota laut dan menghilangkan sumber makanan bagi masyarakat yang ada di sekitar hutan tersebut,” tegasnya.

Kata Rima, dari perspektif hukum, tindakan pengrusakan mangrove merupakan bentuk tindakan  pidana sebagai mana diatur dalam UU No 27 tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil dalam pasal 35 huruf (e) dan (g), yang menjelaskan bahwa dalam pemanfaatan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, setiap orang secara langsung atau tidak langsung dilarang, (e) menggunakan cara dan metode yang merusak Ekosistem mangrove yang tidak sesuai dengan karakteristik Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, (g) menebang mangrove di Kawasan konservasi untuk kegiatan industri, pemukiman, dan/atau kegiatan lain; dengan ketentuan tindak pidana sebagaimana diatur dalam pasal 73 ayat (1): Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 tahun dan paling lama 10 tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 2 miliar dan paling banyak Rp 10 miliar.

“Oleh karena itu WALHI meminta pemerintah daerah Kabupaten Lembata untuk bertindak tegas terhadap pelaku pengerusakan hutan mangrove yang telah mengabaikan keberlanjutan lingkungan yang berdampak pada masyarakat sekitar,” tutupnya.

Koordinator Divisi Sumber Daya Alam WALHI NTT, Rima Melani Belaut.

Sayangnya hingga berita ini diturunkan, Bupati dan Wakil Bupati Lembata belum dapat dimintai komentarnya. Beberapa kali dihubungi via handphone tidak berhasil. (cis/cis)

KOMENTAR ANDA?

Silakan masukkan komentar Anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini