sergap.id, KUPANG – Pengamat politik asal Muhammadyah Kupang, DR. Ahmad Atang, M. Si, mengatakan, Kristo Blasin, Adinda Lebu Raya, dan Andreas Hugo Parera (AHP) tidak memiliki nilai jual sebagai Calon Gubernur NTT 2018 – 2023.
Berikut petikan wawancara lengkap wartawan SERGAP.ID Frits WL dengan Ahmad Atang di Kupang, Kamis 9 November 2017:
Kondisi riil yang ada bahwa hanya ada satu paket yang sudah ada (final), yakni paket Esthon Foenay -Chris Rotok. Sedangkan paket lain dari poros Nasdem – Golkar masih dalam suasana yang belum fix. Karena Golkar sendiri saat merekomendasikan Melki Laka Lena untuk berpasangan dengan figur Nasdem harus melihat ulang seperti apa penerimaan publik kepada paket ini.
Memang ini sangat dinamis dan rencana deklarasi paket ini sering tertunda, karena Golkar sendiri belum 100 persen melihat paket ini menjanjikan. Sehingga membuat dinamika di kedua Partai ini, bagaimana mempertahankan koalisi yang ada? Atau berpikir ulang? Dan, ini menimbulkan perdebatan.
Apalagi kondisi Novanto yang pada hari ini ditetapkan sebagai tersangka, tentunya akan berpengaruh terhadap Partai Golkar dari Pusat sampai ke Daerah, karena lingkaran-lingkaran di sekitar Novanto sedang bermain di luar koridor Partai.
Orang-orang yang ditetapkan dapat dimentahkan kembali apalagi ada desakan karena dia tersangka. Itu kasus yang saya pikir akan mengancam paket yang sementara ini sudah dibangun antara Gokar dan Nasdem.
Sedangkan Demokrat yang membangun koalisi dengan Hanura, PKPI, itu komunikasi sudah dibangun, tetapi riil administrasi berupa Surat Keputusan belum ada. Makanya saya berani mengatakan kalau Beni K Harman belum aman diposisinya.
Yang menarik itu di PDIP. Bagi saya, PDIP punya beban politik yang jauh lebih besar dibandingkan partai politik lain. Pertama, memang 10 tahun Frans Lebu Raya menjabat sebagai Gubernur 2 Periode, tetapi apakah PDIP mampu mempertahankan lagi posisi ini. Psikis politik ini membuat mereka hati-hati, mencari figur yang mampu menciptakan keberlanjutan partai, atau jabatan politik ini.
Sehingga ada semacam kegamangan yang terjadi di tubuh internal PDIP dari figur-figur yang PDIP rekrut, baik di kalangan partisan, internal PDIP, dan kalangan non partisan, tetap saja mengerucutnya ke kadernya sendiri.
Tetapi kadernya sendiri seperti Kristo Blasin, Adinda Lebu Raya, Andreas Hugo Parera, tidak memiliki nilai jual sama sekali. Apalagi figur-figur ini petarung yang sama berasal dari Flores.
Mereka itu tidak sekaliber Frans Lebu Raya. Lihat saja, 5 tahun lalu Frans tetap menang telak. Tetapi asumsi ini tidak bisa di 2018. Itu tidak bisa menjadi dasar.
Kalau pecah kongsi antara Nasdem dan Golkar, bisa saja Melki Laka Lena keluar sebagai nomor 1. Sebab dia juga punya modal politik yang cukup kuat. PDIP, Nasdem, Golkar itu memiliki basis dukungan yang tidak merata.
Beni Harman sendiri tidak merata dukungannya, apalagi Melki Laka Lena atau Kristo Blasin serta Adinda Lebu Raya, atau juga Marianus Sae.
Karena itu, di PDIP, siapapun yang mereka munculkan dari kadernya sendiri atau diambil dari luar kadernya, tetap saja mereka akan memilih orang Flores, tidak mungkin orang lain. Mekanisme rekruitment partai itu sudah kompatibel dan tidak akan keluar dari domain itu. Jika tidak, contoh PDIP mengambil Titu Eki, itu bisa menciptakan blunder baru di Bumi Timor. Tetapi kalau umpamanya diambil figur seputar Katolik Flores, paling tidak memberi stigma bahwa tidak ada kader lain yang Capable.
Ada yang melihat Marianus Sae itu sebagai Figur yang menjembatani pertarungan tua muda dalam pilkada ini.
Dan, waktu itu Medah belum keluar dari Golkar. Ketika Marianus Sae dimunculkan oleh PKB, bagi saya dia menjembatani pertarungan tua muda, tetapi kalau dari sisi politis tidak sesederhana itu.
Kalaupun PDIP mengambil Marianus Sae, tetap Jeruk makan Jeruk. Karena kalau mau menang dalam hitungan politik identitas dengan mencoba melihat figur-figur dari Bupati ataupun Wakil Bupati seluruh Pulau Flores ada 4 atau 5 orang.
Kalau Marianus Sae muncul sebagai Calon Gubernur terus Beni K. Harman sebagia Calon Gubernur, Melki Laka Lena juga sebagai Calon Gubernur, dan Chriss Rotok juga muncul sebagai Calon Gubernur, itu membuat suara Flores terbagi habis untuk 4 Kandidat ini.
Kekuasan politik teritorial Beni dan Chris akan merebut kolam yang sama. Bergeser ke Ngada dan Nagekeo itu wilayahnya Marianus Sae. Masuk Ende itu wilayahnya Melki Laka Lena. Maumere dan Sikka serta Flotim dan Lembata itu ada pertarungan bebas di sana.
Karena itu, dengan melihat komposisi figur dan wilayah itu memberi sumbangan suara masing-masing orang tidak signifikan.
Emi Nomleni sendiri nasibnya sama dengan Kristo Blasin yang tidak sedang dalam posisi menjabat walaupun mereka malang melintang di dunia politik. Tetapi basis Nomleni di Kabupaten Timor Tengan Selatan dibandingkan dengan Esthon, masih lebih kuat Esthon. Dan, kalau Beni Harman jadi berpasangan dengan Beny Litelnoni, maka mereka (Nomleni dan Litelnoni) akan rebut suara di tempat yang sama.
Menurut saya, PDIP harus bisa mengambil Paul Mela atau Titu Eki supaya mengganggu Esthon. Kalau dipaksakan ini akan menimbulkan perkelahian politik, karena di sana orang Flores semua.
Secara culutural, Esthon memiliki basis dukungan yang cukup luar biasa yakni Kota Kupang, Kabupaten Kupang dan TTS. Ini kalau mau hitung jumlah pemilih hampir satu juta. Kota Kupang Tiga Ratus Ribu Lebih, Kabupaten Kupang Dua Ratus Ribu Lebih, TTS sendiri memiliki Tiga Ratus Ribu lebih.
Kita harus bisa jujur mengatakan bahwa kinerja-kinerja yang ada bisa membawa dampak untuk karir politik seseorang. Kalau ada cara pandang masyarakat yang sekarang mengatakan bahwa Marianus itu tokoh muda, itu sangat betul.
Jika rating menempatkan Marianus Sae di posisi tertinggi, saya kira itu tren positif. Tinggal bagaimana Ia merawat Trend ini, karena ini dinamis. Inilah kelemahan demokrasi kita. Kadang orang memiliki kapasitas dan kapabilitas yang secara akademis diterima publik, tetapi egoisme partai juga sering mengabaikan aspek-aspek penilaian masyarakat.
Makanya saya katakan, apakah PDIP sudah ikhlas mau mengambil Marianus Sae untuk menjadi calon Gubernur? Nanti Dia memakai baju merah sekalipun, saya belum yakin bahwa PDIP ikhlas. Karena ini egoisme partai. Tentu saja PDIP akan meniscayakan orang-orang terbaik.
Marianus Sae orang terbaik tetapi kalau egoisme partai mendominasi cara pikir elite partai, itu tidak akan menghasilkan Calon Gubernur yang terbaik. Oleh karena itu bisa saja mereka (PDIP) akan mempertahankan kadernya sendiri.
Perlu diaketahui, cara pandang partai itu ideologis, selalu mengamankan kepentingan partai. Karena itu sehebat-hebatnya Marianus Sae, tetapi kalau misalnya dalam pandangan tertentu Marianus Sae tidak bisa diatur, dan Partai lain berpikiran sama, itu akan menjadi batu sandungan baginya sendiri.
Lihat Jokowi, secara genealogi Partai, ia dibesarkan oleh PDIP, tetapi kalau telisik loyalitasnya agak bergeser. Makanya banyak elit PDIP yang sakit hati karena jatah kursi menteri dari PDIP sedikit saja, walapun Jokowi sendiri sangat populis dan menguntungkan PDIP secara politis.
Dan siapapun yang akan dideklarasikan PDIP tanggal 11 November 2017 nanti, tanggungjawabnya adalah mengamankan kepentingan PDIP sendiri. Ini sangat luas. Mengamankan kepentingan PDIP tidak saja secara politis tetapi juga kader-kader PDIP. Entah itu hidup mereka ke depan, nasib politik ke depan, ataupun kekuasaan politis.
Dan, ini yang harus dilakukan oleh Marianus Sae bila betul ia sudah dipilih oleh PDIP. Dan, kehadiran Emi Nomleni adalah sentimen politik dalam perspektif Gender. Kalau kemudian PDIP memanfaatkan issue-issue gender sebagai trend politik, itu wajar saja. Soal nanti dipilih atau tidak, itukan pilihan publik.
Para aktivis perempuan akan memberikan apresiasi kepada PDIP bahwa ada partai yang mengakomodir suara mereka. Bukan tidak mungkin mereka akan turut berperan dalam proses dukungan untuk Nomleni.
Bantahan yang terjadi dari petinggi PDIP tentang siapa yang bakal dideklarasi tanggal 11 itu adalah panggung yang sedang dimainkan oleh mereka sendiri. Apa yang tampak di depan selalu berbeda dengan yang ada di belakang.
Saya sangat paham bagaimana politisi membangun komunikasi politiknya. Tetapi kalau itu yang terjadi, Marianus Sae itu sedang dihadang oleh banyak pihak. Karena mereka sedang merebut di kolam yang sama.
Emi Nomleni di TTS, juga Beny Litelnoni di TTS, Esthon pun demikian. Kalau memunculkan Calon Gubernur dari Flores dan Wakil dari Timor tanpa memperhitungkan basis politik tidak menguntungkan. Kenapa (MArianus Sae) tidak mengambil Ray Fernandes? Toh dia juga basis politik, dua periode menjabat sebagai Bupati, dan kader PDIP yang fenomenal.
Hanya orang kemudian menjadi buntu, Marianus Katolik Flores, dan Ray Fernandes Katolik Timor. Ini cara pandang yang tidak sehat. Coba dulu lah Marianus dan Ray Fernandes. Kita jangan lihat Katoliknya tetapi Figur dan kinerjanya. Mereka berdua memiliki market table yang sama.
Tanggal 11 Nopember (2017) deklarasi PDIP itu bukan tanggal keramat lalu semua masyarakat NTT menunggu dengan asumsi dan persepsi yang berbeda. Ini tinggal 2 hari lagi dan tidak mungkin. Tidak akan terjadi atau belum dilakukan. PDIP sendiri lagi bergulat dan bergelut dalam kepentingannya.
Toh kalau jadi pun, bisa saja Marianus Sae dan Emi Nomleni yang tembus menjadi Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur dari PDIP.
Saya meminta kepada masyarakat untuk mencermati dinamika yang ada, bahwa NTT pasti punya Gubernur dan Wakil Gubernur. Entah siapapun itu. Banyak orang yang kecewa karena banyak Partai Politik menghadirkan figur yang tidak kapable dan punya kapasitas.
Kita tidak bisa begitu. Sekali pun dia jelek, kita harus tetap memilih pemimpin, jangan kita mengatakan ini jelek. Ya kita harus memilih yang jelek dari yang terjelek. (fwl/fwl)