Hanya di Indonesia setiap saat kita mendengar penistaan dan penodaan agama. Agama bisa dijadikan jembatan politik kalau itu menguntungkan kekuasaan dan mayoritas meski tindakan mereka membahayakan NKRI.
Soal mereka adalah radikal itu urusan belakang ketika kekuasaan sudah didapatkan menjual ideologi agama. Intinya posisi aman dululah. Dan ini hanya ada di Indonesia yang dikenal paling religius se-Asia.
Demikian juga agama selalu menjadi senjata dakwaan yang paling ampuh untuk memenjarakan mereka yang menyinggung agama dari mereka yang merasa diri paling religius namun diam ketika kelompok mereka sesuka hati memfitnah dan menista agama lain.
Pada akhirnya kita bisa memahami bahwa kereligiusan kita hanya ditentukan oleh kekuataan massa yang bisa didekati secara politis dan bisa menekan penegakan hukum bagi yang dianggap sebagai penista dan banyaknya laporan dan dakwaan atas nama penodaan agama.
Kebenaran sebuah ucapan dan tindakan tidak lagi ditentukan oleh penilaian iman dan moral yang merupakan penjelasan dari ajaran-ajaran suci agama namun lebih ditentukan oleh suara mayoritas yang lebih banyak menggaungkan narasi-narasi penistaan.
Sedang suara minor yang berusaha untuk mendapatkan dan merasakan keadilan dan kebenaran yang hakiki hanya berhenti pada alasan basi; “itu khan dia berbicara didepan jemaatnya. Atau dia hanya meneruskan meme tersebut dan bukan pelaku pembuat meme.”
Argumentasi untuk membenarkan maupun menyatakan salah sebuah tindakan acap kali tidak lagi ditentukan oleh Kebenaran ajaran agama melainkan oleh kekuatan mayoritas. Tindakan ini yang seringkali menjadi tragedi kelompok minoritas. Kebenaran dan keadilan hakiki yang diperjuangkan oleh kaum minoritas pada gilirannya terhalang oleh argumentasi kaum atau kelompok mayoritas.
Agama yang adalah ekspresi iman secara bebas dan bertanggungjawab justru menjadi ekspresi kekuasaan kelompok tertentu yang kadang dengan mudah menuduh penistaan ketimbang menggugat tindakan korupsi yang sejatinya menodai ajaran-ajaran iman dan moral agama.
Ajaran agama yang adalah menjadi pedoman iman dan moral bagi jemaatnya justru menjadi penentu kebijakan mayoritas dalam sebuah fakta kata bahasa halal dan haram. Bangsa yang didiami oleh sekian agama dan kepercayaan sepertinya tunduk pada ajaran satu agama yang memiliki kekuatan mayoritas.
Abu Hamid Al Ghazali mengatakan demikian; “Korupsi agama berasal dari mengubahnya ke kata-kata belaka dan penampilan.”
Kondisi keagamaan akhir-akhir ini memang menjadikan agama hanya sebatas kata-kata dan penampilan. Kata-kata yang paling banyak digaungkan meski bersifat koruprif dan penampilan yang mengorupsi kesalehan menjadi penentu kebenaran dan bukan kebenaran dari ajaran agama itu sendiri.
Bahkan korupsi agama dalam kata-kata dan penampilan secara terang benderang masuk dalam ruang-ruang demokrasi. Demokrasi yang tidak tergantung pada otoritas agama apapun, di Indonesia justru sebaliknya. Agama oleh kelompok tertentu dijadikan sebagai otoritas penentu demokrasi yang kita kenal dengan politik ayat suci dan politik identitas (bdk. Pierre Joseph Proudhon; Ekonom dan Sosiolog Perancis- 1809-1865).
Realitas akhir-akhir ini dimana kasus penistaan agama yang diduga dilakukan oleh kelompok minoritas menjadi begitu getol disuarakan dan sebaliknya jika dilakukan oleh kelompok yang dianggap mayoritas seakan tak berbunyi nyaring karena agama dijadikan oleh kelompok mayoritas sebagai otoritas penentu kebenaran yang mengorupsi kata-kata ayat-ayat suci menjadi kata-kata politis.
Maka moderasi beragama bukan sekedar soal toleransi atau cara pandang terhadap penganut agama lain melainkan lebih dari itu yaitu mensyukuri perbedaan sebagai kekayaan spiritual yang memperkaya kehidupan beragama.
Sekeras apapun gaung moderasi beragama digaungkan namun perbedaan masih dilihat sebagai hantu agama maka selama itu pula moderasi beragama akan terus menghadapi dinding tebal radikalisme yang pada gilirannya hanya menjadi tragedi kaum minoritas. (Tuan Kopong, MSF)