Seminari Mataloko

sergap.id, KISAH – 100 tahun lalu, misionaris Serikat Sabda Allah memberikan sentuhan rohani, ekonomi dan pendidikan di Kabupaten Ngada. Mereka membangun gereja, pusat keterampilan pertukangan dan pertanian, serta Sekolah Rakyat.

Namun masuknya para misionaris ke Ngada saat itu sangat sulit. Sebab sampai dengan tahun 1900, Flores tidak mendapat tempat dalam kebijakan pemerintahan kolonial Belanda. Ketika itu Flores masih dilihat sebagai daerah tandus yang tidak membawa keuntungan bagi Belanda.

Potensi wisata yang terlihat sekarang, belum dilihat kolonial sebagai sesuatu yang menghasilkan. Yang dipikirkan Belanda saat itu hanyalah hasil bumi, perternakan, rempah-rempah dan tanaman perdagangan lainnya.

Kebijakan politik ini membawa akibat bagi perkembangan agama Katolik di Pulau Flores.

Sejak penyerahan Larangtuka pada tahun 1856 dari Portugal ke tangan Belanda, kekristenan berkembang sangat lambat di Flores. Dibutuhkan lebih dari satu abad, agama Katolik bergerak dari Solor dan Larantuka ke Maumere.

Selebihnya, agama Katolik tidak dapat bergerak cepat ke arah barat Flores, karena tantangan geografis dan perang yang tidak dapat diatasi dengan mudah oleh pemerintah Belanda dan misi Katolik di Ende dan Lio.

Baru pada awal abad ke 20, pemerintahan kolonial Belanda menaruh perhatian pada Flores bagian barat.

Walau sempat mendapat perlawanan keras dari suku-suku setempat, tahun 1907 Ngada dan Manggarai dikuasai secara total.

Pada masa puncak penaklukan atas wilayah barat Flores tersebut, tanggal 1 Oktober 1907, Controleur Cauvreur yang baru diangkat menjadi Gezagheber, penguasa militer wilayah Nangapanda, Ngada dan Manggarai menulis surat kepada stasi misi di Larantuka bahwa bagian Barat Flores terdapat sebuah dataran tinggi yang sangat indah, subur dan berpenduduk padat.

Dalam inspeksi pribadi, ia menemukan daerah dengan ketinggian 750 sampai 1200 meter di atas permukaan laut itu hidup suku kumitoro (bahasa daerah Ngada, yang berarti janggut daerah) yang memiliki tingkat peradaban yang tinggi.

Dalam pengamatan Controleur Couvreur, wilayah ini sangat cocok untuk misi Katolik dan juga memiliki keuntungan ekonomi.

Tidak puas dengan reaksi yang lamban dari kepala stasi misi di Larangtuka, Apostolik Batavia yang membawai kegiatan misi di Hindia Belanda (seluruh Indonesia) mendesak agar wilayah Ngada dan Manggarai segera didatangi misionaris untuk menjadikan mereka Katolik.

Ia juga memberikan kesaksian bahwa berbeda dari wilayah flores di bagian timur, wilayah ini tidak hanya subur, tetapi memiliki harapan bagi misi Katolik dikemudian hari, karena orangnya mudah menerima orang-orang asing sebagaimana dikenal dari lagu-lagu daerahnya.

Surat Controleur Couvreur itu menjadi awal dari inisiatif pengembangan misi Katolik di Ngada dan Manggarai. Surat itu juga menjadi awal dari usaha modernisasi masyarakat Ngada melalui agama Katolik, Pendidikan, dan Perekonomian, terutama, penyebaran Iman katolik dan pendidik menjadi dua langkah penting yang membuat orang Ngada mengenal dunia modern.

Membangun Sebuah Visi   

Mgr E.S. Luypen SJ

Pada tenggal 8 Oktober 1913, Pater Petrus Noyen SVD di angkat oleh kongregasi Iman untuk menjadi Prefek Apostolik Sunda Kecil yang meliput Bali, Lombok, Sumbawa, Sumba, dan Timur.

