Gereja Mataloko

sergap.id, KISAH – Pada tahun 1962-1965 Bapak Gereja seluruh dunia mengikuti Konsili Vatikan II di Roma. Konsili yang dibuka oleh Paus Yohanes ke 23 tersebut menghasilkan konsep gereja baru yang hingga sekarang jadi bahan permenungan para teolog.

Konsep yang di maksud adalah gereja sebagai umat Allah.

Secara sederhana konsep ini berarti setiap orang adalah anggota Gereja dan bertanggung jawab terhadap perkembangan iman gereja.

Secara institusional berarti pusat gereja tidak berada di Roma tetapi di setiap komunitas umat Allah di bawah pimpinan Uskup yang mengembangkan imannya dengan seluruh kemampuan hati dan akal budinya.

Konsep ini mengubah arah pastoral di seluruh dunia, meskipun harus diakui gagasan ini tidak mudah dipraktikkan.

Yang harus diperhatikan adalah ketika misi membawa kristus ke sebuah wilayah, wilayah tersebut harus membangun dirinya sebagai Gereja. Ini berarti harus ada pemimpin umat yang bekerja sama dengan umat.

Gagasan ini seakan-akan mengantisipasi perubahan politik nasional di Indonesia.

Pada tahun 1970-an, muncul peraturan dari Departemen Agama RI untuk membatasi Jumlah pastor asing dan sumbangan finansial asing bagi kegiatan-kegiatan keagamaan.

Bagi Gereja Indonesia, kebijakan politik ini mendorong pimpinan Gereja tidak ditentukan dari luar, tetapi dari Indonesia sendiri.

Bertolak dari pemikiran teologis mengenai Gereja dan kebijakan politik tersebut, terjadilah perubahan besar dalam tata kelola kegerejaan dari konsep misi dan yurisdiksi ordo-ordo religius tertentu kepada konsep Gereja Lokal yang langsung menjadi tanggung jawab uskup setempat.

Keuskupan-keuskupan di Indonesia harus mempersiapkan diri mengambil langkah-langkah untuk menjadi Gereja Lokal yang mandiri, baik dari segi personalia maupun finansial di bawah mandat seorang uskup sebagai pemimpin Gereja.

Berkaitannya dengan perubahan gagasan Gereja hasil Konsili Vatikan II ini mengubah cara umat Paroki Todabelu Mataloko tentang dirinya dan Gerejanya.

Gereja Todabelu Mataloko harus berubah statusnya sebagai stasi misi menjadi sebuah paroki yang mandiri yang dikelola berdasarkan kebijakan-kebijakan pastoral Gereja Lokal Keuskupan Agung Ende.

Selain itu Gereja Lokal harus menghasilkan sendiri untuk pastor Gereja dan jika perlu membiayai sendiri kehidupan gerejanya dan gembalanya.

  • Kehadiran Iman-Iman Diosesan

Pada tanggal 11 Juni 1969, Pater Donatus Djagom SVD diangkatnya menjadi uskup Keuskupan Agung Ende. Selain menambah stasi di wilayah Keuskupan Agung Ende, Mgr Donatus Djagom mengambil langkah baru sesuai dengan semangat Kongsili Vatikan II.

Pembangunan fisik dan tugas mempermandikan orang Flores tidak lagi menjadi prioritasnya. Ketika ia menjadi Uskup, umat Katolik di keuskupannya sudah mencapai 423.589 jiwa yang dilayani oleh dirinya bersama 130 Imam, 72 Bruder, dan 210 Suster.

Karena itu pada tahun 1980-an ia menegaskan bahwa pembangunan fisik dihentikan dan perhatian para pastor  diarahkan kepada pembangunan rohani.

Meskipun pernyataan ini dikemukakan pada tahun 80-an, Mgr Donatus Djagom sudah melihat bahwa tugas yang lebih sulit yang dihadapi umat adalah pengembangan imamnya sendiri.

Strategi ini berlaku juga bagi paroki Todabelu Mataloko, yaitu agar Paroki Mataloko sebagaimana paroki-paroki lain di Keuskupan Agung Ende, membangun diri secara pasti di atas visa Gereja sebagai Umat Allah.

Dalam visi baru tersebut, seluruh aktivitas Gerejani di paroki ini di bangun di atas dasar iman dan solidaritas umat Paroki sendiri. Konsentrasi Pastoral pun diarahkan kepada pendewasaan iman umat.

Dengan misi baru inilah, Uskup Donatus Djagom memberi tugas kepada Romo Nikolaus Parera Pr pada tahun 1971 untuk melakukan terobosan baru ke arah visi umat basis tersebut.

Tugas utamanya tidak lagi sekedar membaptiskan banyak orang Mataloko menjadi Katolik, karena semua sudah menjadi Katolik, tetapi menjadikan iman mereka lebih dewasa. Ini membawa implikasi yang penting bagi pengembangan paroki.

Sebagai paroki umat Katolik Todabelu menyadari bahwa partisipasi mereka amat dibutuhkan, tidak hanya keterlibatan dalam Liturgi, tetapi juga bidang organisasi, sosial dan ekonomi. Karena itu, , Dewan Gereja yang sudah dibentuk pada masa Mgr Verstraelen SVD diaktifkan dan didukung oleh terbentuknya  lingkungan-lingkungan.

Tujuannya adalah untuk partisipasi umat dimaksud. Partisipasi umat dipahami dalam kacamata Gereja sebagi umat basis sebagai tanggung jawab atas mati hidupnya gereja, baik dari segi kerohanian maupun material, dari segi organisasi maupun budaya tata kelolanya, dari segi liturgi maupun aktivitas sosial ekonomi.

Setelah Rm Nikolaus Parera, penanganan Paroki selalu berada di tangan imam-imam dioselan yang terdiri dari orang-orang Flores yang mengenyam pendidkan filsafat dan teologi dengan pembekalan pengetahuan dan keterampilan pastoral dalam lingkungan Flores.

Berikut adalah nama Pastor Paroki dari masa ke masa, yakni tahun 1969-1979 Rm Niko B. Pareira Pr, 1977-1989 Rm Crispinus V. Riberu Pr, 1987-1995 Rm Cyrillus Lena Pr, 1995-2003 Rm Daniel Aka Pr, 2003-2007 Rm Innocentius Soka Pr, 2007-2011 Rm Arnoldus Dhae Pr, 2011-2016 Rm Steferius Meno Pr, dan tahun 2016 sampai Sekarang Rm Basilius Lewa Pr.

Rintisan perubahan gagasan pastoral baru tersebut terjadi sekitar tahun 1970 hingga tahun 1980 atau dimasa kepemimpinan tiga imam diosisan pertama, yakni Romo Niko Parera, Romo Chrispinus V. Riberu dan Rm Cyrillus Lena.

Dalam arah teologi dan pastoral baru ini, sesuatu yang terjadi adalah penataan organisasi paroki ke dalam lingkungan-lingkungan, pengembangan kehidupan keluarga kecil yang mandiri, pembangunan fisik di lingkungan-lingkungan, dan musik liturgis yang inkulturatif.

Periode ini merupakan waktu paling menentukan bagi sukses selanjutnya. Tanpa tonggak perubahan tersebut, paroki Todabelu Mataloko mungkin akan mewarisi sebuah corak yang berbeda dari yang sekarang.

  • Penataan Organisasi Umat Basis

Jika memperhatikan reksa pastoral Keuskupan Agung Ende pada tahun 1970-an, sudah bisa membayangkan bagaimana Gereja harus merintis organisasi baru dalam semangat Konsili Vatikan II yang melihat umat sebagai basis bagi gereja sakramen Roh Kudus.

Dalam perspektif baru ini, Paroki Todabelu Mataloko dibagi ke dalam lingkungan-lingkungan, dan masing-masing lingkungan terdiri dari kelompok-kelompok doa. Untuk mudahnya, Lingkungan biasanya di dasarkan pada desa-desa yang ada, bahkan namanya pun disesuaikan dengan nama desa setempat. Misalnya Desa Sorasedu memiliki lingkungan Sarasedu; Desa Sangadeto memiliki lingkungan Sangadeto.

Pendekatan  ini tidak hanya mudah dilaksanakan tetapi juga efektif, karena struktur desa sudah lebih mantap. Namun demikian ada hal yang lebih strategis. Hampir di semua lingkungan terdapat kerja sama yang sangat erat antara kepala desa dan ketua lingkungan.

Hubungan harmoni ini berhubungan dengan kebersamaan dalam program yang saling melengkapi. Meskipun dalam kenyataan kepala desa berurusan dengan bidang duniawi dan ketua lingkungan berurusan dengan dunia rohani. Tapi mereka berhadapan dengan umat dan rakyat yang sama yang berjuang mengatasi kemiskinan, pendidikan dan kesehatan.

Pastor paroki dalam organisasi baru otomatis menjadi Ketua Dewan Gereja (bisa dibaca dewan paroki) yang tidak hanya bertanggung jawab pada kegiatan liturgis, tetapi juga organisasi Paroki.

Dengan tanggung jawab baru tersebut, Pastor Paroki mengenal dengan baik anggota Dewan Paroki serta ketua lingkungan dan wakil-wakilnya.

Rapat Dewan Paroki menjadi sarana yang baik tidak hanya untuk memecahkan masalah tetapi juga meningkatkan kerja sama yang baik antara umat dan Pastor Paroki.

Sementara itu, tokoh-tokoh umat yang dipercayakan sebagai ketua lingkungan melakukan inisiatif dengan mengunjungi kelompok-kelompok doa, baik dalam rangka pembinaan rohani maupun dalam rangka peningkatan partisipasi umat untuk menghidupi Gerejanya.

Inisiatif semacam ini yang membuat partisipasi umat dalam pengembangan iman yang diandalkan.

  • Perkawinan Katolik dan Penataan Keluarga Kecil

Monogami sudah dikenal jauh sebelum tahun 1970-an ketika orang-orang Ngada menjadi Katolik. Namun demikian, para misionaris Serikat Sabda Allah belum mengubah pola kehidupan keluarga besar. Dalam pola ini, beberapa keluarga masih tinggal bersama dalam satu rumah adat.

Kebetulan tahun 1980-an pemerintahan merencanakan pola kehidupan keluarga kecil dengan dua anak saja. Ajakan pemerintah ini tentu saja memiki implikasi yang rumit tentang metode keluarga berencana yang tidak perlu dibahas di sini. Namun di mata Gereja, konsep keluarga kecil ini pantas didukung karena mengikuti keluarga Nasareth yang hanya terdiri dari Yesus, Maria, dan Yosep.

Dengan wawasan tersebut, setiap calon pasangan suami isteri sudah dari awal dibekali dengan gagasan kemandirian keluarga kecil. Keluarga baru tidak di ijinkan untuk hidup bersama orang tua mereka masing-masing, tetapi harus sedapat mungkin keluar dari rumah orang tua dan membangun sendiri kehidupan keluarga sesuai dengan keinginan mereka sendiri.

Dalam persiapan perkawinan yang disponsori Paroki, anak-anak muda yang disiapkan untuk memiliki kebun dan sawah sendiri, rumah sendiri, dan bahkan rencana sendiri dalam mengarungi kehidupan mereka.

Dengan konsep baru tersebut, Gereja memiliki sumbangan yang besar bagi pengembangan keluarga kecil yang bahagia.

Untuk menggantikan orang tua, para wali perkawinan tidak hanya sekedar menjadi saksi perkawinan, tetapi juga diberikan tanggung jawab moral untuk menjadi pengayom keluarga kecil yang baru dibangun itu.  Karenanya, jika ada keluarga yang mengalami masalah, maka bukan orang tua yang turun tangan, tetapi para wali perkawinan.

  • Pembangunan Fisik Rumah Ibadat Lingkungan   

Situasi ekonomi Ngada pada periode 1970-an tidak menggembirakan. Periode ini hampir setiap pelosok di Ngada masih terdapat kelaparan di bulan-bulan tertentu. Kebanyakan umat terdiri dari petani miskin yang belum memenuhi kebutuhan pokok sewajarnya.

Pembangunan di bidang pertanian dengan aktivitas menanam tanaman perdagangan seperti kopi dan kelapa baru dirintis ketika Jan Botha menjadi Bupati Ngada. Lebih dari 50% umat masih hidup dalam serba kekurangan.

Tingkat pendidikan pun belum meyakinkan, karena rata-rata penduduk hanya mengenyam pendidikan dasar.

Hingga akhir tahun 1970-an, Ngada (termasuk di sini Nagakeo) hanya memiliki 3 Sekolah Menengah Atas, yakni SPMA Boawae, SMA Seminari Todabelu, dan SMA Ki Hajar Dewantara Bajawa.

Dalam keadaan yang tidak begitu menguntungkan karena keadaan sosial ekonomi Ngada belum begitu baik, umat Paroki Mataloko menyanggupkan diri untuk membangun imannya sendiri dengan ongkosnya sendiri.

Meskipun Mgr Donatus Djogam menegaskan bahwa pembangunan fisik sudah cukup, umat Paroki Mataloko di Lingkungan –lingkungan yang jauh dari Mataloko membutuhkan tempat ibadahnya sendiri.

Menjelang usianya yang 100 tahun, Paroki Mataloko memiliki 13 Lingkungan, yaitu Lingkungan Sangadeto, Lingkungan Paubuku, Lingkungan Wolorowa, Lingkungan Feo, Lingkungan Malanuza, Lingkungan Puuboa, Lingkungan Mataloko, Lingkungan Wogo, Lingkungan Ratogesa, Lingkungan Todabelu, Lingkungan Ekoroka, Lingkungan Waeia, Lingkungan Ulubelu.

Dari lingkungan 13 lingkungan tersebut, paroki Mataloko memiliki satu gereja pusat yang dikelilingi 6 kapela, yaitu Kapela Sangadeto,         Kapela Paubuku, Kapela Wolorowa, Kapela Feo,               Kapela Malanuza, dan    Kapela Puuboa.

Jelang usianya yang ke 100, umat Paroki Mataloko merenovasi sendiri gedung Gereja ditambah dengan aula sebagai pendukung kegiatan pastoral paroki.

Umat bahu membahu membangun rumah ibadah dengan kekuatannya sendiri. Semua ini menunjukan bahwa iman umat Mataloko sudah menjadi sebuah tekad untuk maju bersama dalam kebersamaan meskipun keadaan ekonomi tidak begitu baik.

  • Musik-Musik Liturgi Inkulturatif

Martinus Runi, musikus liturgis asal Ngada, pernah bercerita bahwa musik-musik Ngada memiliki karakter liturgis. Pengarang musik liturgis yang berbakat ini menghasilkan beberapa lagu liturgis dengan latar belakang kebudayaan setempat.

Bagi orang Ngada, lagu misa Panca Windu merupakan hasil artistik liturgis yang pantas diangkat jempol dan menjadi contoh bagi banyak orang.

Ada beberapa nama pengarang lagu liturgis asal Todabelu Mataloko, seperti Daniel Watu dan Yohanes Wawo.

Daniel Watu sering mencipta lagu liturgis dengan latar belakang nada-nada voi (musik suling ganda) yang dikenal oleh masyarakat sekitar Sarasedu. Sementara Yohanes Wawo mencipta lagu-lagu dengan latar belakang budaya Reba.

Menjelang akhir decade tahun 1990-an, kita dapat menyaksikan partisipasi estetis liturgis yang makin menakjubkan. Lagu dan tarian Ngada menjadi bagian tak terpisahkan dari cara bagaimana orang-orang Mataloko dan Ngada memuji Tuhan penciptanya. Inkulturasi yang diusulkan Kongsili Vatikan II dipraktekan secara nyata dan sukacita.

  • Inkulturasi yang Pantas Diperhatikan        

Sekitar 1990-an, Katalin Andrea Molnar melakukan penelitian terhadap orang-orang Sarasedu. Ia menyeburt masyarakat yang mendiami bagian timur paroki Todabelu Mataloko ini dengan nama Hoga Sara. Mereka tinggal di 5 kampung dengan penduduk kurang lebih 1.200 orang.

Sejak agama Katolik masuk hingga tahun 1960, mereka diajarkan untuk tidak lagi memuja para leluhur, meninggalkan pikiran mengenai roh-roh halus seperti nitu dan polo. Bahkan mereka mencoba meninggakan ritus yang berkaitan dengan siklus kehidupan manusia dan kegiatan bertani. Namun sebagaimana oleh molnar, ketika dilarang di Gereja mereka menyembunyikan peralatan-peralatan ritus.

Dewasa ini ritus-ritus adat yang berkaitannya dengan penghormatan pada para leluhur dipraktekan kembali. Upacara kematian anggota keluarga merupakan sebuah contoh kecil. Jika seseorang meninggal, kerbau akan dibunuh karena kerbau diyakini sebagai kendaraan ke dunia gaib nenek moyang.

Sebelum kerbau dipotong, seorang pemangku adat akan berdoa didepan “altar” rumah adat memohon agar saudara mereka yang meninggal dapat diterima di alam gaib nenek moyang.

Selain ritus penguburan, Hoga Sara juga masih mengadakan ritus musim bertani. Tanpa di sadari rumah adat yang sering dikenal dengan Sa’o Pu’u memiliki ritus tersendiri ketika klan mereka mulai menanam dan mengetam.

Dari rumah adat itu dipercayai bahwa berkat melimpah akan datang bagi anak-anak cucu mereka jika ritus-ritus tersebut dilaksanakan secara rutin. Karena itu, kegiatan bertani selalu diawali dengan ritus dari rumah adat tersebut.

Setelah modernisasi, Hoga Sara bertindak sangat rasional. Dengan alasan kesehatan misalnya ritus kelahiran anak tidak dilaksanakan. Mereka akan lebih memilih rumah sakit bersalin. Tetapi ketika anak menginjak usia dewasa, perempuan masih melaksanakan ritus potong gigi.

Karena itu, ada sinisme yang perlu diperhatikan ketika inkulturasi menjadi bagian dari kehidupan beriman secara katolik.

