sergap.id, KISAH – Sabtu 11 Maret 2017, keluarga cendana menggelar pengajian memperingati hari Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) di Masjid At-Tien TMII, Jakarta Timur.
Kepada jemaah, Siti Hediati Hariyadi (Titiek Soeharto) mengatakan, acara pengajian ini untuk memperingati masa pemerintahan ayahnya di era Orde Baru.
“Begitu banyak penghargaan diterima Indonesia misalnya dari FAO untuk swasembada pangan di Indonesia. Namun karena eskalasi situasi politik di Indonesia dan krisis moneter di Indonesia akhirnya Presiden Soeharto menyatakan mundur,” ujar Titiek.
Titiek kemudian menceritakan saat-saat terakhir Soeharto akan mengundurkan diri. Ia mengaku banyak anggota keluarga yang mempertanyakan keputusan tersebut.
“Beliau memanggil kami saat sehari akan berhenti jadi presiden, anak-anak bertanya; apakah bapak sudah yakin apa yang bapak putuskan? Beliau hanya berkata bahwa sejarah akan membuktikan,” beber Titiek.
Menurut Titiek, setelah 20 tahun reformasi, kondisi Indonesia tidak kunjung membaik. Itu sebabnya, ia sering mendengar orang kembali mendambakan kepemimpinan Soeharto.
“Saya setuju (dengan) Pak Jokowi bahwa demokrasi (kita) kebablasan. Tidak ada lagi demokrasi yang didengungkan Pak Karno dan prinsip ekonomi Pak Harto,” katanya
“Banyak yang bilang, enak jaman Pak Harto aman dan gampang cari kerja. Saya pikir ini mungkin yang dibilang bapak. Begitu banyak rakyat yang merindukan dan mendoakan pak Harto,” ucap Titiek.
Ya, sejak Senin 18 Mei 1998, Presiden Soeharto memilih berkantor di Jl. Cendana Nomor 6, 8, dan 10 Menteng, Jakarta Pusat yang tidak lain merupakan kediaman pribadinya. Sebab, krisis ekonomi yang berlanjut menjadi krisis sosial dan politik telah membuatnya tak lagi nyaman berkantor di Istana Negara.
Hingga malam hari, Soeharto masih sibuk menerima para pembantunya. Sejumlah pejabat tinggi yang membidangi ekonomi dan keamanan mencoba menenangkan Soeharto, dengan menyatakan komitmen dan dukungannya untuk mengendalikan situasi nasional, antara lain Menteri Keuangan (Menkeu) Fuad Bawazier.
“Hari Senin dan Selasa saya masih bolak-balik ke Cendana. Masih berkirim surat dengan beliau,” ujar Fuad.
Kondisi negara menjadi mencekam satu hari setelahnya. Gerakan yang menuntut Soeharto lengser mulai tampak. Bahkan sebuah angket ajakan pengunduran diri meluncur dari Kantor Bappenas dan beredar di kalangan Menteri Kabinet Pembangunan VII.
“Sebagai Menkeu saya mencoba melepaskan diri dari masalah perpolitikan dan bekerja sebagai profesional. Makanya saya tidak mau tandatangani angket pengunduran diri. Itu politik,” tegas Fuad.
Malam harinya, Presiden Soeharto memanggil Saadillah Mursjid, Menteri Negara Sekretaris Negara. Setibanya di Cendana, Saadilah dibuat kaget oleh keingingan Soeharto meletakan jabatan yang telah dipegangnya selama 32 tahun.
Tak lama berselang, sekitar pukul 19.30 WIB, Wakil Presiden B.J. Habibie juga tiba di Cendana. Setelah mendapat kepastian Habibie siap memegang tongkat estafet kepresidenan, Soeharto lantas meminta Saadilah memanggil Ketua Mahkamah Agung (MA) Sarwata bin Kertotenoyo untuk bisa melantik Habibie sebagai presiden pada esok harinya.
Kamis pagi, 21 Mei 1998, Istana Negara mendadak ramai. Sejumlah pejabat negara dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) tampak hadir. Kecuali, 14 menteri yang telah menyatakan mundur dari kabinet sehari sebelumnya.
Di sebuah ruang khusus, Presiden Soeharto dengan mengenakan setelan safari dan kopiah hitam berdialog dengan Saadillah Mursjid. Dia meminta Saadillah agar mengupayakan politisi DPR tidak masuk ruangan tersebut. Alhasil para delegasi Senayan hanya bisa menunggu di ruang tamu.
Tepat pukul 09.00 WIB, dihadapan pimpinan MA, Soeharto menyatakan berhenti sebagai Presiden Republik Indonesia yang kedua setelah mempertimbangkan berbagai hal.
“Jadi Pak Harto sendiri yang mengatur pengunduran dirinya,” tutur Fuad Bawazier.
Usai serah terima jabatan, secara otomatis Fuad Bawazier berstatus demisioner sebagai Menteri Keuangan. Selama dua hari setelah pengunduran diri Soeharto, Fuad masih datang ke Cendana.
“Hanya ngobrol biasa, tidak ada amanat khusus,” kisah Fuad.
Soeharto sempat bercerita pada Fuad Bawazier soal alasannya berhenti sebagai presiden. “Saya merasa publik sudah tidak mempercayai saya sebagai presiden, dan sebagian menteri mengatakan tidak mau lagi (membantu saya), ya sudah, saya berhenti,” ujar Soeharto seperti diceritakan Fuad. (DTK/CNN)