Flores pada waktu itu masi menjadi wilayah misi Vikaris Apostolik Batavia yang menjadi tanggung jawab iman-iman Yesuit.

Baru pada tanggal 14 Juli 1914 atas perintah Konggregasi Iman, Flores diserahkan ke tangan Prefek Apostolik Sunda Kecil.

Berdasarkan perintah kongregasi Iman tersebut, Mgr Petrus Noyen pun pindah dari Lahurus (Pulau Timor) ke Ndona, Ende, Flores.

Surat Couvreur yang meminta pastor Kepala Stasi Larantuka untuk memberikan wilayah barat Flores menjadi tantangan bagi Mgr. Noyen yang pernah menjadi misionaris di Shangtung, Cina selama 15 tahun.

Mgr. Noyen adalah seorang ahli strategi misi. Dalam rangka pengembangan misi ke arah barat Flores, pada tahun 1915 ia sempat mengunjungi Bajawa dan Manggarai, bahkan mempermandikan beberapa orang Ngada dan Manggarai dalam kunjungan tersebut.

Berkat pengalamannya dalam bidang misi, baik di Shantung maupun di Timor, serta di bantu oleh iman-iman Serikat Sabda Allah yang baru datang di Togo, Afrika, karena alasan politik, ia membuka sentral misi di dua tempat, yaitu di Mataloko dan Ruteng.

Pilihan pada Todabelu Mataloko memiliki alasan tersendiri, karena biasanya dalam kebijakan misi, pusat misi berada di pusat pemerintahan.

Setelah kunjungan singkat ke Ngada, Mgr Noyen memiliki pemikiran tersendiri mengenai Todabelu dan Mataloko. Ia memiliki misi agar Mataloko dan Todabelu menjadi pusat stasi misi Serikat Sabda Allah di Ngada dan sekitarnya.

Artinya Mataloko  dan Todabelu harus dibangun Gereja induk yang bisa menampung umat yang baru di baptis di wilayah Ngada.

Selain itu, Mataloko dan Todabelu menjadi pusat pendidikan. Artinya, Mataloko dan Todabelu harus menjadi pusat pendidikan dasar sebagai pintu masuk bagi kehidupan modern.

Mataloko dan Todabelu juga menjadi pusat pengembangan ekonomi misi. Artinya, Mataloko dan Todabelu harus menjadi pusat perkebunan yang memadai bagi kepentingan misi SVD di daerah sekitarnya.

Langkah pertama yang diambil Mgr Noyen adalah mengangkat Pater J. Ettel SVD menjadi kepala stasi Mataloko dibantu Bruder Joseph Segering SVD pada tahun 1920.

Maka jadilah sebuah stasi misi pertama di Ngada. Di stasi inilah mulai di bangun rumah pastor dan sebuah kapela di bawah tanggung jawab Pater Ettel dan Bruder Segering.

Mula-mula dibangun sebuah rumah darurat yang terdiri dari tiang bambu, dinding pelupuh dan atap alang-alang. Setelah semua bahan bangunan tersedia, barulah di bangun gedung gereja permanent di bawah pimpinan Bruder Sagering.

Dengan keputusan ini Mgr. Noyen memberikan peluang yang besar bagi Serikat Sabda Allah untuk mengambil inisiatif mengembangkan agama Katolik secara luas di Ngada.

Dalam pengakuan Pater Ettel, misi di wilayah ini tidak banyak mengalami kesulitan. Selain mengunjungi beberapa tempat di sekitar Todabelu Mataloko seperti Sawu, Kota, Boawae, Mbay, Soa, dan Bajawa ia mempelajari bahasa dan adat istiadat Bajawa dan Nagakeo.

Apa yang dilakukan ini tentu tidak dapat dipisahkan dari strategi misi Serikat Sabda Allah. Mempelajari kebudayaan merupakan jalan masuk untuk membangun iman umat Kristiani.

Pada tahun yang sama, Mgr Noyen harus mengikuti kapitel general SVD di Steyl Belanda. Namun pada tanggal 24 Februari 1921 ia meninggal dunia.

Meski demikian, kebijakannya mengenai Todabelu Mataloko terus dilanjutkan oleh Mgr Arnold Verstraelen SVD, penggantinya.

Pater Hellinge SVD dikirim ke Mataloko untuk mendirikan Sekolah Standar pada Juni 1921. Dan, pada Maret 1922, Bruder Gallus dikirim ke Mataloko untuk membangun ekonomi dan perkebunan misi untuk mendukung kegiatan misi Serikat Sabda Allah, baik yang bekerja di Ngada maupun di Ende.

Dari Peternakan dan Perkebunan yang luas di Mataloko dan Malanuza, para pastor yang melaksanakan kegiatan pastoral di daerah-daerah pedalaman Ngada, Nagekeo, dan Ende Lio mendapat sayur, kentang, susu, dan daging.

Di bidang pendidikan, Mataloko dan Todabelu tidak hanya memiliki Sekolah Standar, tetapi juga menjadi tempat berdirinya seminari menengah yang sudah didirikan di Sikka pada tahun 1921 di bawah pimpinan Pater Frans Cornelissen SVD dan sebuah sekolah perempuan di bawah asuhan suster-suster SSpS.

Karena itu, berbeda dari wilayah-wilayah lain di Flores, di Ngada sekolah swasta dan asramanya tidak didirikan di Bajawa sebagai ibu kotanya, tetapi di dalam kompleks misi Todabelu Mataloko, di mana seminari menengah menjadi satu-satunya lembaga pendidikan menengah di pulau Flores pada awal abad ke 20.

Kehadiran pusat misi Katolik di Mataloko dan Todabelu tentu tidak dapat dilaksanakan tanpa dukungan Pea Molle, raja Bajawa waktu itu.

Sang Raja yang mengadakan negosiasi dengan tuan tanah di Mataloko dan Todabelu sehingga di berikan tanah untuk pendirian Gereja, pendirian seminari kecil Todabelu, sekolah perempuan asuhan SSpS, bahkan perkebunan Malanuza.

Tahun 1930 Jan Smith, guru di semiminari menengah Todabelu Mataloko memberikan kesaksian bahwa meskipun tidak secara resmi menjadi Katolik, Pea Molle memiliki sikap yang sangat simpatik terhadap misi dan karyanya.

Kehadirannya dalam upacara-upacara Katolik sangat dihargai. Begitu juga pentabisan Gereja di Bajawa pada tanggal 7 Mei 1930 didukung sang raja.

Stasi Todabelu Mataloko yang didirikan pada tahun 1920 ini memiliki jangkauan yang luas meliputi Boba di pantai Flores, Wolorowa dan Olabolo di perbatasan Nagekeo, Were, Mangulewa, dan Laja.

Karena itu, paroki Mataloko menjadi induk semang bagi berdirinya banyak paroki lain, termasuk Laja, Mangulewa, Were, dan Boba.

Pada masa Mgr Gabriel Manek menjadi uskup Ende (1961-1969) beberapa memisahkan diri dari Mataloko. Laja menjadi stasi pada tahun 1964, sementara Boba baru menjadi stasi pada tahun 1966.

Perubahan menuju Masyarakat yang Egaliter     

Mgr Arnold Verstraelen SVD

Pastor-pastor Serikat Sabda Allah sudah merintis sebuah misi yang menjadikan Todabelu Mataloko sebagai pusat pendidikan, pusat kerohanian, dan pusat ekonomi.

Sebagai pusat pendidikan, di tempat ini di bangun sekolah standar yang membuat masyarakat sekitarnya bisa membaca dan masuk ke dunia modern, juga didirikan Sekolah Putri di bawah asuhan SSpS dan seminari menengah yang menampung murid dari berbagai wilayah di daratan Flores.

Pada tahun-tahun berikutnya, di Mataloko dibangun Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Sekolah Menengah Atas (SMA) untuk melayani kebutuhan pendidikan bagi masyarakat Ngada.

Juga di Mataloko dan sekitarnya dibangun bengkel-bengkel dan perkebunan yang melatih orang-orang dari perkampungan sekitar Mataloko untuk mengenal konsep kerja modern dalam dunia peternakan, pertanian, dan pertukangan.

Bengkel dan perkebunan ini dapat dilihat sebagai pusat belajar keterampilan dalam pertanian modern dan keterampilan teknis lain yang amat dibutuhkan masyarakat sekitarnya.

Semua karyawan yang bekerja di seminari menengah, sekolah putri SSpS,  bengkel, dan perkebunan yang direkrut dari wilayah-wilayah sekitar Mataloko membutuhkan sebuah stasi rohani. Karena itu, sebuah gedung kegiatan pastoral dan sebuah gedung Gereja disiapkan untuk menampung mereka dan umat-umat di sekitarnya untuk menimbah kehidupan rohani.

Langkah-langkah awal dari misi Serikat Sabda Allah tersebut membawa perubahan –perubahan besar bagi kehidupan sosial kultural masyrakat Ngada. Selain dihentikannya praktik-praktik penyembahan berhala pada roh-roh halus, kehadiran misi Katolik Serikat Sabda Allah membawa perubahan pada masyarakat Ngada sehingga menjadi lebih egaliter (setiap orang sama derajat).

Josef Konigsmann, seorang misionaris yang pernah menjadi dosen hukum Gereja di Seminari Ledalero tahun 1980-an menjelaskan bahwa misi katolik di Ngada termasuk berhasil dari segi sosial kultural, terutama karena dihentikannya praktik-praktik yang bertentangan dengan semangat Kristiani.

Tiga di antaranya dapat dijelaskan sebagai berikut:

Pertama, dihentikannya perang antara suku. Masyarakat Ngada mengenal dirinya hidup dalam ulu eko, peguyuban yang ditata secara rapi dalam kampung-kampung yang memiliki tanah-tanah suku.

Klaim antara suku menyangkut tanah dan Lokatua, tempat kumpul untuk doa, minum, dan rapat, sering menjadi alasan-alasan konflik antara suku.

Dalam rangka menciptakan stabilitasa politik dan keamanan, pemerintahan kolonial melarang perang tersebut. Namun, melalui ajaran cinta kasih, misi Serikat Sabda Allah membuka kesadaran baru bahwa kehidupan Kristiani merangkul semua orang, termasuk mereka yang berada di luar ulueko dan lokatua masing-masing.

Kedua, diberhentikannya poligami. Jauh sebelum agama Katolik masuk daerah Ngada, perkawinan poligami menjadi sesuatu yang biasa di kalangan tuan-tuan tanah. Praktik semacam ini segerah dihentikan ketika seorang ingin menjadi Katolik.

Pendidikan sekaligus ajaran Kartolik mengenai keluarga Nasareth mendorong masyarakat Ngada melihat monogami sebagai pilihan untuk membangun keluarga-keluarga kecil. Monogami merupakan program awal misi Serikat Sabda Allah yang tidak pernah dilupakan.

Ketiga, diberhentikannya praktik perhambaan. Sebelum agama Katolik masuk, masyarakat Ngada masih menjadi masyarakat feodal dengan sistem kasta. Di sini mengenal ata gae (kelas atas yang terdiri dari kepala-kepala kampung, tuan-tuan tanah, dan para pemangku adat) dan ata hoo (kelas hamba yang merupakan tahanan perang dan keturunan-keturunannya).

Melalui ajaran bahwa semua orang adalah anak-anak Allah, misi Katolik mendesak di berhentikannya praktik perhambaan tersebut. Dalam Gereja Katolik tidak ada ata gue dan ata hoo. Semua sama di hadapan Allah.

Perubahan sosial kultural ini didukung oleh strategi yang matang yang dirintis oleh Mgr. Noyen tentang terselenggaranya pendidikan dasar, yang mengantar masyarakat untuk mengenal huruf dan angka. Dengan belajar huruf masyarakat Ngada dapat memberikan nama pada alam di sekitarnya dan dengan belajar angka mereka dapat menghitung dengan jelas kapan mereka lahir, berapa harta miliknya dan melakukan pertukaran barang secara adil.

Selain itu, pendidikan keterampilan dalam bidang pertukaran dan pertanian yang mengantar masyarakat Ngada di sekitar Mataloko dan Todabelu menyelenggarakan kegiatan pertanian sesuai dengan teknik-teknik modern.

Semua ini berjalan dengan baik karena Serikat Sabda Allah sendiri memiliki ahli etnografi yang menerapkan strategi misi berdasarkan pengetahuan yang mendalam tentang kehidupan sosial kultural masyarakat Ngada.

Paul Arndt merupakan seorang tokoh yang memiliki kedekatan dengan masyarakat Ngada. Dalam waktu singkat, masyarakat Ngada menjadi Katolik dan mengubah diri menjadi masyarakat yang egaliter dengan menghilangkan praktik-praktik diskriminatif.

Ini adalah perubahan revolusioner masyarakat Ngada di masa Serikat Sabda Allah membaktikan dirinya sebagai pembawa Injil Kristus.

Gereja dalam Masa Pendudukan Jepang

Tentara Jepang mendarat di Reo.

Setelah Mgr Arnoldus Verstaelen SVD meninggal, Henricus Leven SVD diangkat menjadi Vikaris Apostolik oleh Tahta Suci dan ditahbiskan menjadi uskup di Belanda pada 12 November 1933.

Sebelumnya, Mgr Leven bertugas di Togo, Afrika (1911) dan Timor (1920).

Selama kepemimpinannya, ia membentuk Vikrait Apostolik Timor (1936), Prafektur Apostolik Denpasar (1950), dan Vikariat Apostolik Ende, Larantuka, dan Ruteng (1951).

Ia meninggal dunia tahun 1953 di steyl.

Apa yang dilakukan dalam pengembangan organisasi Gereja di Nusa Tenggara pantas menjadi catatan historis. Namun yang paling menyentuh perhatian adalah saat dimana misi Katolik di Flores menghadapi masalah serius.

Tanggal 13 Mei 1942 tentara Jepang tiba di Flores dan mendarat di Reo. Dalam waktu yang tidak lama, seluruh daratan Flores dikuasai Jepang.

Kedatangan tentara Jepang menempatkan Flores dalam situasi sulit. Dalam keadaan perang itu banyak misionaris berkebangsaan Belanda harus dideportasi keluar Flores.

Orang paling bertanggungjawab atas keberlangsungan perkembangan iman orang Flores adalah Mgr Leven.

Sangat Kebetulan ia adalah imam kelahiran Lank (Jerman) pada 13 Juni 1883 yang dalam arti tertentu tidak menjadi musuh Jepang.

Sebagai Vikaris Apostolik ia harus melayani umat mulai dari ujung timur hingga barat pulau Flores. Dalam pengakuan pribadinya, ia “merasa seperti mendadak ditinggalkan seorang diri.” Namun demikian, di luar dugaan, Flores yang di tinggalkan oleh para misionaris tersebut, dalam kurun waktu tiga tahun, tetap mempertahankan loyalitas pada kekristenan.

Ketika mengunjungi stasi-stasi yang terpencil, Mgr Leven masih melihat bagaimana umat datang ke perayaan-perayaan keagamaan dan menerima sakramen-sakramen. Juga ia masih bisa bertemu dengan guru-guru sekolah dan guru-guru agama yang dengan setia mengurus kehidupan yang ditinggalkan tanpa pastor. Menariknya lagi, kegiatan pendidikan tidak dihentikan, termasuk di seminari menengah dan seminari tinggi yang dilaksanakan di Todabelu Mataloko.

Dalam keadaan genting tersebut, wilayah yang paling kosong dalam kepemimpinan Gereja adalah Ngada dan Manggarai. Bahkan Seminari Menengah Todabelu harus berjalan tanpa pemimpin. Mgr Leven menulis tentang keprihatinan ini dalam memoirnya sebagai berikut:

“Hari Rabu, tanggal 22 Juni (1942), saya mulai dengan perjalanan misi yang paling menyedihkan dan paling emosional sepanjang tahun-tahun pengalaman missioner saya. Dalam seluruh wilayah Ende sampai ujung paling barat wilayah Manggarai tidak terdapat seorang misionaris, tidak ada satu tempat di mana dilangsungkan Kurban Misa Suci untuk 130.000 umat Kristen, tidak ada sebuah tabernakel tempat para beriman boleh memperoleh penghiburan dan kekuatan dalam kesusahan-kesusahan mereka. Dan sekarang, saya sebagai satu-satunya Imam yang bebas akan pergi mengunjungi mereka, untuk menghibur, meneguhkan, memberikan semangat, dan kepercayaan.”

Memoir ini memiliki arti bahwa gereja memiliki misi, tidak hanya memberikan gagasan kemajuan bagi umatnya dalam bidang pendidikan, ekonomi, dan kerohanian sebagaimana dikemukakan oleh Mgr Noyen, tetapi juga memberikan penghiburan dan kekuatan ketika umatnya mengalami nasib buruk karena kemalangan luar biasa akibat perang.

Mgr Leven memberikan catatan tentang perjalanan ke arah barat dari Ende bahwa di mana-mana umat menerimanya dengan gembira.

Mereka berteriak-teriak “Tuan Uskup! Tuan Uskup! Anak-anak menari-nari kelilingi mobil.”

Ketika ia tiba Todabelu, ia menulis lagi, “Di sini saya disambut dengan kegembiraan dan entusiasme dan dengan pertanyaan penuh minat.”

Beberapa hari ia tinggal di Todabelu memberikan Sakramen pengakuan dan Ekaristi kepada umat stasi Todabelu dan sekitarnya, juga memastikan apakah pendidikan di Seminari Todabelu dan asrama puteri berjalan dengan baik.

Sebagai hasil dari visitasi ke Todabelu, 2 pater dan 4 suster berkebangsaan Jerman dikirim ke Todabelu. Sehingga dalam keadaan perang pun, misi Todabelu tetap mendapat perhatian pimpinan Gereja Ndona.

Ceritera ini sengaja dikemukakan di sini karena tidak ada hasil gemilang yang diraih oleh umat Katolik Todabelu Mataloko tanpa jerih payah penuh tanggung jawab dari uskupnya yang ‘merasa sendirian’, namun tetap fokus pada pengembangan iman umat dalam kerjasama dengan para guru dan pemuka-pemuka agama waktu itu.

Karena itu tidak heran, jika dalam memoirnya Mgr Leven menulis bahwa ia bersyukur dalam keadaan serba sulit di kepemimpinannya, misi Serikat Sabda Allah menghasilkan 1 Uskup Pribumi yaitu Mgr Gabriel Manek SVD, 38 imam pribumi, 10 bruder pribumi, 15 suster pribumi, 408 SD dengan 56.015 murid dan 1.905 guru, 6 Sekolah Menengah dengan 445 siswa/siswi dan 21 guru, 5 SPG dengan 489 Siswa/siswi dan 19 guru di Flores.

