Murid SDK Lo'oneka, Laenmanen, Malaka.

sergap.id, LAENMANEN – Masalah ekonomi adalah masalah utama bagi masyarakat Indonesia yang tinggal di tapal batas Indonesia – Timor Leste, persisnya di Kecamatan Laenmanen, Kabupaten Malaka, Provinsi NTT.

Namun masyarakat di sini tidak pasrah dengan keadaan. Berbagai upaya dilakukan untuk bisa bertahan hidup dan menyekolahkan anak.

Salah satu yang dilakukan oleh para orang tua murid di daerah ini adalah membuat tas sekolah dari anyaman daun lontar. Yang berbentuk lonjong untuk dipakai murid laki-laki, dan yang berbentuk bulat untuk murid perempuan.

Tas unik ini terlihat digunakan kebanyakan siswa-siswi SDK Lo’oneke, Laenmanen saat ke sekolah. Warga lokal menyebutnya dengan nama Kloat. Fungsinya untuk mengisi buku dan perbekalan sekolah.

“Orang mungkin melihat ini sebagai hal yang kuno, tetapi mereka terlihat gembira mengenakan apa yang dirajut dari jemari ibu mereka sendiri. Ini sangat luar biasa,” ujar salah seorang warga Laenmanen saat bincang-bincang bersama SERGAP, Rabu (1/8/18).

Murid SDK Lo’oneka dengan tas sekolahnya.

Bagi para murid SDK Lo’onek, karya orang tua mereka ini merupakan karya bernilai tinggi. Karena itu, mereka tidak malu menggunakannya. “Justru kami merasa bangga,” tegas salah satu murid.

Isto Asit, guru SDK Lo’oneke, mengaku, jelang HUT RI 17 Agustus 2018, semua murid SDK Lo’oneka diharuskan memakai tas Kloat.

Momentum ini dimanfaatkan sebagai ajang cerita kehidupan anak negeri yang tinggal di tapal batas dan menjadi moment kebangkinan nasionalisme kaum muda di seluruh Indonesia setelah mendengar asupan kisah anak didik di tapal batas ini.

Selain itu, para murid juga diajarkan untuk mencintai produk negeri sendiri sejak usia dini.

“Ini adalah kretifitas daerah, sekaligus mengenalkannya kepada generasi muda sejak usia dini. Ini sisi positif tentang keberagaman budaya di Indonesia,” katannya.

Murid SDK Lo’oneka dengan tas sekolahnya.

Menurut dia, momentum lahirnya NKRI menjadi agenda penting bagi anak didik di tapal  batas. Banyak dari mereka yang menceritakan tentang kehidupan mereka sebagai anak miskin.

“Anak anak tidak terlalu paham dengan sebutan itu. Lagi pula apa pun tujuanya, tidak ada pengaruhnya dengan nasib hidup sebagai anak miskin di tapal batas ini. Tapi kita mesti mengajarkan kepada anak-anak agar bersemangat bangkit dari keterpurukan melalui produk lokal,” ucapnya. (sel/sel)

KOMENTAR ANDA?

Silakan masukkan komentar Anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini