sergap.id, JAKARTA – Jujur harus diakui bahwa pemberantasan korupsi selama ini terkesan tebang pilih. Kasus kecil mudah bagi pelaku masuk penjara, sementara kasus besar yang memiliki kerugian negara besar, malah tak jelas muaranya.
Para kepala desa yang diduga korupsi puluhan juta rupiah, terlihat sangat mudah dijebloskan ke penjara. Sementara Bupati yang diduga sebagai aktor kurupsi proyek miliaran rupiah malah songong kesana kemari karena tak tersentuh hukum.
Padahal prinsip penegakan hukum adalah sama, yakni menggunakan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak pidana korupsi.
Kondisi ini bukan hanya terjadi di DKI Jakarta atau di provinsi lain yang memiliki PAD besar, tapi juga terjadi di Provinsi NTT yang APBDnya belum mampu mengurus semua kebutuhan rakyat.
Lihat saja penanganan kasus Bawang Merah di Kabupaten Malaka dan kasus Proyek Awololong di Kabupaten Lembata. Masyarakat sampai jenuh menunggu penyelesaian kasus ini. Karena sampai sekarang, dua kasus ini belum juga sampai di meja pengadilan. Padahal penanganannya sejak tahun 2 tahun lalu.
“Ya… kalau kasus kecil hampir pasti tidak ada beking, tapi kalau kasus besar terkadang ada orang dibelakangnya. Ini yang membuat kami terkadang ‘sesak pikir’ dan ‘sesak tindak’. Karena sering dapat tekanan dari luar,” ujar mantan Penyidik Tipikor Polda NTT saat cakap-cakap dengan SERGAP di Lapangan Tenis Polda NTT.
Pria beristri yang mewanti-wanti agar namanya tidak ditulis itu, mengatakan, urusan pemberkasan kasus dugaan korupsi sebenarnya mudah, apalagi jika penyidik telah mengantongi hasil audit BPK.
“Tapi yang jadi sulit ya itu tadi ketika ada tekanan dari luar,” ungkapnya.
Kasus Bawang Merah Kabupaten Malaka yang memiliki kerugian negara sebesar Rp 4,9 miliar dari total Rp 9,8 miliar, serta kasus proyek Awololong Rp 1,4 miliar dari total uang senilai Rp 5,5 miliar lebih sudah pernah dilaporkan oleh aktivis anti korupsi ke KPK. Namun hingga hari ini belum ada tindak lanjut nyata dari KPK.
Masyarakat terus berharap agar KPK segera turun tangan, termasuk menyelesaikan kasus-kasus dugaan korupsi yang terjadi di seluruh Indonesia.
Mantan Wakil Ketua DPR, Fahri Hamzah, pun memberi saran kepada KPK agar dalam tindakan memberantas korupsi tidak memakai gaya ngintip amplop.
“Kalau mau berantas korupsi jangan ngintip amplop. Amplop kecil bos. Intip audit. Audit itulah alat untuk menemukan korupsi yang benar. Karena auditor negara ini sensitif dengan penyimpangan. Ibarat pipa (ada) lubang dikit tahu. Auditor kita BPK (Badan Pemeriksa Keuangan) kelas dunia loh, dia audit PBB loh,” kata Fahri di Jakarta Selatan, belum lama ini.
Menurut dia, sejauh ini BPK tidak diajak kerjasama dalam urusan pemberantasan korupsi. Justru BPK dimusuhi.
“Kalau mau mengembalikan kekayaan negara, menemukan korupsi besar triliunan ya audit. Kalau ngincer amplop ngapaian ada KPK bos. Kalau ngintip nasib-nasiban,” tutur Wakil Ketua Umum Partai Gelora itu.
“Ada yang bahlul teransaksinya terlalu fulgar transaksinya kena. Tapi kalau kita mau nyari korupsi sebenarnya bukan di amplop-amplop. Bagaimana uang itu ditransfer, dipindahkan bentuknya, money laundry itu korupsi,” katanya.
Fahri meminta KPK tidak seperti memberantas pungutan liar atau pungli.
“Kalau KPK berantas pungli ngapaian bikin KPK. Polsek juga jago nangkap pungli,” tandasnya. (bol/bol)