Home Daerah Ngada Mengenang Romo Maxi Alo Bria, Pr: Sirih Pinang dan Gerak ke Pinggiran

Mengenang Romo Maxi Alo Bria, Pr: Sirih Pinang dan Gerak ke Pinggiran

Almarhum Romo Maxi Alo Bria, Pr, semasa hidup.
Almarhum Romo Maxi Alo Bria, Pr, semasa hidup.

DALAM memori saya sebagai remaja, nama Maxi Bria melekat – setidaknya – dengan dua hal ini: sirih pinang dan Atapupu.

Ada alasan cukup mengapa kita perlu berbicara serius tentang dua topik di atas.

Pertama, dia melewatkan tiga tahun studi di Roma (1993-1996) dalam bidang pastoral kaum muda. Dugaan saya mereka yang studi di Roma akrab dengan kuliner Italia, namun dalam diri pastor yang satu ini kita melihat pizza dan spageti yang gagal menaklukkan sirih pinang. Soalnya, dia tergolong konsumen garis keras. Romo Maxi Bria menemukan di dalam “produk lokal” itu sebuah jembatan yang potensial. Seorang ahli pastoral kaum muda tentu tahu menggunakan elemen-elemen kultural sebagai strategi. Dari sirih pinang rupanya kita bisa belajar sesuatu.

Kedua, Paroki Stela Maris Atapupu. Ini adalah medan pastoral di mana dia paling lama mengabdi sebagai gembala; 18 tahun. Panjangnya periode kerja ini memungkinkan kita berbicara tentang komitmen seorang pastor untuk melawan kelembaman.

  • Filosofi sirih pinang

Orang yang biasa memakan sirih pinang tahu bahwa campuran yang salah antara “tiga serangkai”: sirih, pinang dan kapur bakal memabukan. Memakan sirih pinang membutuhkan bakat untuk meracik elemen-elemen kuncinya sehingga menghasilkan kombinasi yang top.

Seorang koki mesti tahu menakar bumbu, tukang bangunan dituntut supaya mahir dan jujur mencampur semen dan pasir sebab gedung yang kuat ditopang oleh campuran material yang tepat, dan seorang pelukis tentulah harus mahir mencampur cat dan bermain dengan warna.

Demikian pun rupanya seorang tokoh agama. Ia mesti mahir menjaga secara proporsional relasinya dengan kekuasaan agar tidak kehilangan daya gugat dan suara profetisnya. Hanya orang yang mempunyai karakter sekuat garam bisa tetap mempunyai “pengaruh” dalam dunia yang sudah didominasi kongkalikong dan main mata. Sering kali cara mempertahankan “pengaruh” tersebut adalah dengan menjaga jarak agar kita tidak mudah dikontrol dan dimanipulasi.

Salah satu contoh yang terkenal adalah Si Pemuda Nazaret bernama Yesus. Ada adegan dalam film The Passion of the Christ garapan Mel Gibson yang saya suka, yakni ketika Yesus diadili Pilatus. Sang penguasa yang datang dari ibu kota ingin menunjukkan superioritasnya di hadapan anak kampung itu. Pilatus sebagai wakil dari penajajah Roma ingin menunjukkan bahwa dia menguasai panggung bahkan lancar berbahasa Aram, dialeg yang dipakai Yesus.

“Anttah melekhu Yehudai?”  yang artinya “Bukankah engkau raja orang Yahudi?”

Menariknya Yesus tidak menjawab pertanyaan itu dalam bahasa Aram. Ia justru menjawab sang raja dengan sangat fasih dalam bahasa Latin, bahasanya kaum penjajah. Dengan bertutur dalam logat Pilatus sendiri Yesus mematahkan dominasi kekuasaan yang berpretensi ingin mengontrol dan menganggap remeh orang-orang kecil dan pinggiran.

Singkat kata, adegan itu rupanya ingin mengatakan bahwa wibawa seseorang tidak tergantung pada pusat atau pinggiran. Si tokoh marginal yang memiliki integritas bisa menjadi kekuatan yang mematahkan keangkuhan sentra-sentra kekuasan. Bukan soal di mana kita bermisi, tetapi soal bagaimana kita menjalankan misi itu.

