Selasa (23/6/20) sore, Gubernur NTT, Viktor Bungtilu Laiskodat (VBL) berkunjung ke istana Keuskupan Ruteng untuk “bersilaturahmi” dengan Uskup Ruteng, Mgr. Siprianus Hormat, PR.
Selasa (23/6/20) sore, Gubernur NTT, Viktor Bungtilu Laiskodat (VBL) berkunjung ke istana Keuskupan Ruteng untuk “bersilaturahmi” dengan Uskup Ruteng, Mgr. Siprianus Hormat, PR.

sergap.id, OPINI – Tulisan ini sengaja saya buat sebagai respon balik atas materi Diklat yang dilaksanakan oleh Dinas Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Provinsi NTT beberapa saat yang lalu.

Diklat yang mengangkat tema sebagaimana terurai dalam judul di atas, dipaparkan secara menarik oleh pemateri yang memiliki kompetensi di bidangnya.

Bagi penulis materi ini menjadi menarik dan penting, karena sejalan dengan tekad Gubernur NTT yang menghendaki pengelolaan Pariwisata NTT dengan pendekatan Sustainable  Tourism  atau pariwisata berkelanjutan.

GREEN ARCHITECTURE  di Destinasi Pariwisata Nusa Tenggara Timur, dalam konteks ini mengandaikan dan mengharuskan pengembangan konstruksi pariwisata yang ramah terhadap alam, memanfaatkan sumber daya lokal, dan memperhatikan aspek keberlanjutan dan daya dukung lingkungannya.

  • Apa dan Bagaimana Green Architecture

Green Architecture atau Arsitektur hijau merupakan konsep arsitektur yang berusaha untuk meminimalkan dampak negatif yang ditimbulkan dengan memoderasi dan efisiensi dalam pemakaian bahan bangunan, energi, serta ruang pembangunan terhadap lingkungan alam.

Dalam konteks dan konsepsi kekinian Arsitektur hijau ini kemudian dikenal sebagai Arsitektur berkelanjutan, yakni sebuah konsep yang berusaha memperkecil potensi keberadaan sebuah konstruksi yang diperhadapkan dengan  lingkungan melalui efisiensi dan moderasi dalam penggunaan bahan, energi, maupun ruang pengembangan dan ekosistem secara luas.

UIA (International Union of Architect) pada Deklarassi Copenhagen yang dilaksanakan pada 7 Desember 2009, terkait arsitektur yang berkelanjutan ini, berupaya mengkristalkan defense Asritektur Hijau ini ke dalam 9 (sembilan) butir, di antaranya adalah sebagai berikut:

1) Konsep arsitektur berkelanjutan mengandaikan pelibatan semua komponen kepentingan sejak awal proses pembangunan,  komponen kepentingan dimaksud yakni unsure-unsur yang terlibat langsung dalam pengembangan/pembangunan mulai dari pemilik, penyedia, dan akhirnya pengguna, serta masyarakat sekitar;

2) Mengintergasikan aspek konstruksi dan penggunaannya berdasarkan Full Life Cycle Analysis and Management (analisa dan manajemen dari daur hidup bangunan),

3) Optimalisasi design dengan sedapat mungkin menggunakan sumber daya energi terbarukan, pemanfaatan teknologi modern yang ramah

4) perencanaan dan pengembangan konstruksi harus menjamin adanya ruang interaktif antara konstruksi dengan lingkungan sekitar baik mengenai warisan sejarah, kebudayaan, dan nilai-nilai sosial masyarakatnya, artinya konstruksi yang dibangun atau disediakna tidak boleh mengaburkan cirri khas kelokalan,

5) Material konstruksi adalah material bangunan yang sehat (healthy materials) baik untuk pengguna, juga sehat bagi keberlan jutan lingkungan, dalam artian material konstruksi tidak bersifat pathogen bagi lingkungan, hal ini hanya mungkin terjadi jika, tata guna lahan yang tepat,  kesan estetik yang mengispirasi, meyakinkan, dan memuliakan bukan saja pengguna tetapi juga lingkungan

6) Harus bertujuan mengurangi carbon imprints (jejak karbon), penggunaan material berbahaya dan dampak kegiatan manusia, khususnya dalam lingkup lingkungan binaan terhadap lingkungan,

7) Konstruksi harus menjamin terjadinya peningkatan kualitas hidup, mempromosikan kesetaraan baik lokal maupun global, memajukan kesejahteraan ekonomi, serta menyediakan kesempatan untuk kegiatan bersama masyarakat (pemberdayaan masyarakat),

8) Sistem desa-kota yang terintegrasi, saling terkait untuk keberlangsungan hidup (air bersih, udara, makanan, tempat tinggal, pekerjaan, pendidikan, kesehatan, kebudayaan, dan lainnya),

9) Mendukung keberagaman budaya sebagai sumber pertukaran, penemuan, dan kreativitas;

Terhadap 9 (semblan) butir sebagai krustalisasi dari defenisi umum Green Architecture  tersebut kemudian pertanyaan menggelitiknya adalah bagaimana jika kemudian Destinasi-Destinasi Pariwisata kita sudah terlanjur diisi atau dibanung dengan konstruksi Moderen dengan kesan industry yang sangat kuat?

Apakah kemudian harus dibongkar atau dibiarkan hancur?

Terhadap ini kembali kepada substansi dari Green Architecture  itu sendiri yakni adanya pengakuan, pengakomodasian unsure-unsur lingkungan, budaya baik dari aspek ciri khas maupun kemanfaatannya.

Secara sederhana kemudian dapat penulis bahasakan bahwa terhadap keberadaan bangunan-bangunan modern yang berada di destinasi pariwisata, bangunan ini kemudian harus dimoderasi dengan penataan lingkungan, dengan menonjolkan cirri buadaya, dan kekuatan alam.

Eksotisme alam dan budaya yang berusaha ditampilkan secara aliami di tengah konsep arsitektur modern, akan memvisualkan harmonisasi relasi antara bangunan dengan lingkungan.

Terhadap ini maka dapatlah dikatakan bahwa Green Architecture  sama sekali tidak dalam rangka meniadakan arsitektur modern, tetapi lebih dari itu Green Architecture  adalah upaya moderat untuk memoderasi kesenjangan antara Alam dan budaya di satu sisi dengan kemajuan industry di sisi lainnya.

  • Green Architecture Dalam Konsepsi Pariwisata Budaya NTT

Sub topic kecil ini sesungguhnya sengaja penulis angkat untuk melihat apakah masih ada korelasi materi Diklat GREEN ARCHITECTURE  Destinasi Pariwisata NTT, dengan kebutuhan riil pengembangan Destinasi Pariwisata NTT.

Green Architecture di Destinasi Pariwisata Nusa Tenggara Timur tentunya bukan semata soal upaya mengurangi Pemanasan global semata, tetapi menjadi semakin menarik karena Green Architecture dalam konsepsi pariwisata dan Budaya NTT menjadi sebuah jalan solutif ketika saat ini Pengelola kegiatan Kepariwisataan justru menghadirkan wajah pariwisata sebagai sebagai konsep-konsep industry modern, dengan pendekatan pembangunan yang juga modern.

Pariwisata sebagai industry menjadikan nilai rasa lokal seolah sesuatu yang kuno, kolot dan tidak layak disajikan sepadan dengan hal-hal modern.

Wajah pariwisata Nusa Tenggara Timur jika tidak dijaga secara baik, bukan tidak mungkin akan kehilangan originialitasnya terganti dengan hal-hal yang sifatnya inport dan semu.

Perubahan menuju kehancuran budaya ini terlihat jelas dari bergantinya model dan penggunaan bahan material untuk ruamh-rumah adat kita, hilangnya tempat-tempat ritual budaya terganti dengan bangunan-bangunan modern untuk memenuhi rasa nyaman konsumen, sederhananya pengembangan dan pembangunan destinasi pariwisata kita hanya untuk menopang terjaminnya kepuasan wisatawan, tetapi tidak menopang lestarinya keaslialn dan daya dukung lingkungan serta budaya.

Tekad Gubernur Nisa Tenggara Timur yang mau mengembangkan kepariwisataan NTT dengan mengedepankan partisipasi masyarakat pada tempat utama (Community  Base Tourism) haruslah dibaca sebagai sebuah tekad menjadikan rakyat Nusa Tenggara Timur berdaulat di bidang Pariwisata, kedaulatan yang mutlak bukan saja sebagai pemilik, tetapi juga pengguna dan penerima manfaat pertama dan utama dari keseluruhan proses pembangunan kepariwisataan, karena hanya dengan menjadikan masyarakat sebagai basis dalam pembangunan sajalah,  keberlenjautan (Sustainable)  itu dapat terwujud.

Masyarakat akan dengan sangat total, penuh tanggung jawab dan memiliki rasa cinta jika apa yang dia pertahankan, dia cintai, dia jaga benar-benar memberikan kualitas bagi kehidupannya.

  • Penutup

Community  Base Tourism, dan sustainability Tourism  adalah 2 aspek yang bersatu dalam keterpisahan, terpisa karena aspek yang berbeda, tetapi bersatu karena titik bidik yang sama yakni upaya memanusiakan manusia dan nilai kemanusiaan itu sendiri.

Community  Base Tourism, dan sustainability Tourism  dalam konteks Green Architecture Destinasi Pariwisata NTT  harus memastikan Konstruksi pembangunan destinasi yang bangunan yang baik dan benar.

Baik karena dari aspek komposisi, rangcangan dan estetika terpenuhi, dan benar karena aspek sikap bangunan dan rancang bangunan terhadap lingkungan sekitar dan budaya terakomodir.

Konsep Green Architecture di Destinasi Pariwisata NTT menempatkan budaya dan lingkungan sebagai sesuatu yang abadi atau Living Culture and environment  dan bukan sebagai monument mati (death monument) yang bukan saja musiman tetapi harus timeless.

Paulus Histo Safrodan, SH., MH
Penulis: Paulus Histo Safrodan, SH., MH

KOMENTAR ANDA?

Silakan masukkan komentar Anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini