
sergap.id, KALABAHI – Dua tahun terakhir, Kabupaten Alor menerima alokasi Dana Desa (DD) sebesar Rp 131 miliar lebih. Namun pengelolaannya belum berdampak signifikan untuk menekan masalah kemiskinan.
Karena itu, Sekretaris Alor Corruption Watch (ACW), Aldi Mooy, berharap adanya peran aktif Kejaksaan Negeri (Kejari) Alor dalam melakukan pengawasan terhadap pengelolaan DD di seluruh wilayah desa.
Sebab, kehadiran DD seharusnya mampu memberikan perubahan signifikan dalam pembangunan dan kesejahteraan masyarakat desa. Namun kondisi di lapangan menunjukkan sebaliknya.
“Dana desa ini ibarat darah segar bagi pembangunan pedesaan. Jika mengalir baik, desa tumbuh. Tapi kalau salah kelola, manfaatnya sulit dirasakan”, ujar Aldi kepada SERGAP, Rabu (14/8/25).
Hingga kini, kata Aldi, implementasi pembangunan di setiap desa masih belum mencerminkan anggaran besar yang dikucurkan setiap tahun. Salah satu hambatan utama adalah minimnya keberanian masyarakat untuk melapor, terutama karena kuatnya ikatan kekerabatan dan adat istiadat.
“Kita hargai budaya lokal, tapi pembangunan tidak boleh dikorbankan,” ucapnya.
Pada tahun 2024, Kabupaten Alor menerima alokasi DD sebesar Rp 132,06 miliar, dan 2025 Rp 131,56 miliar untuk 158. Dan, Desa Probur di Kecamatan Abad menjadi penerima tertinggi dalam dua tahun terakhir, yakni Rp 1,20 miliar 2024 dan Rp 1,32 miliar 2025. Tapi besaran dana tersebut belum terlihat dampaknya secara nyata, terutama di sektor infrastruktur, fasilitas umum, dan pemberdayaan masyarakat.
ACW juga menyoroti kinerja Badan Permusyawaratan Desa (BPD) yang dinilai belum menjalankan fungsi pengawasannya secara maksimal. Ditambah lagi dengan tantangan geografis dan keterbatasan Sumberv Daya Manusia (SDM), menjadikan pengawasan terhadap pemerintah desa semakin lemah.
“Ini bukan soal mencari kambing hitam. Ini ajakan untuk membenahi sistem. Lemahnya pengawasan hanya akan membuat kepala desa bekerja tanpa rambu yang jelas,” ungkapnya.
Aldi berharap Kejari Alor tidak pasif menunggu laporan, tetapi proaktif melakukan pemetaan dan monitoring langsung ke desa-desa. Sebab, dengan 158 desa di 18 kecamatan, pendekatan menyeluruh sangat penting. Tidak hanya untuk menindak, tetapi juga mendampingi dan membina aparat desa.
Pendekatan hukum pun seharusnya lebih menekankan pada pembinaan dan edukasi, bukan semata-mata penindakan. Tujuannya agar masyarakat dan aparat desa merasa aman untuk terbuka dan memperbaiki sistem bersama.
“Kalau datang hanya untuk menghukum, mereka akan menutup diri. Tapi kalau datang membawa edukasi, mereka akan terbuka. Ini yang harus jadi pendekatan Kejari dan semua pihak,” pungkasnya. (jk/jk)