Ibarat memakan sirih pinang hidup ini merupakan latihan terus-menerus untuk mengasah bakat mengolah campuran dan meracik. Romo Maxi Bria saya kira adalah sosok yang dengan penuh kesadaran mengasah bakat untuk mengolah relasi-relasinya dengan umat yang dipimpin dan didampinginya, dengan pimpinan Gereja dan dengan Pemerintah. Tentulah keberhasilannya dalam hal itu hanya bisa dinilai oleh umatnya di Atapupu dan para kerabatnya sesama imam projo dan awam yang lama bekerja sama dengan beliau untuk membangun umat di Keuskupan Atambua.

Komitmen untuk memilih “yang di pinggir” itu kelihatan dari opsinya untuk berani pergi ke Atapupu sesudah selama enam tahun bekerja di sekitar Uskup (1996-2001). Ilmunya yang ditimba di Roma mau didaratkan di pelosok untuk digesek oleh realitas konkret. Dia tidak ke menara gading seperti Seminari Tinggi atau Menengah tetapi justru menemukan “kampusnya” di tengah umat sederhana.

  • Lawan kemapanan

Jalan hidupnya membawa dia dari satu pantai ke pantai yang lain, dari laut pantai selatan yang bergejolak ke sebuah teluk dengan gelombang pantai utara yang tenang. Dari Weoe ke Atapupu.

Walaupun beberapa tahun belakangan dia bertugas sebagai Pastor Kepala di sebuah Paroki baru di wilayah Belu bernama Labur, namun dalam memori banyak orang di Keuskupan Atambua Romo Maxi Bria lebih dikenal sebagai orang Atapupu. Identitas primordialnya sebagai orang Malaka rupanya sudah luput dari ingatan orang dan – hemat saya – seharusnya memang begitu.

Sebagai pastor Anda pasti tidak akan ditugaskan di kampung halamanmu sendiri. Konon, kebiasaan ini mengikuti ungkapan terkenal Yesus dalam Injil. Pengalaman buruk Si Pemuda Nazaret itu di kampung-Nya sendiri (Mrk 6,4) menginspirasi Gereja untuk merancang caranya bermisi. Orang berusaha melampaui tendensi primordial, meninggalkan keluarga sendiri, “melupakan” mereka dan pergi melampaui batas suku, logat dan teritori. Dengan itu orang menghayati satu spiritualitas lintas batas. Kita adalah orang-orang yang selalu menyeberang. Kita menolak menjadi mapan.

Tentu karena spirit menolak kemampanan itulah maka di usianya yang sudah paruh baya, sesudah lama berkarya di Atapupu, dia berani “angkat kaki” menuju Labur. Pasti saja gejolak untuk terus bergerak ini tak mudah ketika usia tak lagi muda. Komitmen untuk melawan kelembaman itu sungguh teladan yang istimewa. Dia bukan bergerak ke pusat-pusat kekuasaan melainkan beralih ke pelosok.

Pada awal Mei 2017 ketika sedang berada di Soverdi Matraman-Jakarta, saya kebetulan tinggal serumah dengan Anton Pain Ratu yang sedang berobat. Ketika tahu bahwa saya pernah bekerja di Adonara – kampung halamannya – panjanglah cerita kami. Pada satu kesempatan saya memberanikan diri, lancang bertanya kepadanya: siapa saja imam Keuskupan Atambua yang sungguh punya komitmen dalam berpastoral di akar rumput?

Uskup Emeritus Atambua tampak agak diplomatis. Sesudah beberapa saat dia mencari dan menyebut beberapa nama. Tidak banyak. Salah satunya adalah Romo Maxi Alo Bria, Pr.

Banyak orang mengenang dia sebagai Pastor yang energik lagi bisa mendaratkan ilmunya yang ditimba jauh-jauh di Roma. Tulisan ini untuk menghormati almarhum, opsinya yang jelas dan tentu menginspirasi.

*) Penulis: V. Nahak, Alumnus Teologi Kontekstual Ledalero

Tidak Ada Komentar

KOMENTAR ANDA?

Silakan masukkan komentar Anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Exit mobile version