sergap.id, ATAMBUA – Sesuai aturan yang berlaku, ternyata hanya empat organisasi kemasyarakatan yang bisa menerima hibah secara terus menerus, yakni KONI, PMI, Pramuka dan Korpri.
Dasar hukum pemberian dana hibah kepada Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) adalah Pasal 69 Undang-Undang Nomor 3 tahun 2005 tentang Sistim Keolahragaan Nasional. Palang Merah Indonesia (PMI) adalah Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, dan Pasal 46 Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2012 tentang Pelayanan Daerah.
Sedangkan dasar hukum untuk Praja Muda Karana (Pramuka) adalah Pasal 36 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2010 tentang Gerakan Pramuka, dan Korps Pegawai Republik Indonesia (Korpri) Pasal 63 Keputusan Presiden Nomor 24 Tahun 2010 tentang Pengesahan Anggaran Dasar Korpri.
Selain empat organisasi itu, hibah bisa diberikan juga kepada Pemerintah Pusat, kepada Pemerintah Daerah lainnya, kepada BUMN/BUMD, kepada Badan dan Lembaga, dan kepada Organisasi Kemasyarakatan seperti DEKRANASDA. Namun hibah kepada lembaga ini, tidak bisa dianggarkan dan diberikan terus menerus setiap tahunnya.
“Hibah adalah pemberian uang/barang atau jasa dari pemerintah daerah kepada pemerintah pusat atau pemerintah daerah lain, Badan Usaha Milik Negara/Badan Usaha Milik Daerah, Badan, Lembaga dan organisasi kemasyarakatan yang berbadan hukum Indonesia, yang secara spesifik telah ditetapkan peruntukannya, bersifat tidak wajib dan tidak mengikat, serta tidak secara terus menerus yang bertujuan untuk menunjang penyelenggaraan urusan pemerintahan daerah”.
Demikian bunyi Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 32 Tahun 2011 tentang Pedoman Pemberian Hibah dan Bantuan Sosial yang Bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah sebagaimana telah diubah terakhir dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 14 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 32 Tahun 2011 tentang Pedoman Pemberian Hibah dan Bantuan Sosial yang Bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.
Itu artinya hibah Pemkab Belu kepada Dekranasda Belu bertentangan dengan aturan tersebut. Karena Dekranasda menerima dana hibah dalam tiga tahun berturut-turut, yakni 2022 sebesar Rp 1,5 miliar, tahun 2023 sebesar Rp 1 miliar, dan 2024 sebesar Rp 1,5 miliar.
BACA JUGA: Kasus 1,5 M Belu, Kapolda NTT: Dalam Lidik, Bukan Didiamkan!
Mantan Wakil Bupati Kabupaten Belu periode 2016-2021, Drs. J. T. Ose Luan, mengatakan, Dekranasda Belu mestinya melekat dengan Tugas Pokok dan Fungsi (Tupoksi) Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Perindag) Belu. Sehingga keperluan Dekranasda dibelanja oleh Perindag. Bukan menerima dana hibah dan mengelolanya sendiri. Apalagi penggunaan dananya tidak dipertanggungjawabkan secara baik.
“Ini tejadi karena staf tidak berani katakan “tidak” kepada bupati. Sebenarnya kalau sesuatu yang berlawanan dengan aturan, maka staf harus berani katakan tidak kepada Bupati”, ucap Ose kepada SERGAP, Minggu (6/10/24).
Menurut dia, dugaan korupsi di Dekranasda Belu merupakan kejahatan yang luar biasa. Apalagi jika ditemukan kegiatan-kegiatan fiktif.
“Hibah berkali-kali itu tidak ada (aturannya). Hibah Itu hanya keinginan bupati saja. Bupati menghibahkan sesuatu kepada istrinya, ini kan tidak betul! Makanya dulu saya selalu bilang ke bupati sebelumnya, bupati tidak boleh bilang saya mau, karena kalau saya mau ini dibawa menjadi kemauan sistem, maka banyangkan kalau semua mau, maka rusaklah daerah ini”, tegasnya.
Ose mempertanyakan urgensi hibah tiap tahun kepada Dekranasda.
“Apakah dana itu mesti dihibah? Karena selama perjalanan APBD, Dekranasda itu melekat pada Perindag. Yak karena Dekranasda bukan OPD (Organisasi Perangkat Daerah)”, tegasnya.
BACA JUGA: Carut Marut Kasus Dugaan Korupsi Dekranasda Belu
Terpisah, mantan Kadis Perindag Belu, Flori Nahak, menegaskan, hibah kepada Dekranasda tidak bisa dilakukan secara terus menerus.
“Alasan hibah apa? Urgensi hibahnya apa?”, tanyanya.
Flori menjelaskan, Dekranasda Belu mesti menjadi bagian dari Dinas Perindag Belu. Karena pembentukan Dekranas difasilitasi oleh Kementerian Perindag. Sehingga sampai ke daerah pun tetap melekat pada Dinas Perindag.
“Sehingga semua keperluan Dekranasda menjadi belanja Dinas (Perindag), dan laporan pertanggungjawaban penggunaan uang di Dekranasda pun dibuat oleh Dinas”, ungkapnya.
Flori menambahkan, Dekranasda bisa mendapat dana hibah jika ada kegiatan seperti Musyawarah Nasional (Munas) atau Dekranasda menyelenggarakan Musyawarah Daerah (Musda).
“Itu pun ibu (Ketua Dekranasda) ajukan proposal dulu. Setelah kita hitung besaran dananya, lalu kita ajukan anggarannya di TAPD, dan anggaran itu masuk ke Keuangan, tidak bisa dititipkan di Perindag. Karena itu dana hibah”, tutupnya
Sementara itu Pakar Hukum Tata Negara dari Universitas Nusa Cendana (UNDANA) Kupang, Dr. John Tuba Helan S.H, M.H., mengatakan, jika penggunaan dana hibah tidak dapat dipertanggungjawabkan secara lengkap, dan ada belanja fiktif, maka berindikasi korupsi. (cs/rd)