Apa yang diungkapkan Mgr Leven tentu berkaitannya dengan perkembangan misi di wilayah Viktariat Apostolik Ende.

Di balik semuanya itu, Todabelu Mataloko hampir tak tertinggalkan pimpinan Gereja. Dalam keadaan kritis pun Todabelu Mataloko tetap ditangani oleh pastor-pastor Serikat Sabda Allah.

Secara berturut-turut inilah Imam-imam Serikat Sabda Allah yang menjadi pastor kepala stasi Todabelu Mataloko, tahun 1920-1924 Pater Joseph Ettel SVD, 1924-1929 Pater H. Helinge SVD, 1929-1939 Pater Jakob Koberl SVD, 1939-1944 Pater Hubertus Hermens SVD, 1944-1948 Pater Cornelis Does SVD, 1948-1958 Pater Anton Aarts SVD, 1958-1960 Pater Harris Van Balkom SVD, 1960-1963 Pater J. Kerstjens SVD, 1963-1964 Pater L. Delo Pius SVD, 1964-1965 Pater J. Bot SVD, dan tahun 1965-1969 Pater J. Kerstjens SVD.

Seminari Mataloko

Siswa Seminari Todabelu Mataloko saat itu.

Seminari St. Yohanes Berkhmans Todabelu Mataloko didirikan tanggal 2 Februari 1926 di Maumere, Kabupaten Sikka oleh P. Fransiskus Cornelissen SVD atas prakarsa Mgr. Vestraelen SVD.

Seminari ini kemudian dipindahkan ke Mataloko dan diresmikan pada tanggal 15 September 1929 di Mataloko. Tanggal pengresmian ini dikenang sebagai hari jadi seminari.

Tahun 1941 ditahbiskan dua imam pertama asal seminari Mataloko, yakni P. Gabriel Manek SVD dan P. Karel Kare Bale SVD.

Seminari melewati masa krisis besar ketika terjadi Perang Dunia II, tahun 1943-1945. Banyak imam diinternir dan dideportasi. Saat itu dua Uskup Jepang, Mgr. Paulus Yamaguchi dan Mgr.Aloysisus Ogihara SJ bersama dua imam Jepang lainnya datang membantu.

Setelah perang, Seminari menyesuaikan diri dengan kurikulum pemerintah. Banyak awam dilibatkan dalam proses pendidikan calon imam.

Tanggal 19 Juni 1969 Seminari menyelenggarakan pesta Panca Windu di mana seluruh masyarakat Mataloko dan sekitarnya ikut hadir.

Tahun 1979 Seminari menyelenggarakan pesta emasnya dengan penuh syukur.

Tahun 1993, pengelolaan seminari, yang selama ini ditangani biara SVD, dikembalikan ke Keuskupan. Umat dilibatkan dalam proses pendidikan calon imam melalui wadah BP3 atau Komite Sekolah.

Tanggal 27 Oktober 2002 diresmikan Seminari Bunda Segala Bangsa (BSB) di Maumere, yang merupakan kelas terjauh dari Seminari Mataloko.

Setelah Maumere resmi menjadi keuskupan sendiri, seminari BSB menjadi institusi yang terpisah dari seminari induknya, yakni Mataloko.

*) Kisah ini ditulis oleh Mikhael Dua, Theodorus Bate, Alo Lele Madja, Theresia Utha, Dorothea Dhiu, Yohanes Dogha, Yosef Leo, Nikolaus Tangi Wato (Alm) dan Yohanes Wigo Soi (Alm) dalam rangka 100 Tahun Paroki Roh Kudus Mataloko (1920 – 2020) dan disarikan oleh Chris Parera.

2 Komentar

  1. Perjuangan para misionaris waktu itu sangat luar biasa , semoga para generasi penerus tetap setia dan tabah dalam misi pelayanan yang sangat mulia ini

KOMENTAR ANDA?

Silakan masukkan komentar Anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini