
TANAH Ngada kembali bergetar. Dari sana lahir dua nama yang kini menggema di ruang publik Indonesia, meski dengan jalan yang berbeda.
Yang satu adalah Silet Open Up, penyanyi muda yang menggetarkan jagat maya lewat lagu Tabola Bale. Lagu sederhana itu menjelma fenomena, dinyanyikan di pesta, ditarikan di jalan, diputar ulang tanpa henti. Dari Ngada, suara Silet menembus batas, membawa identitas kampung ke panggung nasional.
Yang satu lagi adalah Kompol Kosmas Kaju Gae, juga putra Ngada. Namanya menggema bukan karena musik, melainkan karena tragedi Pejompongan. Malam itu dia diselamatkan dari amukan massa, namun hari ini dia di vonis dengan pemberhentian tidak hormat. Dia bukan sebagai teladan, melainkan tumbal.
Kontras terlalu mencolok untuk diabaikan. Dua anak Ngada, dua panggung berbeda. Yang satu diarak dengan tepuk tangan, yang satunya dijatuhkan dengan sorak caci. Silet menabuh Tabola Bale, sementara Kosmas justru dipaksa menerima Tak Boleh Balik. Sama-sama membawa nama Ngada, sama-sama mengingatkan publik akan tanah kelahirannya, tetapi nasib keduanya berputar arah: satu dielu-elukan, dan satu dikorbankan.
“Beginilah wajah negeri,” tulis saya dengan getir, “pandai memainkan drama, lihai mencari persembahan. Dalam musik, yang diangkat bisa kembali Tabola Bale. Tetapi dalam politik, yang jatuh jarang diberi jalan pulang—selalu ada Tak Boleh Balik.”
Padahal, publik mestinya paham bahwa keadilan bukanlah panggung musik yang bisa diputar ulang sesuai selera. Pengorbanan manusia tidak boleh dijadikan syair yang diganti demi meredam amarah sesaat.
Ngada hari ini melahirkan dua simbol. Dari suara Silet kita belajar bahwa budaya mampu mengangkat nama daerah dengan kebanggaan. Dari kisah Kosmas kita diingatkan bahwa negara bisa begitu mudah menjatuhkan anak bangsanya sendiri demi citra. Dua-duanya lahir dari tanah yang sama, tetapi diperlakukan dengan nada berbeda: satu melodi riang, satu elegi getir.
Mungkin inilah sarkas terbesar republik ini: bahkan ketika lagu Tabola Bale dinyanyikan di mana-mana, justru ada anak Ngada lain yang tidak diberi kesempatan untuk “balik.” Karena di panggung kekuasaan, yang dimainkan bukanlah harmoni keadilan, melainkan irama tumbal. (Gregorius Upi Deo)






























