sergap.id, JAKARTA – Komjen Pol (Purn) Gories Mere dan Irjen Pol (purn) Jecky Uly mendukung Kompol Cosmas Kaju Gae mengajukan banding terhadap keputusan Pemberhentian Dengan Tidak Hormat (PTDH) yang telah dijatuhkan kepadanya pada 28 Agustus 2025 lalu.

Selain dua jenderal itu, dukungan juga datang dari Kombes Pol (Purn) Alfons Loemau, Anggota DPR RI dari Dapil NTT I dan II, yakni Melkias Markus Mekeng, Ahmad Yohand, Juli Laiskodat, dan Rudi Kabunang, serta para advokat asal NTT seperti Petrus Selestinus, Petrus Ballapationa, Honing Sani, serta Ketua Divisi Hukum Forum Pemuda NTT, Wilvridus Watu.

Dukungan tokoh-tokoh asal NTT ini disampaikan dalam pertemuan di Kawasan SCBD, Jakarta, Sabtu 6 September 2025.

Mereka sepakat bahwa langkah banding harus ditempuh agar putusan PTDH tidak berkekuatan hukum tetap, sembari tetap menghormati dan mengedepankan keadilan bagi korban almarhum Affan Kurniawan.

Pada kesempatan itu, Gories Mere menyampaikan rekam jejak Kompol Cosmas yang bergabung dengan Polri sejak 1996.

Ia pernah bertugas di berbagai wilayah konflik seperti Timor Timur, Papua, Poso, Aceh, hingga ke Sudan Utara, Afrika, sebagai Peace Keeper (Pasukan Perdamaian dibawah naungan UNIMAD) atau United Nation Mission In Darfour.

Pada 2 Januari 2007, saat bertugas di daerah konflik, Kompol Cosmas tertembak di bahu oleh kelompok bersenjata dan nyaris diamputasi di RS Polri Kramat Jati. Beruntung ia kemudian dirujuk, dan berkat perawatan intensif di RS Elisabeth Singapura, luka tersebut dapat diobati, namun bekas tembakan masih membekas sebagai bukti pengorbanan.

  • Tekanan Situasi

Putusan PTDH terhadap Kompol Cosmas yang telah mengabdi lebih dari 20 thn itu menimbulkan keprihatinan luas. Pasca putusan sidang kode etik di Bareskrim Polri, Kompol Cosmas menyampaikan pernyataan terbuka berisi permohonan maaf, serta penghormatan kepada keluarga korban.

Ia menegaskan hanya melaksanakan tugas sesuai perintah komando, tanpa ada niat untuk mencelakakan siapa pun. Kejadian itu di luar dugaan dan baru diketahui adanya korban setelah tersebar di media sosial.

Jika dilihat dari sisi faktual, kondisi kendaraan taktis Brimob memiliki keterbatasan jarak pandang ke bawah, ditambah kaca yang terkena gas air mata sehingga semakin sulit melihat.

Peristiwa terjadi dalam suasana kericuhan, di mana massa justru menyerang kendaraan, bukan menolong korban yang terjatuh. Kompol Cosmas saat itu duduk di samping sopir, bukan pengemudi.

Jika kendaraan kembali bergerak, hal itu dilakukan karena adanya tekanan situasi, bukan karena mengetahui ada korban di bawah ban.

Dari sisi hukum pidana, tidak ditemukan unsur dolus (kesengajaan) karena tidak ada niat atau kehendak batin untuk menghilangkan nyawa orang lain. Unsur culpa (kelalaian) pun sulit dibuktikan mengingat posisi Kompol Kosmas bukan pengemudi, serta situasi objektif yang tidak memungkinkan dirinya mengetahui adanya korban.

Peristiwa ini lebih tepat dikategorikan dalam kerangka overmacht (keadaan memaksa), di mana kendaraan harus bergerak karena terdesak oleh serangan massa demi keselamatan anggota di dalamnya.

Oleh karena itu, penjatuhan sanksi PTDH terhadap Kompol Cosmas dapat dinilai tidak proporsional, baik dari kacamata hukum pidana maupun etik.

Upaya banding menjadi jalan konstitusional yang harus ditempuh agar perkara ini diputus dengan lebih adil dan proporsional.

Dukungan luas dari masyarakat, tokoh masyarakat, wakil rakyat, serta praktisi hukum menunjukkan bahwa kasus ini bukan sekadar menyangkut satu individu, tetapi juga menyangkut rasa keadilan publik.

Kompol Cosmas adalah sosok pengabdian dari NTT untuk NKRI, dan tragedi ini seharusnya menjadi refleksi bersama agar hukum ditegakkan dengan adil, proporsional, serta menjunjung tinggi kemanusiaan. (Reu/WW)

Komentar Sesuai Topik Di Atas