sergap.id, KUPANG – Sikap Bupati Lembata, Elaser Yentji Sunur, yang tidak mengakui kekurangannya selama memimpin Lembata 2 periode telah berulangkali menuai protes dan demonstrasi di Lembata dan Kupang. Namun dua sikap itu ternyata belum cukup untuk menyadarkan Sunur. Sebab sampai hari ini Sunur belum tahu kesalahannya ada dimana. Aneh kan?
“Saya merasa sedih, lucu, juga ironis dengan pernyataan bupati yang merasa kaget dan bingung berkaitan dengan tuntutan yang disampaikan oleh aliansi saat melakukan aksi unjuk rasa di DPRD. Kenapa kaget? Kenapa bingung? Tuntutan massa itu benar dan normatif adanya, karena dialamatkan kepada DPRD yang punya kapasitas dan kewenangan untuk menurunkan Bupati sesuai dengan mekanisme yang diatur oleh tata aturan yang dijadikan rujukan untuk memproses hal ini, yang juga didukung oleh fakta dan data sebagai landasan pembenarannya,” ujar Anggota DPRD Lembata asal PDI Perjuangan, Gabriel Raring, kepada SERGAP, Kamis (3/6/21).
Itu sebabnya, lanjut Raring, kesimpulan yang sangat prematur juga, jika Sunur mengatakan bawah tuntutan massa itu tidak berdasar dan prematur. Sebab, soal berdasar atau tidak, hal ini butuh pembuktian, dan pembuktian itu harus dilakukan oleh lembaga negara yang memiliki domain kewenangan, salah satunya adalah DPRD.
DPRD bisa menindaklanjuti tuntutan massa aksi dengan menggunakan hak-hak yang melekat pada DPRD berdasarkan amanat konstitusi, yakni hak angket, hak interpelasi, maupun hak mengajukan pertanyaan.
Prosedur inilah yang bisa dipakai untuk menindaklanjuti tuntutan massa aksi.
Sehingga bagi saya (tuntutan massa itu) tidak prematur.
Tapi pertanyaannya, apakah DPRD secara Lembaga mau dan berani memproses tuntutan itu?
Raring juga menilai pernyataan Bupati yang mengatakan bahwa tidak masuk akal demonstran menjadikan isu proyek mangkrak untuk menjatuhkan dirinya dari kursi bupati adalah wujud ketakutan.
“Pernyataan ini tersirat menyimpan rasa ketakutan dari seorang Bupati. Terkesan melepaskan tanggungjawab sebagai Kepala Daerah sekaligus Kepala Pemerintahan yang bertanggungjawab penuh terhadap semua dinamika dan realitas yang terjadi, termasuk soal proyek-proyek mangkrak,” tegas Raring.
Raring menasehati Bupati Sunur agar membaca dan mendalami lagi UU Nomor 23 tahun 2014, yang telah diubah dengan UU Nomor 9 tahun 2015 tentang Pemerintahan Daerah, secara khusus mendalami Pasal 78 ayat 1 dan ayat 2, serta Pasal 76 ayat 1 poin (a) sampai dengan (j) tentang larangan untuk Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah.
Sebab, tuntutan demonstran tidak saja membicarakan soal proyek mangkrak, tetapi juga berbagai persoalan, salah satu yang aktual adalah berkaitan dengan perjalanan dinas Bupati yang mencapai 24 hari atau satu bulan berdasarkan hitungan kalender kerja.
Tentang hal ini, baca dan dalami secara baik dan bijak pada Pasal 76 ayat 1 point J, UU 23 tahun 2014, sehingga jangan mudah menyimpulkan bawah tututan Aliansi Rayat Lembata Bersatu (ARLB) saat aksi TIDAK BERDASAR dan PREMATUR.
Dan, terkait pernyataan Bupati tentang proyek mangkrak, “Apa yang saya kerjakan? Saya urus di tataran kebijakan”, menurut Raring, pernyataan tersebut sungguh-sungguh menyakitkan, menyedihkan dan memalukan.
“Karena bagi saya terkesan Bupati ‘cuci tangan’ terhadap semua proyek mangkrak yang ada dan mungkin akan ada lagi. Pernyataan ini hanya membenarkan diri dan mengkambing hitamkan orang lain, dalam hal ini pelaksana proyek, baik Aparatur Sipil Negara (ASN) maupun pihak ketiga yang terlibat dalam perkerjaan dan melahirkan proyek mangkrak. Dan, hal ini sudah sangat jelas terlihat dalam proses penegakan hukum mega proyek Awulolong. Kita berharap dan terus mendukung Polda NTT untuk terus berkerja dan membongkar siapa-siapa saja aktor intelektual dibalik kasus ini,” ujarnya.
“Pada kesempatan ini pula, saya berpesan kepada ASN ataupun pihak ketiga yang bekerja dan menjadikan proyek itu mangkrak untuk siap diri baik-baik, tidur jangan nyenyak, karena waktunya akan tiba, bahwasanya kebenaran akan menemukan jalannya sendiri,” tutup Raring. (pac/pac)