
๐๐๐๐๐๐.๐๐, ๐ผ๐ฐ๐๐พ๐๐ฐ๐๐บ โ Warga Kampung Marotauk, Desa Sambinasi Barat, Kecamatan Riung, Kabupaten Ngada, mendesak pemerintah, baik Kabupaten maupun provinsi dan pusat, untuk segera menyelesaikan sengketa lahan di Kampung Bensur, perbatasan Ngada โ Manggarai Timur (Matim).
Desakan tersebut disampaikan Tasnim Pong, tokoh muda Marotauk, saat berdialog dengan Wakil Bupati Ngada, Bernadinus Dhey Ngebu, di rumah Ketua Suku Bar, Ibrahim Malik, di Marotauk, Rabu (20/8/25).
Menurut Pong, sengketa lahan di kawasan Bensur, Desa Golo Lijun, Kecamatan Elar, Kabupaten Matim, ย sudah berlangsung puluhan tahun. Janji penyelesaian dari pemerintah sudah sering disampaikan, namun hingga hari ini belum ada wujud perdamaian. Buktinya terjadi lagi pertikaian antar warga pada Kamis 14 Agustus 2025 yang mengakibatkan satu orang warga Ngada terluka terkena lemparan batu.
โSoal ini, saya sudah sering bicara. Tapi sebagai orang (asli) di sini, bosan tidak boleh ada, karena ini masalah kita. Masalah Bensur tidak jauh โpanggangโ dari urusan politik. ย Namun pertikaian Bensur merupakan tanggungjawab negara untuk menyelesaikannya. Kami bukan OPM, di sebelah juga bukan orang GAM. Semua harus tunduk pada urusan negara. Tetapi masak kami yang kecil ini kok sulit sekali urusannya? Seakan-akan kami ini lebih besar dari OPM dan GAM yang penyerangan dan penyerbuannya jauh lebih besarโ, ungkapnya.
Pong menjelaskan, setiap kali ada penyerangan, aparat keamanan selalu minta bukti. Tetapi sangatlah tidak mungkin untuk mendapatkan bukti, jika masyarakat yang sedang bekerja di ladang harus juga memasang kamera untuk mendapatkan bukti.
โSulit membuktikan bahwa kami ditembak dan diserang. Sebagai orang yang percaya kepada Tuhan, kami sadar bahwa kematian adalah keputusan Tuhan. Sekiranya hari ini saya tidak ditakdirkan mati karena tembakan, maka saya tidak akan mati. Lalu kemudian, mana buktinya? Memang tidak bisa. Kami rakyat kecil sambil kerja sambil pasang video. Tidak bisa Pakโ, tegasnya.
Saya kira, lanjut Pong, urusan ini aparat kepolisian paling ahli. Kami bukan pengibar bendera sendiri seperti OPM. Tidak! Kami hanya rakyat kecil biasa. Senjata kami hanya parang. Itu pun parang pendek, untuk membunuh orang pun tidak bisa. Tetapi bukan soal itu. Ini soal kami bekerja untuk memenuhi kebutuhan perut istri dan anak. Tetapi hal ini tidak bisa kami lakukan hanya karena masalah di batas.
Bagaimana mungkin Pak? Haruskah kita tunggu di sini? Kecuali tanah itu kita ambil lalu taruh di sini (pindahkan dari lokasi sengketa ke depan rumah) untuk menghindari konflik di batas. Kan tidak bisa Pak! Memang tanah itu ada di sebelah. Seluruh rakyat disini kalau ditanya pasti mengakui. Pilar-pilar yang sudah ditegakkan, koordinat-koordinat yang ditentukan, itu tidak menjadi persoalan. Tetapi masih ada bagian dari bangsa ini yang menganggap itu adalah bagian dari mereka yang adalah saudara kami sendiri, kok masih tidak percaya kepada negaranya? Padahal negara sudah memutuskan bahwa konsekuensi pemisahan wilayah tetap mengikuti haknya masing-masing.
Lalu, apakah kami yang bandel? Ataukah ada kekebalan hukum khusus untuk keluarga di sebelah itu Pak? Kita timbang sama-sama. Kalaupun kami banyak salahnya, silakan. Kami satu kampung ini biarlah jangan tinggal di sini. Bapak Mama lebih lama hidup daripada saya. Sudah banyak merasakan pahit getirnya hidup. Punya saudara di sebelah, sejarahnya panjang, sejak tahun 1973 sampai 2019. Empat puluh enam tahun bukan waktu yang singkat sampai pasang pilar itu Pak. Tetapi tidak ada aksi anarkis apa pun yang dilakukan keluarga dari sini.
