sergap.id, ENDE – Bupati Kabupaten Ende, Djafar H. Achmad, disinyalir terlibat kasus dugaan korupsi dana hibah KONI Cabang Ende senilai Rp 2,1 miliar. Karena itu polisi diminta segera periksa Djafar dalam kapasitasnya sebagai Ketua Umum KONI Cabang Ende.

Sebelumnya, polisi telah memeriksa Ketua DPRD Ende yang juga Ketua Harian KONI Ende, Fransiskus Taso alias Feri Taso.

Desakan agar Djafar segera diperiksa oleh polisi ini disampaikan oleh Ketua Presidium PMKRI Cabang Ende, Iprianus Laka Ma’u.

“Dugaan (penyalahgunaan) dana KONI Ende cukup serius”, tegasnya.

Ma’u berharap, dugaan korupsi dana hibah KONI Ende tidak lenyap begitu saja di Polres Ende melalui ungkapan basi “tidak ditemukan cukup bukti” seperti kasus-kasus dugaan korupsi lainnya, misal dugaan korupsi di PDAM Ende.

Menurut Ma’u, kajian hukum PMKRI Cabang Ende ini tidak bermaksud menggurui penyidik Polres Ende, tetapi sebagai “rekan” penegak hukum, rasanya tidak keliru memberikan sedikit catatan kritis dalam membedah pencairan, penggunaan dan laporan pertangungjawaban dana Koni Ende, yakni:

1. Sistem Pembayaran Non Tunai. Pencairan uang daerah/negara di Pemkab Ende kepada siapa saja wajib hukum menggukan Peraturan Bupati Ende No. 14 tahun 2019 tentang Sistem Pembayaran Non Tunai dalam Pengeluaran Daerah yang Bersumber dari APBD Ende.

Ratio legis Perbup ini jelas menimbang bahwa menindaklanjuti Surat Edaran Menteri Dalam Negeri No. 900/1867/ SJ tanggal 17 April 2017 tentang Implementasi transaksi nontunai kaitan dengan instruksi presiden No. 10 tahun 2016 tentang aksi pencegahan dan pemberantasan korupsi; bahwa pembayaran pengeluaran daerah secara tunai berpotensi menimbulkan penyalagunaan wewenang dan tindakan korupsi sehingga diperlukan sistem pembayaran pengeluaran daerah yang dapat mencegah penyalagunaan wewenang dan korupsi yang sesuai perkembangan tekonologi dan informasi.

Dalam rangka kepastian hukum dengan sistem pembayaran nontunai agar pengeluaran uang daerah tepat jumlah, aman, efisien, transparan dan akuntabel. Mengingat Undang Undang No. 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara, Undang Undang No. 1 tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, Undang Undang No. 15 tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan tanggungjawab keuangan negara, Peraturan Pemerintah No. 58 tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah.

Artinya, semua pengeluaran keuangan di Pemkab Ende kepada perorangan, kelompok orang, organisasi atau badan hukum privat wajib (imperatif) dengan nontunai, bukan tunai.

Ketua Umum Koni Ende yang juga Bupati Ende memiliki otoritas tertinggi dalam pengelolaan uang di Pemkab Ende. Feri Taso, sebagai Ketua Harian Koni Ketua DPRD Ende, Ketua ASKAB Sabri Indradewa & Bendahara Koni Yulius Cesar Nonga yang selama ini sebagai anggota DPRD Ende pasti memahami akibat hukum dari pembayaran sebagian dana Koni kepada pihak-pihak yang menerima dana dengan non tunai agar tepat jumlah, aman, efisien transparan serta akuntabel. Dan sebaliknya sangat mengetahui akibat hukum ternyata pembayaran dengan tunai.

2. Perbup Ende, Norma Hukum Pertanyaan, apakah Perbup Ende ini kategori norma hukum atau hanya peraturan pelaksana sehingga tidak menimbulkan akibat hukum bagi pihak melanggar? Jawabannya adalah norma hukum sebab dasar penerbitan Perbup ini adalah peraturan perundang undang (UU dan PP).

Itu artinya, Penyidik Polres Ende wajib menggunakan Perbup sebagai instrumen hukum untuk mengukur tingkat kebersalahan para terduga penggunaan dana Koni ini.

Dalam buku Pengantar Hukum Administrasi Indonesia (Introduction to the Indonesian Administrative Law) karangan Philipus M. Hadjon, dkk (hlm. 120) dijelaskan ada empat sifat norma hukum yaitu, norma umum abstrak yakni undang undang, norma individual konkret, keputusan tata usaha negara, norma umum konkrit, norma individual abstrak, ijin gangguan. Perbup Ende dikategorikan sebagai norma umum konkrit.

Artinya, uang daerah tersebut dapat digunakan untuk kepentingan pembangunan serta kegiatan apa saja yang bermanfaat bagi masyarakat dan daerah berdasarkan bukti bukti aktivitasnya dengan sistem pembayaran nontunai.

Pembayaran dana Koni kepada semua cabang dan aktivitas olahraga di Ende sudah sesuai peruntukannya tetapi jika fakta pembayaran dana Koni secara tunai, maka dugaan kuat bisa saja terjadi tindakan melawan hukum yakni tidak tepat jumlah, tidak aman, efisien, transparan serta tidak akuntabel.

Semua pencairan dana Koni pasti ada pihak (pejabat) yang memiliki kewenangan disposisi pencairan dana. Dalam hukum administrasi, konsekuensi hukum “disposisi” tidak saja melahirkan tanggungjawab jabatan tetapi tanggungjawab pribadi (pidana) jika terbukti melawan hukum, menguntungkan dirinya, orang lain atau korporasi sehingga negara dirugikan.

Dari semua fakta dan analisis hukum singkat di atas rasanya sudah bisa memberikan arah penyelidikan dan penyidikan dana panas KONI Rp 2,1 miliar ini dikaitkan dengan Pasal 2, Pasal 3 Undang Undang Tipikor dan Pasal 55 KUHP menyebutkan empat golongan yang dapat dipidana atau (Dader) yakni 1. Pelaku atau pleger.

Penyidik harus memiliki keberanian, kreativitas dan profesional untuk mengukur meeting of minds (kesepahaman berpikir) dari para terduga penggunaan dana Koni Ende tahun anggaran 2022 ini.

“Untuk itu kami mendesak Polres Ende Mengusut Tuntas Kasus Dana Hibah yang diberikan kepada KONI Ende ini. Juga mendesak Polres Ende Agar dalam Penanganan kasus Ini lebih terbuka kepada publik”, tegas Ma’u.

PMKRi juga “Menuntut Polres Ende Agar Besifat Netral Dalam Menangani Kasus Ini Tanpa Ada Intervensi dari Kekuasaan Politik, serta Mendesak Polres Ende Untuk Melakukan Pemeriksaan Terhadap Ketua Umum KONI Ende (Bupati Ende)”, pungkas Ma’u. (sp/sg)

Komentar Sesuai Topik Di Atas