Sebagaimana ditulis Molnar, inkulturasi bertujuan membawa agama dan Allah ke dalam setiap segi kehidupan masyarakat setempat. Bahkan jika merayakan ritus-ritus adat, mereka mengakui kehadiran Allah. Namun menyembah nenek moyang dan menyembah Allah adalah dua hal yang berbeda yang tidak dapat disadari dengan jelas oleh orang Hoga Sara.

Molnar adalah seorang profesor yang memiliki teori bahwa kehidupan budaya sebuah masyarakat sulit dihapus meskipun modernisasi mencoba menghilangkannya. Penelitian mengenai Hoga Sara bisa diambil sebagai contoh untuk membuktikan bahwa teorinya dapat diandalkan.

Tetapi apa yang dikatakan Molnar pantas mendapat perhatian. Catatan mengenai Hoga Sara ini mengingatkan kita apa artinya menjadi Katolik dalam suasana inkulturatif dewasa ini.

Hoga Sara benar-benar 100 persen Katolik dari segi statistik. Mereka juga menghadiri misa setiap hari minggu, melakukan devosi kepada Maria, dan devosi-devosi Katolik lainnya. Tetapi bagaimana mereka dapat mengembangkan diri sebagai orang Katolik sementara praktik-praktik tradisional tetap di jalakan?

Dalam suasana inkulturatif dewasa ini, perlu sebuah kecermatan dalam melihat apa yang sudah dirumuskan oleh Mgr Donatus Djagom bahwa iman umat harus didewasakan.

Ketika Mgr Donatus Djagom merumuskan arah pastoral ini, ia menyadari apa yang sudah dikatakan oleh pendahulunya Mgr Leven yang mengatakan bahwa para misionaris “hanya mengetahui 5 persen dari apa yang terjadi di wilayah-wilayah pedesaan, di antara keluarga-keluarga di kampung-kampung kecil.”

Sisanya, yaitu 95 persen kehidupan mereka, termasuk suasana rohani masih tetap menjadi misteri bagi misionaris, pastor, bahkan uskup sendiri.

  • Dimensi Misionaris Umat     

Apapun yang dapat dikatakan mengenai kedewasaan iman umat, de facto umat memiliki penghayatan iman yang pantas dijadikan contoh. Beberapa keluarga di banyak lingkungan kerap kali dilihat sebagai contoh untuk saudara-saudarinya seiman. Mereka tidak hanya aktif dalam kegiatan kegerejaan, tetapi juga menjadi model dari kekudusan sebagai orang kristen.

Buah-buahnya nyata. Jumlah panggilan hidup sebagai imam, bruder, dan suster cukup. Hingga sekarang tercatat 19 iman 35 suster 3 bruder yang tidak hanya bekerja di Indonesia tetapi di seluruh pelosok bumi, baik di negara sedang berkembang seperti Asia, Afrika, dan Amerika Latin, juga di negara-negara maju seperti Australia, Rusia, Austria, dan Jerman.

Jika seratus tahun yang lalu, para misionaris datang untuk mengajarkan orang-orang Ngada di Todabelu Mataloko tentang Tuhan dan perikemanusiaan, dewasa ini terjadi gerak balik. Putera-puteri Paroki Todabelu Mataloko datang ke Eropa, Afrika, Asia dan Amerika untuk mengajarkan bahwa misionaris yang mereka utus masih benar bahwa Gereja Roh Kudus akan selalu menerangi hati.

Hal ini menunjukan bahwa umat paroki Todabelu Mataloko juga menyadari bahwa keterbukaan mereka pada Rahmat Allah tidak datang dari diri mereka, tetapi merupakan karunia dari Roh Kudus. Jika secara manusiawi, umat paroki memiliki batas-batas kultural psikologis, melalui Rahmat Allah segala sesuatu disempurnakan.

Hasil kreasi seni bangunan Gereja Roh Kudus Paroki Mataloko mencerminkan imajinasi bahwa Roh Kudus yang menjiwai para rasul juga menjiwai Umat Ngada.

Karena itu 100 tahun Paroki Mataloko merupakan juga 100 tahun Roh Kudus menerangkan pikiran dan hati masyarakat Ngada.

*) Artikel ini ditulis oleh Mikhael Dua, Theodorus Bate, Alo Lele Madja, Theresia Utha, Dorothea Dhiu, Yohanes Dogha, Yosef Leo, Nikolaus Tangi Wato (Alm) dan Yohanes Wigo Soi (Alm) dalam rangka 100 Tahun Paroki Roh Kudus Mataloko (1920 – 2020) yang disarikan oleh Chris Parera.

KOMENTAR ANDA?

Silakan masukkan komentar Anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini