
sergap.id, SAWU – Hari itu, Senin 8 September 2025. Seharusnya Nano mengantar istrinya ke Puskesmas untuk dinas sore pada pukul 14.00 Wita. Tapi karena hujan, Nano dan istrinya baru berangkat dari rumah pukul 15.30 Wita. Tak lama kemudian Nano pulang.
Saat itulah Katarina Dadi, ibu kandung Nano, meminta Nano untuk menutup kios sekaligus mengajak Nano mengungsi. Tak lupa ia menggendong Achiles (1,3), anak Nano. Dan, tak lama kemudian beberapa tetangga sebelah rumah datang ke rumah Nano untuk berlindung dari banjir.
“Waktu itu air di sungai (masih terlihat) kecil, tapi perasaan saya tidak enak”, ujar Katarina kepada SERGAP, Jumat (19/9/25).
BACA JUGA: Rencana Nikah Bulan Depan, Tapi Maut Keburu Menjemput Pak Guru
Seiring jarum jam berputar, hari pun mulai gelap. Nano kemudian mengambil Achiles dari gendongan ibunya dan menyuruh ibunya memasak.
“Saya lalu ke dapur menyalakan kompor. Tiba-tiba air masuk (ke dapur). Itu terjadi sekitar hampir setengah tujuh malam. Saat itu saya menggunakan HP sebagai senter untuk memasak. Tidak lama, pintu dapur terbuka sendiri, dan air sudah naik setinggi betis. Saya panggil mereka, di mana kalian semua? Mari keluar lewat dapur. Tiga anak tetangga ikut saya keluar lewat dapur. Saat kami keluar, air sudah sampai di kepala. Kami terangkat dan melayang terbawa arus”, ungkap Katarina.
Di tengah ombang-ambing terseret arus banjir itu, mujizat terjadi. Perlahan Katarina dan tiga anak itu terbawa arus ke pinggir, ke arah dataran yang lebih tinggi.
“Hanya dengan pertolongan Tuhan, kami selamat. Air menghanyutkan kami sampai ke tepi, ke tempat penyulingan. Puji Tuhan, kami semua selamat. Di tempat penyulingan itu hari sudah malam, gelap, hujan, listrik padam. Kami kemudian duduk di jalan, menunggu. Wajah kami kotor oleh lumpur dan pasir. Kami cuci muka dengan air yang mengalir di aspal, lalu kumur agar pasir keluar dari mulut, sambil terus berteriak minta tolong. Setelah cukup lama, datang seorang bernama Om Rius. Dia menolong, memeluk kami, lalu menyuruh kami berjalan ke arah pondok yang lebih tinggi”, cerita Katarina.
“Sekitar seperempat jam kemudian, ada seorang dengan sepeda motor datang ke arah kami. Kami bilang ke dia bahwa Nano dan anaknya hilang, karena mereka keluar lewat pintu depan”.
Tak ada yang menyangka jika banjir dari sungai kecil itu bisa meluap hingga ke rumah Nano. Sebab jarak rumah milik Nano dengan sungai itu cukup jauh, sekitar 80 meter.
“Kami tidak pernah membayangkan bahwa banjir akan sampai ke rumah. Apalagi tetangga yang sudah puluhan tahun tinggal di situ bilang bahwa air dari kali tidak mungkin sampai ke rumah”, ucap Katarina.
Ternyata keyakinan itu salah. Sebab material yang tertumpuk di puncak gunung Ebulobo tiba-tiba longsor dibawa banjir yang mengarah ke sungai-sungai yang ada di bawah kaki gunung, termasuk sungai yang dekat dengan rumah Nano.
“Saya mengalami sendiri bagaimana kami hanyut. Saya hanya melayang di atas air, tidak tahu ke mana arus membawa kami. Hanya pertolongan Tuhan dan doa kepada Bunda Maria yang membuat kami terus bertahan. Saya merasa Tuhan hadir sehingga anak-cucu yang menarik baju saya dari belakang bisa selamat. Kalau bukan karena pertolongan Tuhan, mungkin kami semua sudah hilang”, beber Katarina.
BACA JUGA: Pencarian Korban Banjir Bandang Dihentikan, Keluarga Ikhlas
Ia berharap Nano dan korban hilang lainnya bisa segera ditemukan, apa pun kondisinya.
“Semoga mukjizat kembali terjadi. Saya ingin anak saya kembali agar bisa dimakamkan dengan baik, diberi kuburan dekat keluarga, sehingga kami bisa menata kembali keadaan. Kami terima apa pun hasilnya. Saya berharap tim pencarian, termasuk kepolisian dan tim K-9 (detasemen anjing pelacak), bisa segera menemukan anak saya Nano”, tutup Katarina. (sg/sg)




























