
sergap.id, NGGOLONIO — Senin ( 17/11/25) siang, di tengah panasnya udara pagi di Desa Nggolonio, Kecamatan Aesesa, Kabupaten Nagekeo, iringan gong dan tarian sederhana siswa SMPN 6 Aesesa menyambut langkah Bupati Nagekeo, Simplisius Donatus berserta rombongan.
Suasana pun menjelma menjadi simbol kebangkitan budaya ketika Bupati secara resmi meresmikan Sanggar Seni dan Tenun Ikat Rowet Savana Community (RSC), sebuah wadah kreatif yang berdiri di lingkungan sekolah namun membawa misi sosial-budaya yang lebih luas.
Acara peresmian ini turut dihadiri Plt. Kadis Pendidikan dan Kebudayaan Nagekeo, Oskar Yoseph Amekae Sina; Kepala Desa Nggolonio; Kepala SMPN 6 Aesesa; tokoh adat; serta sejumlah tamu undangan.
Wajah cerah para guru dan siswa mencerminkan harapan besar bahwa sanggar ini akan menjadi ruang baru bagi penguatan identitas budaya dan pendidikan karakter.
-
Ruang Hidupnya Budaya Lokal
Sanggar RSC bukan sekadar tempat berkumpul. Ia dirancang sebagai ruang pengembangan potensi peserta didik secara menyeluruh—olah pikir, olah rasa, olah hati, hingga keterampilan olahraga—dengan titik fokus pada seni tradisi dan tenun ikat Nagekeo. Tenun ikat, yang selama ini dikerjakan para ibu di kampung-kampung dengan filosofi hidup yang khas, kini diperkenalkan lebih sistematis di lingkungan pendidikan.
“Melalui sanggar ini, anak-anak bisa belajar mengenal diri mereka lewat budaya. Mereka bukan hanya belajar menari atau menenun, tetapi belajar memahami nilai, disiplin, dan jati diri,” ujar Kepala SMPN 6 Aesesa dalam sambutannya.
Keberadaan sanggar juga menjembatani hubungan sekolah dengan masyarakat. Para tokoh adat dan pengrajin lokal menjadi bagian dari proses belajar, sehingga tradisi tidak hanya dipamerkan, tetapi diturunkan melalui praktik langsung.
-
Fondasi Generasi Muda
Dalam sambutannya pula, Bupati Simplisius Donatus menyampaikan apresiasi mendalam terhadap para penggerak sanggar, mulai dari guru, komite sekolah, hingga para siswa yang secara sukarela menghidupkan kegiatan seni dan budaya.
“Sanggar ini lahir dari semangat gotong royong. Meski berada di lingkungan sekolah, RSC memiliki AD/ART yang jelas dan telah terdaftar secara resmi di Dinas Pendidikan dan Kebudayaan. Ini menandakan keseriusan kita dalam membangun ruang kebudayaan yang terstruktur dan berkelanjutan,” ungkapnya.
Ia menambahkan bahwa pemerintah daerah menjalankan kebijakan penguatan pendidikan berbasis budaya, dan kehadiran RSC menjadi bukti bahwa sekolah dapat menjadi pusat transformasi sosial.
“Zaman boleh berubah, teknologi boleh berkembang cepat, tapi identitas budaya harus tetap menjadi kompas hidup. Pemerintah daerah akan terus mendukung lahirnya ruang-ruang kreatif seperti RSC, karena di sinilah karakter generasi muda ditempa,” tegasnya.
Menurut dia, sanggar seperti ini berperan penting dalam menanamkan nilai-nilai lokal seperti kebersamaan, kerja keras, kesederhanaan, dan penghargaan terhadap karya leluhur.
-
Dari Regulasi hingga Fasilitasi
Plt. Kadis Pendidikan dan Kebudayaan, Oskar Yoseph Amekae Sina, dalam kesempatan tersebut menegaskan bahwa keberadaan sanggar sejalan dengan program prioritas daerah di bidang penguatan budaya sekolah. Ia menyebut pemerintah daerah siap memfasilitasi pelatihan, pendampingan, serta penguatan kapasitas instruktur sanggar.
“Kami ingin memastikan sanggar ini tidak hanya aktif di awal, tetapi berjalan berkesinambungan. Pemerintah akan mendampingi agar kegiatan seni dan tenun dapat terintegrasi dengan kurikulum muatan lokal,” ujar Oskar.
-
Representasi Identitas Nagekeo di Tengah Perubahan
Sanggar Rowet Savana Community atau RSC tidak hanya dibangun untuk hari ini, tetapi untuk masa depan. Di tengah deras arus modernisasi, sanggar ini menjadi simbol bahwa budaya bukan sekadar peninggalan, melainkan energi hidup yang terus diperbarui oleh generasi muda.
Di halaman sekolah, setelah peresmian, para siswa memperagakan atraksi seni sederhana—sebuah tanda kecil tetapi penuh makna bahwa budaya bukan milik orang dewasa semata, tetapi milik anak-anak yang mewarisinya.
Sebagaimana ditegaskan Bupati Simplisius, “Jika kita ingin generasi kita kuat, maka mereka harus berdiri di atas identitasnya. RSC adalah langkah kecil namun sangat berarti bagi masa depan budaya Nagekeo.”
Dengan berdirinya sanggar ini, SMPN 6 Aesesa tidak hanya menjadi lembaga pendidikan, tetapi juga pusat pelestarian budaya yang menyatukan sekolah, pemerintah daerah, dan masyarakat. RSC menjadi ruang di mana tenun ikat, tari tradisi, dan nilai-nilai lokal menemukan kembali rumahnya. (sp/ad)




























