sergap.id, KUPANG – Pengamat politik asal Undana Kupang, Dr. David Pandie, MS, memiliki analisa sendiri soal peluang koalisi PDIP – PKB mengusung paket di Pilgub 2018. Berikut pernyataan lengkapnya yang disampaikan kepada SERGAP.ID, Kamis (9/11/17).

SAMPAI hari ini baru satu pasangan (Cagub-Cawagub), yakni Esthon (Foenay) dan Chris (Rotok). Yang lain katanya sudah pasti, tetapi belum dekalarasi.

Ini bagi publik, penuh dengan tanda tanya, dan menyimpan kemungkinan. Terutama oleh PDIP yang belum mengajukan calon yang ditetapkan.

Kemungkinan PDIP (berkoalisi) dengan PKB. Dari media yang publikasi kemarin, Marianus Sae dengan Emy Nomleni. Ada petinggi partai sampaikan sudah oke, tetapi ada sebagian yang katakan belum. Kita pahami karena ini belum ada SK, tentu saja ini mengandung kemungkinan, bisa definitif, bisa tidak seperti itu. Atau ini adalah bocoran yang merembes keluar hanya belum diformalkan.

Publik tentu sangat menunggu ini pada tangga 11 (November 2017) nanti. Jika keputusan (PDIP) itu benar, maka ramailah Pilkada ini dengan tingkat kompetisi yang tinggi, di mana ada 4 paket, yakni Esthon – Chris, Jacky – Laka Lena, Beni K. Harman – Beni Litelnoni, dan Marianus Sae – Emy Nomleni. Kita wait and see saja ya.

Dengan kehadiran figur-figur ini membuat masyarakat pemilih akan melihat alternatif pilihan yang banyak. Empat paket ini masuk dalam kontestasi politik yang seru. Kalau kita berpijak pada backround primordial untuk calon Gubernur, jika sudah pasti, maka akan 2 calon gubernur dari Flores yang Katolik, kemudian 2 calon Gubernur dari Timor yang Protestan. Ada pula 2 calon Wakil Gubernur dari Flores yang Katolik dan ada 2 Calon Wakil Gubernur dari Timor yang Protestan.

Kalau ini jadi, maka di atas kertas, Sumba adalah daerah yang tak bertuan. Gerakan ke Sumba juga menentukan. Karena tidak ada sama sekali calon yang berasal dari Sumba.

Proses menuju ke sana, masing-masing calon akan mengaktualkan segala potensi dirinya. Publik juga akan menyoroti hal-hal yang baik dan buruk, ini adalah transparansi politik. Yang paling penting adalah tidak boleh ada Black Campaign yang sifatnya menyerang pribadi dan menjatuhkan. Kalau mengungkapkan apa yang menjadi kelemahan, ungkapkanlah itu dengan cara yang rasional ke publik dan dapat dipertanggungajawabkan. Saya minta, masyarakat jangan menegatifkan figure, karena mereka tentu saja akan memasarkan hal-hal yang positif.

Kalau kita mau tahu (soal dikenal atau tidak dikenal) harus dengan survey. Memang masing-masing partai sebelum memutuskan pasti sudah dibuatkan survey. Sebagai data back up. Tetapi survey adalah awal, dan dinamika belum terjadi. Semua masih soloran. Opini publik masih partial, antara satu dengan yang lain. Mungkin ada publik yang beropini positif tidak satu calon saja.

Mungkin ini satu awalan yang bisa kita tangkap untuk memberikan kepercayaan masing-masing calon. Tentu ini akan lebih ramai lagi kalau kompetisi terbuka sudah terjadi. Itu kita bisa tangkap apa yang menjadi aspirasi masyarakat.

Sudah dua kali Pilgub di NTT, dan ini kali ketiga, masyarakat sudah lebih cerdas dan bijak. Kalau banyaknya media yang memberikan hal positif, masyarakat sudah memiliki pandangan individu dan tidak terpengaruh oleh dominan politik primordial.

Diantara 4 paket ini masing-masing memiliki back ground yang hebat. Contoh, Benny Harman adalah politisi senior nasional, Marianus Sae Bupati Ngada 2 periode dengan berderet prestasi, Jacky Uli mantan Kapolda di beberapa daerah, Bung Tilu yang menjadi pengusaha muda yang sukses kemudian sukses pula di politik nasional, Melki Laka Lena figur muda yang biasa bersama Jacky dan Bung Tilu, kalau Nomleni sendiri adalah calon wakil gubernur perempuan yang juga sangat berperan penting dalam perjalanan PDIP di NTT, Esthon dan Chriss juga luar biasa, satunya mantan Wagub NTT, ketua partai, dan Chris sukses menakodai Manggarai 2 periode, apalagi dia adalah mantan birokrat yang sukses di politik. Ini tergantung rakyat mau melihat dari perspektif mana.

Kita bisa melihat mereka semua dari pengalaman, kinerja, integritas terhadap masyarakatnya, dan lain sebagainya. Tentu kita juga harus lihat visi dan misi dalam membangun NTT.

NTT saat ini tidak saja daerah yang masih tertinggal, IPN ke 3 di Indonesia, tetapi NTT juga memiliki potensi-potensi di berbagai aspek. NTT jangan dilihat dari sisi lemah, kalau tidak kita akan hopeless atau tidak berpengharapan.

Marianus Sae bukan kader PDIP. Dia dulu PAN lalu didorong oleh PKB. Kalau Ia diakomodir oleh PDIP, tentu saja itu karena sudah melewati tahapan-tahapan survey internal partai sehingga memutuskan Marianus Sae lebih baik dari kader PDIP yang lain.

PDIP kalau maju sendiri tidak bisa karena PDIP sendiri hanya memiliki 10 kursi. Mereka butuh 13. Berarti membutuhkan PKB. Kalau PKB mengusung Marianus Sae, transaksi lebih kuat terjadi karena PKB menekan PDIP.

Kalau PDIP menolak serta PKB keluar, Yoker mati di tangan. Saya membaca ini pilihan dan keputusan yang tidak mudah bagi PDIP di injury time seperti ini.

Kalau PKB limpahkan dukungan ke tempat lain maka berakhirlah PDIP. Tergantung dari pola transaksi politik supaya tidak menimbulkan kecemburuan politik internal PDIP.

Injury time bisa terjadi dua hal, bisa keluarkan paket yang menurut kombinasi primordial, atau potensi yang ada, PDIP lebih mudah mengeluarka kartu truftnya, bahwa ini calon yang hendak dideklarasi lebih baik dari yang lain, juga bisa dilematis karena ada jebakan injury time. Kita harus pahami presur politik.

Partai besar seperti PDIP seharusnya sudah mengekspose figurnya setahun lebih awal hingga masyarakat dapat menilainya. Ini tidak sama sekali, karena Frans Lebu Raya melihat tidak ada ruang atau mengendus calon lain yang lebih layak untuk dipublikasikan.

Padahal fungsi partai politik adalah fungsi pengkaderan atau rekrutimen kepemimpinan. Itu berarti fungsi pengkaderan untuk NTT 1 ini tidak berjalan dengan baik. Kalau mau kadernya sendiri, PDIP harus siapkan 5 tahun yang lalu. Kita lihat sekarang ini PDIP tidak bebas lagi dalam menentukan. Karena berada dalam tekanan. Ini bisa dipahami dalam politik praktis.

Kehadiran Nomleni adalah sebuah kejutan karena sekian lama figur perempuan tidak pernah dimunculkan untuk NTT 1 atau berada dalam perbincangan politik pada umumnya. Nomleni sebenarnya disiapkan untuk TTS, tapi tidak bisa karena TTS tidak ada calon di DPRD. Nomleni memiliki prospek juga. Biasanya yang mengejutkan begini karena ada faktor kunci. Tetapi ada dua calon Wakil nanti yang terjadi, yakni Nomleni dan Litelnoni dari TTS. Apakah kemudian publik hanya memperhatikan yang NTT 1 kemudian menganggap NTT 2 tidak terlalu berpengaruh, itu soal lain.

Mengenai deklarasi tanggal 11 ini, masyarakat  harus menyadari bahwa partai memiliki kewenangan dalam menentukan. Pilgub ini juga ada kewenangan partai dalam menentukan figurnya. Entah itu dari Propinsi atau Pusat, kalau pusat hanya merekomendasikan kepada tim seleksi, berarti itu juga kewenangan. Masyarakat juga berharap akan janji. Karena partai ini juga hidup karena trust from the people.

Kepercayaan itu dapat tumbuh kalau ada transparansi dan kepastian. Kalau diulur terus akan membuat masyarakat akan tidak percaya lagi, jangan sampai lebih banyak politikingnya. Kalau PDIP memilih Marianus dan Nomleni itu hal yang baik dan organ bawah harus loyal kepada partai. (fwl/fwl)

KOMENTAR ANDA?

Silakan masukkan komentar Anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini