Konsultan Budaya Dr. Hipolitus Kristoforus Kewuel saat presentasi rencana kerja Gebyar 7 M kepada Bupati Lembata, Dr. Thomas Ola Langoday di Rujab Bupati Lembata, Kamis 11 November 2021.
Konsultan Budaya Dr. Hipolitus Kristoforus Kewuel saat presentasi rencana kerja Gebyar 7 M kepada Bupati Lembata, Dr. Thomas Ola Langoday di Rujab Bupati Lembata, Kamis 11 November 2021.

sergap.id, HADAKEWA – Gebyar 7 Maret atau 7 M akan dipusatkan di lapangan sepak bola Desa Hadakewa, Kecamatan Lebatukan, dan di Lewoleba, ibukota Kabupaten Lembata, pada tanggal 2 sampai 7 Maret 2022.

Perayaan ini untuk mengenang kembali perjuangan terbentuknya Kabupaten Lembata sebagai daerah otonomi baru di Provinsi NTT, sekaligus bentuk rekonsiliasi Sare Dame – Taan Tou guna memulihkan hubungan manusia dengan Tuhannya, manusia dengan leluhurnya, manusia dengan  alamnya, dan manusia dengan sesamanya.

Selain ritual adat Sare Dame – Taan Tou, pekan budaya ini juga akan dilaksanakan pameran pembangunan yang diikuti oleh seluruh Organisasi Perangkat Daerah (OPD) Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Lembata.

“Dalam kegiatan ini, kita (pemerintah) melibatkan semua pemangku adat dari seluruh desa di Lembata”, ujar Kepala Dinas Pariwisata Kabupaten Lembata, Apol Mayan, melalui Kepala Bidang Pengembangan Pariwisata, Tony Labuan, saat bersama 3 konsultan 7 M, yakni Konsultan Budaya Dr. Hipolitus Kristoforus Kewuel, Konsultan Event Pariwisata T.M. Dyah Koesoemawati, dan Konsultan Spiritual Pater Dr. Pankrasius  Olak, SS.CC, bertatap muka dengan pemangku adat dan tokoh masyarakat Desa Belabaja, Kecamatan Nagawutun, Rabu (10/11/21) pagi.

Sebelumnya, Labuan dan konsultan 7 M, juga melakukan pertemuan dengan Kepala Desa dan tokoh adat Desa Hadakewa, tokoh adat Nuba Buto, Desa Lodoblolong (Kecamatan Lebatukan), pemangku adat Desa Ailiuroba (Kecamatan Buyasuri), pemangku adat Desa Ata Kore (Kecamatan Atadei), pemangku adat Desa Lewo Raja dan Lamalera (Kecamatan Wulandoni), pemangku adat Desa Amakaka (Ile Ape) dan pemangku adat Desa Jontona (Kecamatan Ile Ape Timur).

Dalam dialog tersebut, para pemangku adat sangat mendukung ide Bupati Lembata, Thomas Ola Langoday, untuk menyelenggarakan rekonsiliasi Sare Dame – Taan Tou menuju Lembata Hebat, Lembata Sejahtera, Lembata Mandiri, Lembata Makmur.

“Apa yang kita buat tidak akan sukses jika Tuhan pencipta alam semesta dan leluhur kita diabaikan. Selama ini, kita (Lembata) seperti kehilangan budaya. Padahal budaya adalah roh pembangunan kita”, ujar Paulus Pulo Kotan (77), pemangku adat Nuba Buto, Desa Lodoblolong.

Terpisah, Kepala Desa terpilih Desa Belabaja, Yosep Niha, mengatakan, gerakan rekonsiliasi Sare Dame – Taan Tou patut diselenggarakan guna menghilangkan trauma masa lampau yang dikenal dengan konflik Paji versus Demon.

“Trauma ini harus kita akhiri”, tegasnya.

Sementara itu, Sujudin R. Mayeli, juru pelihara situs kerajaan Labala dan pemangku rumah adat Mayeli, menjelaskan, trauma perang Paji vs Demon masih terasa hingga hari ini. Itu bisa terlihat dalam urusan perkawinanan adat.

“Ini kabar gembira bagi kami. Karena rekonsiliasi ini penting untuk dilakukan. Sehingga anak-anak kedepan tidak dibebankan lagi dengan trauma ini ”, ucapnya.

Terpisah, Bupati Lembata, Thomas Ola Langoday, mengatakan, ide menggelar gebyar sare dame – taan tou berawal dari permenungan dirinya selama 4 tahun 2 bulan menjadi Wakil Bupati Lembata.

Berikut penuturannya saat menerima konsultan Gebyar 7 M di rumah jabatan Bupati Lembata, Kamis 11 November 2021:

Dalam perjalanan waktu, saya merenung, kita Lembata ini sudah 22 tahun otonomi. Masa tidak ada pembangunan fisik yang jadi (100 persen). Jalan raya dari 777 kilo meter, hanya 100 kilo meter yang baik. Banyak proyek-proyek yang mangkrak. Mulai dari jober terbengkelai, dermaga rusak berat, Waelain rusak, erupsi gunung Ile Ape, banjir bandang, dan badai seroja yang melanda Ile Ape, Buyasuri, Omesuri, dan wilayah lainnya. Ada masalah apa dengan Lembata ini?

Suatu waktu dalam permenungan saya, apakah dalam perjalanan hidup masyarakat Lembata ini, ada yang salah dengan Allahnya kah? Ada yang salah dengan arwah leluhurnya kah? Ada yang salah dengan alamnya kah? Ada yang salah dengan ata dikennya kah (antara manusia dengan manusia Lembata)? Sampai semua peristiwa ini terjadi?

Maka munculah ide, mesti ada rekonsiliasi. Rekonsiliasi antara orang Lembata hari ini dengan Alahnya, dengan alamnya, dengan arwah leluhurnya, dan dengan sesamanya. Tetapi harus bermula dari dirinya sendiri. Sare dame dengan dirinya dulu.

Kalau masing-masing orang Lembata ini sudah sare dame dengan dirinya, maka di dalam keluarganya itu sare dame. Di sukunya sare dame. Di kampungnya sare dame. Di kecamatannya sare dame. Begitu juga di kabupaten kita ini akan kita temukan rasa sare dame. Rasa damai, rasa bahagia, ada disini.

Pertanyaannya kita mulai darimana? Saya bergulat dengan pertanyaan ini. Ternyata Tuhan itu baik. Tuhan memberi jalan. Tiba-tiba saja Pak Hipo (Dr. Hipolitus Kristoforus Kewuel) telepon saya. Dalam percakapan, saya merasa ah ini Tuhan sudah kasi jalan. Akhirnya dipertemukan dengan ibu Dyah (Koesoemawati) dalam webinar.

Selesai Webinar, tanpa sengaja saya ketemu Tony (Labuan). Saya lalu menugaskan Tony untuk berkomunikasi dengan Pak Hipo dan kawan-kawan. Tony kemudian membawa konsepnya.

Dalam pikiran saya, saya berpikir bahwa akan banyak kesulitan yang muncul, termasuk bagaimana berkomunikasi dengan masyarakat. Tentu mereka akan tanya, kami selama ini hidup baik-baik saja, sare dame untuk apa? Tapi itu baru dengan masyarakat di kampung-kampung. Kita belum berhadapan dengan masyarakat di kota. Kita belum menghadapi intelektual. Belum lagi yang berada di luar lembata.

Itulah jalan menuju pekan budaya Sare Dame.

Sare Dame akan dilakukan di setiap kecamatan. Gebyar pertama di kecamatan, dan gebyar kedua di Hadakewa.

Hadakewa itu adalah desa bersejarah untuk otonomi Lembata. Karena 7 Maret 1954, orang-orang hebat Lembata waktu itu, berupaya menyatukan Paji dan Demon, lalu berjuang bersama menggapai otonomi Lembata.

Menurut saya, Paji dan Demon itu bukan soal orang di gunung dengan orang di pantai. Tapi hati dan pikirannya juga terbawa. Hatinya itu ada paji, ada juga demon. Begitu juga dipikirannya. Nah bagaimana Sare Dame di hatinya, Sare Dame dipikirannya? Dan bagaimana Sare Dame orang-orang yang dinamakan Paji dan Demon?

Masyarakat kita sudah mengidenfikasinya. Owww mereka itu Demon, mereka itu Paji. Dan di setiap acara perkawinan, pengorbanan untuk Sare Dame sangat luar biasa. Karena sebelum pernikahan dilakukan, maka harud dibuat dulu Sare Dame. Apakah peristiwa ini harus kita lakukan terus menerus?

Karena itu, yang kita tuju adalah bagaimana satu Lembata ini Sare Dame. Karena itu, saya ingin nilai-nilai agama dengan Allahnya, nilai-nilai adat dengan arwah leluhurnya, nilai-nilai alam kearifan lokalnya, nilai-nilai kehidupan kita, juga aturan-aturan pemerintah, kita angkat dalam sebuah dokumen yang namanya RPJMD (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah).

Jadi kedepan, nilai-nilai ini menjadi dasar untuk sebuah visi besar Lembata. Dengan demikian kita bisa meminimalisir konflik. Termasuk keinginan untuk korupsi, berkelahi, konflik pemilu, tidak ada lagi (semangat) oh kamu ini orang selatan, kamu ini orang utara, dan sebagainya.

Sare Dame itu sebenarnya memiliki nilai pengakuan dosa. Mengaku dirinya bersalah. Kemudian minta maaf kepada Allahnya, Leluhurnya, Alamnya, dan sesamanya.

Tidak ada yang sukses membangun dengan konflik. Mari kita Taan Tou (bersatu) membangun Lembata. Kita sare dame, kita taan tou, maka Lembata ini pasti maju. (reds/reds)

KOMENTAR ANDA?

Silakan masukkan komentar Anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini