sergap.id, KUPANG – Gubernur NTT, Viktor Bung Tilu Laiskodat diminta menghentikan pembangunan tambak udang di Desa Merdeka, Kecamatan Lebatukan, Kabupaten Lembata.
Pasalnya, aktivitas tambak yang dilakukan oleh Direktur PT Trans Lembata, Benediktus Lelaona alias Ben Teti itu telah merusak 6 hektar hutan mangrove yang berada di lokasi tersebut.
“Ini kejahatan lingkungan, kejahatan ekonomi, juga kejahatan kemanusiaan,” ujar mantan Anggota DPRD Kabupaten Lembata, Philipus Bediona, kepada SERGAP, Kamis (16/5/19).
Menurut dia, pembangunan tambak udang di Merdeka telah menghancurkan ekosistem mangrove yang merupakan sabuk pengaman pantai terhadap ancaman bencana tsunami, serta sumber pangan lokal khususnya protein yang sangat kaya (berbagai jenis kepiting, tempat berlangsungnya pemijahan ikan, gurita, juga lebah madu) bagi masyarakat sekitar.
Menghancurkan mangrove sama dengan meniadakan dan memporak-porandakan sabuk pengaman kehidupan darat, dan sumber pangan yang sangat kaya bagi masyarakat lokal.
“Saya berharap pak Gubernur NTT berinisiatif mengambil tindakan tegas untuk penyelesaian masalah ini,” pintanya.
Sebab, kata Bediona, masyarakat Lembata tidak bisa berharap banyak kepada Bupati Lembata, Eliaser Yentji Sunur.
“Bagi kami orang lembata, pertanyaannya siapa itu bupati, siapa itu investornya? Ini kan ibarat kuku dan daging. Tindakan tegas yang diharapkan itu pasti tidak dilakukan,” ucapnya.
Kata Bediona, dari perspektif hukum, Ben Teti telah dengan sengaja dan arogan melanggar UU 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, UU No 27/2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan PPK, serta Perda Lembata No 9/2015 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Mangrove Berbasis Masyarakat.
“Semua Undang – Undang ini memberikan penekanan pada aspek Perlindungan,” tegasnya.
Karena itu, daerah pesisir yang menjadi lokasi tambak merupakan daerah khusus yang wajib dilindungi.
“Pasal 7 UU 27/2007 mewajibkan pemerintah membuat perencanaan khusus, agar masyarakat dan dunia usaha mendapat ruang untuk mengembangkan kegiatan yang tidak merusak linkungan pesisir,” jelasnya.
BACA JUGA:
- Walhi NTT Diminta Kawal Kasus Tambak Udang di Lembata
- Bupati dan Wakil Bupati Lembata Diminta Tindak Tegas Ben Teti
- Enam Hektar Hutan Mangrove di Lembata Rusak, Ben Teti Biang Keladinya
Bediona menjelaskan, pengrusakan yang dilakukan Ben Teti sangat bertentangan dengan semangat masyarakat Lembata yang ingin terus memperluas wilayah hutan mangrove.
“Manggrove di Lembata, ada yang menanam, ada pula yang menghancurkan. Kontroversial. Ada yg menanam, dengan sukarela, swadaya, seharian, dan makan minum seadanya, tapi ada yang seenaknya menghancurkan. Tanpa rasa bersalah, tanpa bisa dikendalikan dan tanpa ditindak. Hukum sepertinya hanya menonton,” bebernya.
Padahal, kata Bediona, 3 tahun lalu lebih dari 100 relawan di bawah inisiator Yogi Making, sekarang Ketua KPU Lembata, menanam mangrove di ujung timur bandara Lewoleba.
Di Ohe, Kecamatan Ile Ape banyak areal pantainya yang sudah ditanami mangrove oleh kelompok anak-anak muda atas prakarsa sendiri. Bukan proyek.

Di Tokojaeng, Ile Ape Timur, Senin, (13/05/2019), saya menyaksikan tiga generasi mangrove, tumbuh pada areal pantai yang sama di Tokojaeng ketika secara adat masyarakat mengukuhkan MURO, prananata lokal tradisional pengelolaan laut pesisir. Generasi I mangrove yang tumbuh secara alamiah dan telah berusia dewasa. Ke-2 dan ke-3 ditanam atas prakarsa masyarakat. Generasi kedua sudah menbentuk jari-jari akar. Dan ketiga, tanaman yang baru berusia setahun lebih.
Tapi di Merdeka, manggrove dibabat, sejak sekitar 2 bulan yang lalu, dan dijadikan lokasi tambak udang, tanpa Prosedur Perijinan Resmi.
Pemerintah hanya menonton. Pemerintah yang khawatir jangan-jangan ada masyarakat yang mempersoalkannya. Hehe . . .lucu. Kepentingan apa dan siapa sesungguhnya yang diabdi Pemerintah: publik atau privat? Rakyat atau pengusaha?
Tidak beda jauh Kasus Mangrove di sisi timur KUMA RESOR, sekitar 4-5 tahun lalu. Mangrove dibabat. APARAT tenang, memberi kesan tidak ada masalah, meski DPRD dan para aktivis mempertanyakannya.
Posisi Pemerintah Desa Merdeka dipertanyakan: dilibatkan atau diperalat? Untuk memperjelas proses atau untuk “membungkam” mulutnya rakyat? Akibatnya, masyarakat malah “terbelah”, antara yang pro dan yang kontra.
“Katanya, “Gubernur sudah mengijinkan”. Prosedur dan mekanisme perijinan koq lisan? Andalkan mulut pejabat? Siapa yang mempercayai?,” tutupnya. (cs/cs)