sergap.id, MAUPONGGO – Kasus kekerasan seksual kembali terjadi di wilayah hukum Polsek Mauponggo, Kabupaten Nagekeo. Kali ini menimpa Melati, wanita umur 31 tahun yang sejak lahir mengalami gangguan emosi (affective).

Tindakan biadap ini sudah terjadi sejak 7 September 2019 lalu, dan sudah dilaporkan ke polisi. Namun hingga hari ini pelaku masih berkeliaran bebas.

Peristiwa pilu yang terjadi di Desa Lokalaba, Mauponggo tersebut, berawal ketika Melati pergi ke pondok milik kakak iparnya yang tak jauh dari rumahnya.

Maksudnya ingin menemui kakak iparnya, namun orang yang dicari sedang tidak berada di tempat. Melati sempat mencari di sekeliling pondok. Tapi iparnya benar-benar tak ada.

Dan, karena pintu pondok dalam keadaan terbuka, Melati pun masuk sembari benaknya menerka mungkin iparnya sedang memindahkan sapi atau sedang memberi makan babi di pojok kebunnya.

Melati pun menunggu. Detik berpindah menit, menit berganti jam, iparnya belum muncul juga. Karena capek duduk, Melati merebahkan diri di bale-bale. Tak lama kemudian sekitar pukul 9 pagi, tiba-tiba Servasius Jago (62) yang tak lain adalah paman Melati sendiri, datang dan langsung masuk ke dalam pondok. Di tangannya ada sebilah parang.

Melati pun spontan bertanya, “Om mau kemana?”. Tapi Jago tak menyahut. Dia diam seribu bahasa namun matanya tajam menatap tubuh Melati.

Seketika Jago melangkah merapat ke tubuh Melati yang sedang baring. Secepat kilat dia menunggangi Melati. Tangan kanannya meremas mulut Melati. Sementara tangan kirinya mencekik leher Melati.

Melati meronta. Beberapa kali ia nyaris lolos dari cengkraman pamannya. Namun ia akhirnya pasrah ketika pamannya membentak dengan suara keras, ”Diam….! Kalau tidak saya bunuh kau dengan parang ini”.

Karena nyaris tak bisa bernafas, Melati pun mengangguk, memberi tanda akan mengikuti perintah pamannya.

Perlahan cengkraman di mulut dan lehernya mulai melonggar dan akhirnya benar-benar lepas. Melati sempat berpikir untuk lari. Tapi di saat yang sama ia takut pamannya akan bertindak lebih brutal lagi.

Saat otaknya sedang berpikir keras untuk kabur itulah, tiba-tiba pamannya kembali membentak, “Cepat..! Buka pakaian..! kalau tidak saya potong kau punya leher”.

Melati kaget. Rasa takutnya makin menjadi-jadi. Tubuhnya gemetar. Keringat dingin mengucur pelan dari balik kulitnya. Ia pun memohon, tapi pamannya benar-benar sudah kalap. Ia akhirnya menurut perintah pamannya dalam deraian air mata.

Usai puas menyalurkan birahi, pamannya kembali mengancam, ”Kau Diam. Kau tidak boleh cerita ke keluarga. Kalau sampai saya dengan kau cerita, maka kau akan saya bunuh dengan parang ini”.

Setelah merapikan celananya, Jago yang sehari-hari bekerja sebagai pemasak Moke itu berlalu pergi. Sementara Melati dibiarkan menelungkup dan menangis di bale-bale.

10 menit kemudian, setelah kekuatannya pulih, Melati bangun mengenakan pakaian. Ia kemudian beranjak pergi ke pondok tetangga yang jaraknya hanya sekitar 30 meter dari TKP. Di situ dia duduk merenung sambil sesekali geleng-geleng kepala, kenapa mimpi buruk ini terjadi?

Dua jam kemudian Melati kembali ke rumah. Keesokan harinya ia ceritakan kelakuan pamannya itu kepada tantenya dan kakak iparnya.

Seketika seisi rumah heboh. Comelan dan makian langsung menggelegar. Keluarga sangat marah kepada Jago yang seharusnya wajib melindungi Melati, malah berbuat tak senonoh kepada Melati.

Informasi tentang Melati diperkosa oleh pamannya pun langsung merebak. Belum sampai malam, seisi kampung sudah tahu.

Keluarga berembuk, bagaimana menyelesaikan masalah ini? Sebagian keluarga menganjurkan masalah tersebut diurus secara adat kekeluargaan. Namun sebagiannya lagi tak terima. Mereka ingin kasus ini segera dilaporkan ke polisi.

Urung rembuk keluarga berlangsung selama sebulan lebih. Tapi tak ada titik temu yang dicapai. Akhirnya kasus ini diadukan ke Polsek Mauponggo pada tanggal 12 Desember 2019.

Saat itu juga Melati langsung di visum dan diambil keterangannya.

“Polisi sudah ambil keterangan dari anak saya. Tapi sampai hari ini pelaku tidak di tahan,” ujar IN (57), ibu kandung Melati saat ditemui SERGAP di rumahnya, Kamis (19/3/20) siang.

Anehnya lagi, kata IN, tanggal 10 Januari 2020, Wili, salah satu Anggota Polsek Mauponggo, menyuruhnya untuk membuat laporan ulang ke Polsek Mauponggo.

“Tapi setelah lapor, kami minta surat tanda lapor, tapi polisi tidak kasi. Mungkin mereka tahu kami ini orang bodoh, jadi mereka buat kami seperti bola pimpong,” beber IN.

Menurut dia, tanggal 5 Maret 2020 kemarin, Melati dan Jago telah dipertemukan dan dikonfrontir di Polsek Mauponggo. Namun di hadapan keluarga besar dan penyidik Polsek Mauponggo, Jago tidak mengakui perbuatannya.

Hanya karena Jago membantah lantas proses hukum dihentikan?

Molo mona apa ema, kami te ata miskin, imu ko’o anggap kami bhila lako ko wawi. (biar tidak apa-apa, kami ini orang miskin, mereka anggap kami seperti anjing atau babi),” ucap Agus, ayah Melati.

Patris Bhoko
  • Usut Tuntas

Sejumlah pihak berharap polisi bertindak tegas dan profesional.

“Jika tidak di usut tuntas, maka akan menimbulkan keresahan. Kita ini hidup di negara hukum, semua orang harus sama di mata hukum,” tegas Patris Bhoko, Anggota DPRD Nagekeo Dapil Mauponggo.

Hal yang sama disampaikan oleh Pastor Paroki Wolosambi, Romo Rudolfus A. Eka, Pr.

“Aparat penegak hukum wajib merespon semua laporan masyarakat dan menyelesaikan persoalan sesuai dengan aturan yang berlaku. Keberpihakan aparat, selain pada kebenaran, juga harus pada sisi kemanusiaan tanpa melihat latar belakang dan status sosial (pelapor),” katanya.

Romo Rudolfus menduga ada konspirasi antara pelaku dengan aparat Polsek Mauponggo.

“Sebagai gembala saya sangat terpukul. Kenapa (kasus ini berlarut) sampai seperti ini. Jangan liat karena anak (korban) ini cacat, lalu kita berbuat seenaknya! Korban adalah seorang manusia yang hak asasinya wajib dilindungi. Jangan tebang pilih, salah katakan salah, benar katakan benar,” pungkasnya.

Romo Rudolfus A. Eka, Pr.
  • Sanksi Adat

Tokoh Adat Desa Sawu (tetangga Desa Lokalaba), Martinus Tenga, mengatakan, selain proses hukum, perstiwa memalukan yang dilakukan oleh Jago harus juga diselesaikan secara adat. Karena perbuatan Jago merupakan ancaman malapetaka bagi warga desanya. Karena bencana bisa datang kapan saja karena perbuatannya.

Wa’u Waja dan Tau Uku Adat, Ko Ura Lera (secara budaya harus ada sangsi adat sesuai ketentuan hukum adat yang berlaku). Apalagi yang terjadi ini antara om dan keponakan kandung,” tegasnya.

Martinus Tenga
  • Kumpul Barang Bukti

Kasus ini telah dilaporkan sejak tanggal 12 Desember 2019. Tapi Kapolres Nagekeo, AKBP. Agustinus Hendrik Fai, SH.M.Hum melalui Kasat Reskrim Polres Nagekeo, Iptu. Mahdi Ibrahim, SH, mengaku belum cukup bukti.

“Tidak ada tebang pilih dalam penanganannya. Kita profesional. kasus ini sedang ditangani. Barang bukti lagi dikumpulkan. Kita akan gelar kasusnya di Polres,” ujar Mahdi saat dihubungi SERGAP via telepon, Jumat (20/3/20).

Kapolres Nagekeo, AKBP. Agustinus Hendrik Fai, SH.M.Hum.

“Tidak ada tebang pilih. Semua sama di mata hukum,” tutupnya. (sg/sg)