Home OPINI Pariwisata Prime Mover, Antara Gagas dan Fakta

Pariwisata Prime Mover, Antara Gagas dan Fakta

Patung Bunda Maria tertinggi ini adalah salah satu ikon pariwisata di Provinsi NTT yang terletak di Kabupaten Belu.
Patung Bunda Maria tertinggi ini adalah salah satu ikon pariwisata di Provinsi NTT yang terletak di Teluk Gurita, Desa Dualaus, Kecamatan Kakuluk Mesak Kabupaten Belu.

NUSA TENGGARA TIMUR dalam kisah kekinian disariwartakan sebagai negeri elok indah alamnya, menarik pikat ragam budayanya, merayu puja bentangan negerinya. Kesohoran Nusa Tenggara Timur, kabarnya menyilaukan bahkan meredupkan banyak cerita legenda lampau.

Lumbung tidur, potensi pulas, itulah Nusa Tenggara Timur, ketika belum dirambah dan dijamah. Sadar akan kesohoran ini Bapak Vicktor Bungtilu Lasikodat (VBL), kemudian dalam kepemimpinanya menjadikan Pariwisata sebagai Lokomotif pembangunan Ekonomi Nusa Tenggara Timur, yang menarik gerbong ekonomi lainnya.

Konsep pemikiran yang sangat atraktif dan akseleratif dalam pengembangan Pariwisata Nusa Tenggara Timur yakni Pembanguan Pariwisata berbasis Masyarakat (Community Base Tourism), dengan Pola Pengembangan yang menekankan pada aspek keberlanjutan (Sustainability Tourism).

Keberlanjutan dalam gagas pikir Bapak Gubernur NTT bukan saja soal dukungan dan sikap kita terhadap lingkungan alam sekitar (support for the environment) sebagaiaman isu keberlanjutan pada umumnya, tetapi keberlanjutan dalam ruang gagas Pemimpin NTT ini adalah soal tanggung jawab, soal rasa bangga, soal rasa memiliki, soal keyakinan akan manfaat.

Keberlanjutan dalam konsep pikir ini mengandaikan dan mendudukan masyarakat sebagai pelaku dan penerima manfaat pada tingkat pertama.

Dalam Konteks dan Konsep mendudukan masyarakat sebagai pelaku sekaligus penerima manfaat pada tingkat Pertama inilah kemudian menjadi modal awal sekaligus kekuatan pembangunan itu sendiri. Buah renung pikir seorang VBL ini tentunya tidak datang begitu saja, kemudian dijadikan sebagai wacana semata.

VBL dengan semua keyakinan dan tekadnya serta sumber daya yang dimilikinya tentunya berharap penuh pada dukungan Birokrasi (ASN) maupun pelaku/swasta dan masyarakat. Komponen ini perlu bersinergi dan bergerak bersama dalam membangun Pariwisata Nusa Tenggara Timur.

Pariwisata berkelanjutan dalam konsep Bapak VBL adalah Suatu kondisi dimana (1) utilitas yang diperoleh masyarakat tidak berkurang sepanjang waktu dan konsumsi tidak menurun sepanjang waktu (non-declining consumption), (2) kondisi dimana sumber daya pariwisata sebagai Atraksi dikelola sedemikian rupa untuk memelihara kesempatan produksi dimasa mendatang, (3) kondisi dimana sumber daya pariwisata (tourism capital stock) tidak berkurang sepanjang waktu (nondeclining), (4) kondisi dimana sumber daya pariwisata dikelola untuk mempertahankan produksi jasa sumber daya pariwisata, dengan kalimat sederhana dapat dikatakan keberlanjutan pembangunan kepariwisataan adalah adanya kondisi dimana terjadinya keseimbangan dan daya tahan (resilience) keseluruhan aspek penunjang dan penerima manfaat dari kegiatan kepariwisataan bersinergi secara sehat dan saling menguntungkan.

Pembangunan pariwisata berkelanjutan dalam runut pikir yang demikian pada intinya sangat berkaitan dengan usaha untuk menjamin agar sumber daya alam, sosial dan budaya yang dimanfaatkan untuk pembangunan pariwisata pada generasi ini agar dapat dinikmati untuk generasi yang akan datang. Karenanya Pembangunan pariwisata dalam keseluruhan dan kebulatan renung pikir seorang VBL adalah pembangunan kepariwisataan yang dapat didukung secara ekologis dalam jangka panjang, layak secara ekonomi, adil secara etika dan sosial terhadap masyarakat, serta kuat dan lestari secara budaya.

Pariwisata model ini hanya mungkin terjadi jika ada elaborasi prinsip-pronsip  partisipasi, keikutsertaan para pelaku (stakeholder), pengakuan dan pengakomodirian terhadap kepemilikan lokal, yang mewadahi tujuan-tujuan masyarakat.

  • Pariwisata dan Kedisinian

Konsep besar Gubernur tersebut di atas tentunya dalam kerangka gagasan harus mampu didaratkan oleh operator teknis yang dipercaya oleh Beliau, dalam hal ini Briokrasi atau Organisasi Perangkat Daerah yang dipercaya secara teknis mengelaborasinya.

Kita tentunya sangat berharap agar dalam mengelaborasi pemikiran Gubernur Nusa Tenggara Timur dilakukan secara hati-hati dan dilandasi oleh niat yang tulus untuk membangkitkan dan mensejahterakan Nusa Tenggara Timur.

Dalam konsep pikir Penulis, Pembangunan pariwisata yang membumi adalah pembangunan pariwisata yang tidak hanya mendirikan cottage dan homestay tetapi bagaimana aspek akomodasi ini mampu menjabarkan atau menarik funsi lainnya menjadi sebuah Estate.

Pariwisata Estate yang dimaksudkan dalam RPJMD adalah pariwisata yang hadir dan mampu menghidupkan semua potensi disekitar lokasi pembangunan Kepariwisataan. Pariwisata yang mampu menghidupkan Pertanian dan Perkebunan, Pariwisata yang mampu menggairahkan industri keratif, pariwisata yang mampu memberikan Nilai Tambah pada kebuduayaan dan diatas semua itu adalah Pariwisata yang menjamin semua kegiatan produksi pada tingkat pertama akan mengalir, berakhir dan dimanfaatkan untuk kegiatan kepariwiataan.

Pariwisata estate yang dimimpikan dan digagaskan adalah Pariwisata yang menjamin adanya Rantai Pasok dari usaha-usaha local dengan sentuhan desain, diubah, dibumbuhi dan dikemas dengan standard dan cita rasa pariwisata.

Pariwisata estate yang digagas adalah pariwisata yang memungkinkan potensi lokal bertumbuh, hidup dan mengalami siklus pertambahan nilai untuk mendukung kebutuhan pariwisata. Sehingga menurut hemat Penulis dalam konteks kedisinian adalah sebuah kegagalan dalam konsep perencanaan ketika Pembangunan atau Penataan Pariwisata Estate hanya ditekankan pada aspek membangun akomodasi.

Hal ini tentunya sejalan dengan Pernyataan Gubernur NTT ketika meresmikan Pembangunan Cottage di Liman beberapa waktu lalu. Masih sangat membekas dalam memori kolektif kita ketika  Gubernur VBL dalam sambutannya menyatakan bahwa Peresmian Cottage ini harus diikuti oleh kegiatan-kegiatan lainnya yang kemudian menjadikan akomodasi ini memiliki makna dan tidak menjadi sebuah monument mati yang gemerlap pada saat di launching.

Dan, membangun pariwisata yang partisipatif juga tidak cukup dengan melakukan kegiatan yang menurut hemat Penulis belum tepat sasaran maupun tepat momentum yakni melakukan roadshow  pelatihan bahasa Inggris ke pelosok-pelosok Lokus Pariwisata Estate, dimana masyarakatnya belum familiar dengan bahasa Internasional ini.

Menghabiskan anggaran untuk pelatihan Bahasa Inggris saat ini, apapun tujuannya jelas belum banyak memberikan manfaat jika masyarakatnya belum disiapkan untuk memiliki rasa dan dapat berprilaku Pariwisata.

Awareness sebagai salah satu point yang ditekankan oleh Gubenur NTT adalah soal bagaiaman masyarakat dapat merasa sebagai bagian dan akhirnya dapat ikut serta dalam gerak pariwisata itu sendiri.

Menimbuhkan minat untuk ikut dalam kegiatan pariwisata hanya dapat dilakukan jika masyarakat bangga terhadap apa yang dimilikinya, karenanya hemat Penulis pelatihan Bahasa Inggris yang dilakukan sporadis sebaiknya diganti atau difusikan dengan upaya Penguatan Literasi terkait Atraksi.

Penguatan literasi ini tidak hanya dengan rekam digital semata, tetapi juga membangun kekuatan lisan dari pemilik atraksi agar apa yang dilisankan tidak berubah dari generasi ke generasi.

Pembangunan kepariwisataan yang bangkit dan yang sejahteraa adalah pembangunan kepariwisataan yang menguatkan Profesi pelaku usaha Pariwisata berlisensi sambil memproteksi dan memberi ruang bagi pelaku local mendapat manfaat dari kegiatan kepariwisataan.

Pembangunan kepariwisataan yang bangkit dan yang sejahtera adalah pembangunan kepariwisataan yang menguatkan Usaha Pariwisata bersertifikat sambil menumbuhkan dan memanfaatkan produk local melalui pola asah, asih asuh.

  • Penutup     

Akhirnya apapun yang kita kerjakan dan apapun yang kita niatkan tentang Pariwisata Nusa Tenggara Timur haruslah dipastikan bahwa Pariwisata kita mengarah kepada tiga kualitas, yakni 1) pariwisata harus mampu mewujudkan kualitas hidup ”quality of life” masyarakat lokal, 2)  pariwisata harus mampu memberikan kualitas berusaha ”quality of opportunity” kepada para penyedia jasa dalam industri pariwisata, serta yang terpenting adalah 3) terciptanya kualitas pengalaman wisatawan ”quality of experience”.

Penulis: Paulus Histo Safrodan, SH, MH.

Tidak Ada Komentar

KOMENTAR ANDA?

Silakan masukkan komentar Anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Exit mobile version