Kalaupun kemarin terjadi lemparan batu dan ada korban, jangankan kita orang biasa. Saudara kita yang berjuang menegakkan bangsa ini, jauh lebih banyak korbannya. Apalagi kita orang kecil ini. Wakil Ketua DPR, juga pejabat lainnya, semua sudah tahu. Mohon maaf kalau pembicaraan ini terkesan emosional, tetapi memang beginilah keadaannya. Saya sendiri, mewakili keluarga, sudah terlalu banyak kali bicara. Mudah-mudahan ini yang terakhir.
Saya sangat yakin, kalau negara mau serius, tidak ada rakyat yang lebih besar daripada negara. Tidak bisa rakyat kecil yang mengurus masalah ini. Kalau masyarakat apatis, masa bodoh, mungkin biar saja saudara di sana kerja terus di sebelah.
Urusan mati itu keputusan Tuhan. Tapi kami tetap sampaikan, ini tidak bisa. Setiap bangsa ada pemerintah yang mengurus. Jadi mohon, kita semua dengan pikiran yang segar, berangkat dari perasaan yang lebih baik. Pada akhirnya, kalau persoalan ini selesai, maka Pemerintah juga yang mendapatkan kebaikannya, karena sanggup mengurus rakyatnya.
Saya berterima kasih kepada seluruh jajaran TNI/Polri yang sigap. Begitu ada informasi, langsung turun ke lokasi. Meskipun ada benturan perkataan, bahkan mungkin dorongan dari rakyat, itu tidak bisa dihindari.
Di depan Pak Babinkamtibmas Manggarai, saya sampaikan bahwa membuktikan ini memang sulit Pak. Bagaimana membuktikan? Tidak perlu. Jajaran TNI/Polri sudah punya keahlian untuk itu. Siapa yang menggunakan senjata pasti mereka tahu. Bila perlu, dari rumah ke rumah periksa. Tapi di sebelah juga harus diperiksa. Mohon diadili seadil-adilnya. Kami hanya minta satu, biarkan kami bekerja dengan tenang dan leluasa di lahan kami sendiri.
Kalau berkaitan dengan kekhawatiran Pak Kasat, jangan sampai tiba-tiba ada klaim? Tidak apa! Manusia itu berhadapan dengan tanahnya, saya dengan tanah saya, mereka dengan tanah mereka. Sampai hari ini, kita tetap hormat. Tanah orang milik orang, tetapi kami juga berharap hak kami dihormati. Kita tidak pernah melawan.
Sejak kecil saya bekerja di sana. SMP, SMA, pulang libur kerja di situ. Tetapi sejak 2019 ke atas, kami tidak bisa berbuat apa-apa. Mau melawan tidak bisa. Ada hukum Pak. Seperti tadi, kami bawa parang satu potong saja, sudah dianggap masalah. Kita yang mau kerja di lahan malah bisa masuk bui, sedangkan ledakan senjata koq tidak terdengar?
Saya selalu bilang pada keluarga; keberanian, akal sehat, dan keyakinan harus berjalan bersama. Tidak bisa hanya berani lalu mengalahkan akal sehat. Tidak bisa juga keyakinan runtuh karena situasi. Kita tetap harus berpegang pada itu, supaya kita tidak celaka. Kita bisa tetap pulang bertemu dengan istri, anak, dan keluarga.
Mudah-mudahan kita bisa menikmati hasil perjuangan ini. Mungkin itu, Pak Camat, Pak Wakil. Mohon maaf terlalu panjang. Ini pun belum sepenuhnya mewakili pikiran dan perasaan keluarga besar saya. Tapi saya yakin, sekali lagi, pemerintah tidak boleh kalah dengan rakyat dalam urusan kedamaian. Kesejahteraan tidak boleh kalah dengan kami semua, apalagi terhadap keluarga di sebelah, yang sebenarnya saudara kita juga. Hanya saja, mungkin cara pandang dan berpikirnya masih berbeda.
Kami rakyat kecil hanya ingin hidup tenang di tanah kami sendiri. Kami percaya pemerintah memiliki cara untuk menyelesaikan persoalan ini. Karena itu, kami berharap negara hadir lebih serius, agar tidak ada lagi korban dan konflik berkepanjangan.
Masyarakat tidak memiliki kekuatan lain selain keyakinan kepada hukum dan negara. Mereka bukan kelompok pemberontak, melainkan warga yang mau bekerja untuk memenuhi kebutuhan keluarga dari hasil tanah sendiri.
Kami ini hanya rakyat kecil. Senjata kami hanyalah parang untuk bekerja, bukan untuk berperang. Tapi justru persoalan batas ini yang membuat kami sulit menggarap lahan sendiri. Kami hanya ingin keadilan ditegakkan dan bisa bekerja dengan tenang.
Sengketa tanah ini sudah berlangsung sejak puluhan tahun lalu, persisnya sejak penetapan batas wilayah antara Ngada dan Manggarai pada tahun 1973. Tetapi kalau negara hadir dengan sungguh-sungguh, maka tidak ada persoalan rakyat yang tidak bisa diselesaikan.
Saya berharap Pemerintah Kabupaten Ngada benar-benar menindaklanjuti persoalan ini agar masyarakat dapat hidup damai, tenang, dan sejahtera.
-
Harus Mengakui
Ketua Fraksi Amanat Sejahtera DPRD Provinsi NTT, Kristo Loko, mengatakan, dirinya mengikuti sejak awal proses penetapan batas wilayah administrasi antara Kabupaten Ngada dengan Matim (saat itu masih Kabupaten Manggarai). Dan, kesepakatannya adalah pemisahan wilayah tersebut tidak menghilangkan hak ulayat Suku Bar yang berada di Bensur.
โDari awal sudah ada pengakuan bahwa itu adalah tanah milik Suku Bar. Itu berarti, terutama teman-teman dari Manggarai Timur harus mengakui bahwa meskipun secara pemerintahan (wilayah Bensur) masuk ke dalam pelayanan pemerintahan Manggarai Timur, tetapi hal itu tidak membatasi teman-teman dari Sabinasi, Marotauk, maupun Ruki yang sejak awal sudah memiliki tanah dan kebun di wilayah Bensur, Golo Lijun. Mereka tetap harus bisa bekerja, dan itu harus diakui serta dihormati. Itu adalah problem pokoknyaโ, terang Kristo kepada SERGAP, Sabtu (23/8/25).
Menurut mantan Ketua DPRD Ngada ini, masalah akan terus terjadi jika warga Matim masih beranggapan bahwa penetapan batas wilayah serta merta membatasi hak Suku bar yang sekarang tinggal di wilayah Ngada.
โMisalnya mereka (Suku Bar) tidak boleh berkebun atau bertani di wilayah Golo Lijun, maka itu akan tetap menjadi masalah soal tanahโ, ujarnya.
Kristo mengatakan dirinya telah berkomunikasi dengan Gubernur NTT Melki Laka Lena terkait masalah di batas Ngada – Matim tersebut.
โPak Gubernur menyampaikan kepada saya bahwa beliau sudah berkomunikasi dengan Bupati Manggarai Timur dan Bupati Ngada, agar mereka yang paling dekat dengan masyarakat bisa melakukan sosialisasi kepada masyarakat, terutama di wilayah perbatasan utara Ngada-Matim. Dan, masyarakat harus paham status hukumnya, bahwa pilar batas itu hanya untuk urusan pelayanan administrasi pemerintahan, bukan untuk menghilangkan hak kepemilikan lahan dari masing-masing pihakโ, tegasnya.
Kristo menambahkan, sebelum ada penetapan batas wilayah, lahan yang kini jadi sumber konflik itu adalah hak ulayat masyarakat Marotauk, Ruki dan Sambinasi.
โSekarang ini, meskipun sudah ada penetapan batas, masyarakat dari Ruki, Marotauk, Sambinasi, merasa bahwa mereka punya hak atas lahan itu sesuai komitmen awal. Mereka merasa wajar untuk terus berkebun dan bekerja di sanaโ, ucapnya.
โSaya mengikuti proses penyelesaian masalah perbatasan ini dari awal sampai akhir. Bahkan dalam rapat terakhir bersama Pak Gubernur Viktor Laiskodat, sudah ada kesepakatan bahwa penetapan batas itu hanya menyangkut pelayanan pemerintahan, tidak boleh menghilangkan pengakuan atas kepemilikan wilayahโ, tutup Kristo. (sg/cp)






























