
sergap.id, POCO LEOK – Katanya energi bersih, tapi tanah diperoleh dengan cara kotor? Demikianlah komentar warga Poco Leok yang menolak proyek geotermal
Servasius Masyudi Onggal alias Yudi, mengatakan, sikap menolak geothermal mulai menggema berawal dari Oktober 2024, ketika warga Poco Leok bentrok dengan aparat keamanan bersenjata lengkap.
Insiden ini dipicu oleh PLN dan Pemerintah Kabupaten Manggarai, yang berupaya masuk ke area proyek untuk mengukur lahan.
Masyarakat tidak terima karena sejak awal mereka tidak pernah memberikan persetujuan atau menyerahkan tanah adat mereka untuk PLTP Ulumbu.
“Warga, dengan ideologi adatnya, selalu resisten ketika PLN turun untuk melakukan apa pun terkait geotermal. Dari situlah kontak fisik kemudian terjadi,” ungkap Yudi seperti dikutip SERGAP dari BBC, Senin (28/7/25).
Penggunaan kekuatan berlebih oleh polisi, TNI, dan Satpol PP disinyalir menyebabkan puluhan orang luka-luka dan sebagian lainnya tidak sadarkan diri. Bahkan tiga warga dan seorang jurnalis ditangkap.
Menurut Yudi, sejak pertama kali mengetahui rencana pembangunan geotermal pada tahun 2017, masyarakat kompak menentang. Pasalnya, pihak pengembang, dalam hal ini PLN, tidak melibatkan masyarakat.
“Dari awal itu memang tidak ada konsultasi. Misalnya, saat mereka mengutus tim berisikan konsultan, mahasiswa, geolog, dan sebagainya untuk survei, mereka melakukannya tanpa sepengetahuan warga, tanpa disepakati bersama warga,” kata Yudi.
Perlawanan kian memuncak tatkala dampak yang berpeluang dilahirkan proyek geotermal ini bakal mengubah tatanan adat yang diwariskan leluhur, diturunkan dari satu generasi ke generasi di bawahnya secara terus-menerus.
Masyarakat adat di Poco Leok, kata Yudi, mempertahankan lima filosofi, dikenal dengan lampek lima untuk menaungi lima esensi, yakni rumah atau dalam bahasa daerah setempat disebut gendang, kebun komunal atau lingko, mata air sakral atau wae teku, halaman atau natas labar, dan tugu sesajian atau compang.
Setiap elemen melekat fungsi bagi masyarakat. Rumah atau gendang, adalah tempat komunitas adat menetap. Kebun komunal atau lingko dipakai untuk bekerja. mata air sacral atau wae tuku, merupakan sumber kehidupan yang menghidupi masyarakat maupun alam. sementara halaman atau natas labar, dimanfaatkan sebagai ruang berinteraksi dan bersosialisasi sesama warga adat. Sedangkan tugu sesajian atau compang, dipakai untuk menjalankan ritual kepada para leluhur.
Kelima elemen atau gagasanini, tegas Yudi, berada pada satu kesatuan yang tidak terpisahkan, menggambarkan bagaimana masyarakat adat di Poco Leok memaknai ruang hidupnya.
“Kalau satu dirusak, maka yang lain akan terganggu. Dengan demikian, satu kesatuan itu juga akan terganggu. Sementara pembangunan geotermal sendiri membutuhkan air, membutuhkan tanah,” tegas Yudi.
Dalam kacamata lebih luas, rencana pembangunan PLTP di Poco Leok diprediksi menghantam tak sekadar di dekat area proyek, tapi juga sampai kawasan pesisir.
Di sekitar lahan yang hendak dibangun geotermal, terdapat tiga desa serta belasan kampung. Sedangkan di pesisir, enam desa yang diyakini ikut memikul efek yang tidak ringan. Apalagi desa di pesisir ini sangat tergantung pada Poco Leok, terutama soal air.
Operasional pembangkit geothermal dikhawatirkan menyerap air tanah dalam volume yang sangat besar. Belum lagi, persoalan limbah dari geotermal yang berpeluang mencemari air.
“Dampaknya terhadap krisis air sangat besar,” kata Yudi.
Narasi “energi bersih” yang dilekatkan pada geotermal justru terbalik dengan praktik. Justru ada upaya perampasan tanah ulayat, disusul represi aparat, hingga mengiringi rangkaian proses yang ditetapkan pemerintah.
“Bahkan kami ini, masyarakat, diberi stigma pembangkang, melawan pemerintah, provokator, dan sebagainya”.
“Jadi, saya melihat ini adalah energi kotor. Karena tidak mungkin energi bersih ini diperoleh dengan cara-cara kotor.”
Sementara PLN mengatakan, dalam implementasi proyek geotermal di Poco Leok, senantiasa memprioritaskan sosialisasi kepada masyarakat. Badan listrik negara ini juga katanya berkomitmen menghormati hak-hak adat di Poco Leok.
“PLN tidak hanya fokus pada pembangunan secara fisik terhadap PLTP saja, melainkan juga tetap menghormati adat-istiadat setempat, sekaligus memastikan masyarakat dan lingkungan sekitar tetap terjaga kelestariannya,” ucap Senior Manager Pertanahan, Perizinan & Komunikasi PLN Unit Induk Pembangunan Nusa Tenggara, Dede Mairizal, Oktober 2024, lalu.
Poco Leok hanya satu contoh yang memperlihatkan proyek pengembangan geotermal di NTT mendapati penolakan dari masyarakat. Jika sudah demikian apakah dipaksa lanjut? (res/res)