
sergap.id, KUPANG – Sare (baik) Dame (damai) adalah sebuah situasi tenteram lantaran manusianya selalu hidup dalam kasih Tuhan, selaras dengan alam, menghormati leluhur, dan damai berdampingan dengan sesama.
Namun seiring perkembangan gaya hidup modern saat ini, semangat sare dame mulai memudar. Kebanyakan mulai melupakan Tuhan dan Leluhur, mengabaikan keseimbangan alam, serta konflik mewarnai kehidupan manusia.
Akibatnya, bencana terjadi dimana-mana, kegagalan terjadi di mana-mana, perdebatan terjadi dimana-mana, dan kaum bijak meyakini itu adalah karena kemurkaan Tuhan, Alam, dan Leluhur.
Kondisi itulah yang terjadi di Lembata dalam beberapa dekade terakhir. Bencana beruntun menimpa masyarakat, mulai dari tsunami, longsor, banjir bandang, erupsi gunung berapi, gelombang pasang, dan lain sebagainya.
“Ini menjadi gambaran, apakah kita sudah hidup kita selaras alam, atau kita berperang melawan alam. Pohon kita potong, batu kita ambil, terumbu karang dirusaki, mangrove ditebang, di darat kita semprot tanaman secara berlebihan. Alam kita ini ibarat Ibu, jika ibu disemprot dengan bahan kimia, maka dia akan menangis, karena daging rusak, mata rusak. Banjir dan longsor pertanda dia (alam) murka,” ujar Bupati Lembata, Thomas Ola Langoday, kepada SERGAP, belum lama ini.
Langoday, mengatakan, ide menggelar Sare Dame berawal dari permenungan dirinya selama menjadi Wakil Bupati Lembata.
“Lembata ini sudah 22 tahun otonomi. Masa tidak ada pembangunan fisik yang jadi (100 persen). Jalan raya dari 777 kilo meter, hanya 100 kilo meter yang baik. Banyak proyek-proyek mangkrak. Mulai dari jober terbengkelai, dermaga rusak berat, Waelain rusak, erupsi gunung Ile Ape, banjir bandang, dan badai seroja yang melanda Ile Ape, Buyasuri, Omesuri, dan wilayah lainnya. Ada masalah apa dengan Lembata ini? Dalam permenungan saya, apakah dalam perjalanan hidup masyarakat Lembata ini, ada yang salah dengan Allahnya kah? Ada yang salah dengan arwah leluhurnya kah? Ada yang salah dengan alamnya kah? Ada yang salah dengan ata dikennya kah (antara manusia dengan sesamanya)? Sampai semua peristiwa ini terjadi? Maka munculah ide, mesti ada rekonsiliasi. Rekonsiliasi antara orang Lembata hari ini dengan Alahnya, dengan Alamnya, dengan Arwah Leluhurnya, dan dengan sesamanya”, bebernya.
“Kalau masing-masing orang Lembata ini sudah sare dame dengan dirinya, maka di dalam keluarganya pasti sare dame. Di sukunya pasti sare dame. Di kampungnya pasti sare dame. Di kecamatannya pasti sare dame. Begitu juga di kabupaten ini akan kita temukan rasa sare dame. Rasa damai, rasa bahagia”, tegasnya.
BACA JUGA: Sare Dame Berbasis Budaya
Namun niat mendamaikan manusia dengan Tuhan, manusia dengan Alam, manusia dengan Leluhurnya, dan manusia dengan sesamanya ini ditentang oleh segelintir politisi yang gagal paham terhadap maksud tulus Sare Dame.
“Latar kritik yang condong menolak Sare Dame ini, publik Lembata sudah tahu. Ini hanya soal kedunguan dan keserakahan para pengkritik yang biasa disuap oleh penguasa sebelumnya. Dulu mereka gampang dapat proyek, sekarang merangkak mampos. Itu karena penguasa sekarang ini membatasi mereka merampok APBD, dan membiarkan mereka hidup luntang lantung tanpa APBD. Lucu-lucu saja kita pu orang ini. Kasus Awololong yang jelas-jelas terjadi tindak pidana korupsi, mereka tidak dikritik, malah cenderung membela dalam keheningan. Bahkan kasus dugaan korupsi yang mereka sendiri pelakunya juga tidak membuat mereka malu. Ironi sekali kan?”, ucap Edi Bala Roma, aktivis sosial asal Lembata saat bincang-bincang dengan SERGAP di Bandara El Tari Kupang, Kamis (27/1/22).
Menurut dia, Sare Dame perlu dibuat untuk meminimalisir bencana atau kegagalan pembangunan, baik di pemerintahan, maupun dalam kehidupan masyarakat masing-masing.
“Bencana yang bertubi itu adalah wujud bahwa selama ini kita hidup kurang bersabahat dengan alam. Pohon kita tebang. Dan, ketika bencana banjir datang, pemerintah yang salah, termasuk salah menangani pasca banjir. Padahal penyebab banjir itu kita sendiri. Karena itu Sare Dame perlu dibuat. Supaya hari-hari kedepan kita bisa lebih hidup damai berdampingan dengan alam”, pungkasnya.
BACA JUGA: Sare Dame Dipusatkan di Hadakewa
Sementara itu mantan Anggota DPRD Lembata, Ipi Bediona, melalui akun facebooknya, mengatakan, sejauh ini, gagasan tentang Sare Dame masih terus dikritik.
“Ada yang melihatnya secara jernih, ada yang melihatnya dalam kacamata kepentingan tertentu”, kata Bediona seperti dikutip SERGAP, Jumat (28/1/22).
Dia menjelaskan, jika dilihat dari pihak yang melakukan kritik, maka ada 2 kelompok, yakni DPRD Lembata dan bukan DPRD.
- Kalo tidak salah ingat, pasca penetapan APBD 2022, DPRD mempersoalkan besaran alokasi anggaran lebih dari Rp 2 M untuk membiayai Sare Dame. Pertanyaan saya, memangnya di mana DPRD ketika proses persetujuan terhadap APBD 2022? Termasuk di dalamnya program Sare Dame, dengan besaran anggarannya. Apa DPRD sedang “tertidur lelap”, ketika persetujuan diberikan terhadap APBD Lembata 2022? Jika DPRD mempersoalkannya, sesungguhnya DPRD bukan sedang mempersoalkan kebijakan Bupati, tetapi “mempersoalkan” bahkan “menyerang” keputusannya sendiri? Jauh lebih elegant, DPRD membuat pertemuan “internal”, dengan pemerintah, untuk melihat kembali kebijakan yang telah disepakati bersama. Malu jika ada rakyat atau pegawai level bawah mengatakan “DPRD sedang mempertontonkan ketidaktahuan dirinya di hadapan publik”.
- Bukan DPRD. Orang-orang mengerti. Terminologi orang mengerti diukur dari jenjang pendidikan formal, dan pekerjaan serta profesi yang dijalani. Kelompok ini yang ramai melakukan kritik atas kebijakan Sare Dame. Dari sisi substansinya, ada kritik yang sejalan dengan pendapat saya, terutama tentang perubahan literasi, dari yang khas dan spesifik Lembata, “Sare Dame”, menjadi konsep yang terkesan gagah, tetapi justru meluas, kabur, dan kehilangan makna, yakni “eksplorasasi budaya”. Eksplorasi budaya, memang mengesankan kegiatan ini mengambang, dan kehilangan identitasnya sebagai produk budaya kita (Lamaholot dan Kedang).
Akan tetapi saya kembali bertanya:
Berapa besar sesungguhnya alokasi anggaran Sare Dame yang telah disepakati DPRD? Jika Rp.2,5 M dari total sekitar Rp. 900 M (APBD 2022), berarti hanya 0,27 % dari total APBD Lembata. Tidak sampai 1 % nilainya. Kasihan, waktu sekitar sebulan dipakai hanya u memperdebatkan sebuah kegiatan budaya yang nilainya 0,27 % dari total APBD? Bukan maksudku memandang angka itu kecil. Angka Rp. 2,5 M itu sesungguhnya besar. Akan tetapi cara berdebat, dan menghabiskan waktu sekitar sebulan, hanya untuk nilai 0,27 % dari total APBD, rasanya tidak cukup signifikan dan produktif untuk level orang mengerti seperti kita. Tanpa disadari model dan substansi kritik, memberi kesan tentang siapa kita sesungguhnya.
Kita tahu waktu setahun cuma 12 bulan. Jika satu bulan dihabiskan hanya untuk angka 0,27 % dari APBD 2022, berarti dalam setahun (12 bulan) produktivitas kita hanya berada di angka rata-rata 3,24 % dari total APBD kita yang Rp. 900 M. Bukankah angka itu sangat kecil? Apa yang dapat dibanggakan? Lalu yang selebihnya, 96-lebih % akan diserahkan kepada siapa untuk bertanggung jawab membedah dan ikut mengawal penggunaannya?
Pertanyaan berikut, siapa yang sesungguhnya korup dan tidak terarah? Bupati dan jajarannya atau kita yang menyebut diri para pengeritik?
Apa lagi dana sebesar itu belum digunakan. Bahkan sebuah penjelasan resmi tentang itu belum diberikan Pemerintah. Lalu apa dasar perdebatan dan penilaian kita terhadap Bupati dan jajaran aparatur pemerintah atas kebijakan Sare Dame selama ini?
Bukankah diskusi Sare Dame mestinya terarah pada penerjemahan atas konsep dan operasionalisasi program Sare Dame? Misalnya, dalam logika adat kita, apakah kita tempatkan Sare Dame sebagai sebab ato akibat. Jika dia akibat, pertanyaannya, akibat dari apa?
Mungkin jawabannya, seperti yang sudah dijelaskan Bupati, akibat dari memburuknya relasi kita dengan alam, dengan leluhur, dengan Allah kita, dan relasi dengan sesama kita. Relasi dengan sesama manusia, tentu bukan satu-satunya dimensi dalam pelaksanaan Sare Dame. Relasi kita dengan sesama manusia hanya merupakan satu dimensi dalam hubungan dengan alam, leluhur dan Allah, Tuhan kita. (Tentu dalam berbagai sebutan lokal). Maka Sare Dame, sebagai akibat, memang dibutuhkan supaya tercipta apa yang disebut “taan tou – oneq udeq laleng ehaq”.
Memangnya kepada kita sudah disuguhkan sebuah penjelasan resmi Bupati tentang Sare Dame dengan penjabaran teknis operasional? Jika belum diturunkan Pemerintah, apa kita begitu yakin, konsep yang kita kritisi itu benar sumbernya dan memang dipakai? Apa dasar kritikan kita? Saya juga sedang menunggu kapan Sang Bupati menurunkan penjelasan resmi tentang Sare Dame dan rincian teknis operasionalnya. Hanya supaya, secara pribadi saya dapat mengikutinya.
-
Aspek Keadilan
Bediona menambahkan, perlakuan yang adil perlu diberikan. Waktu perlu diberikan kepada Bupati untuk mewujudkan gagasannya. Apalagi kita tahu, bahwa Mei 2022 adalah kesempatan terakhirnya, sebagai Bupati dalam periode ini.
Kasus Awololong, 2018, baru dikritik jelang akhir tahun. Bahkan ketika tidak didengarkan, aksi demo ditempuh sebagai jalan keluarnya. Bahkan dilakukan hingga 2019.
Kasus Pembangunan Crossway Kali Waima di tahun 2018. Setelah jembatan yang dibangun ambruk dihantam banjir pada akhir tahun 2018. Bahkan proses pelelangan, yang dengan sadar dan sengaja ditinggalkan pemerintah dalam penentuan kontraktor pelaksana, dan digunakan mekanisme PL, serta perubahan perencanaan, yang dilakukan juga secara ilegal, ternyata diabaikan. Kritikan baru menghangat di medsos pada pertengahan tahun 2018.
Kasus Weilain, di Kedang, bahkan pasca 3 tahun pembangunannya, baru disoroti. Tahun 2015 pasca uji coba aliran air pada instalasi yang dibangun, baru setelahnya perdebatan berlangsung. Artinya, pasca eksekusi kebijakan dan anggaran, sorotan dan tekanan baru dilakukan.
Memang model kritikan ini, yakni kritikan mendahului perencanaan teknis-operasional itu baik. Model kritik ini dapat berkontribusi membangun sikap awas pada aparatur/pejabat pemerintah, tapi yang melakukan kritik, bukan tanpa logika dan etika. (plt/cis)































