Dr. Hipolitus Kristoforus Kewuel
Dr. Hipolitus Kristoforus Kewuel.

sergap.id, HADAKEWA – Jika kita melupakan budaya, maka kita hanya membawa konsep pembangunan tempel. Posisi masyarakat hanya dipakai sebagai alat pembangunan. Lalu pembangunan ini untuk siapa?

Demikian disampaikan Dosen Antropologi, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Brawijaya Malang, Dr. Hipolitus Kristoforus Kewuel, saat bincang-bincang dengan SERGAP di Lewoleba, ibukota Kabupaten Lembata, Senin (8/11/21) pagi.

Menurut dia, budaya harus diletakan sebagai fondasi pembangunan, agar masyarakat tidak merasa asing dengan konsep pembangunan yang ditawarkan.

“Sare (baik) Dame (damai) Taan Tou (bersatu) adalah salah satu bentuk kearifan lokal yang perlu diangkat dan didorong menjadi dasar atau basis pembangunan. Kenapa kita mendorong ini? Karena memang Lembata ini tidak dibangun dengan dasar yang kuat. Masyarakat hanya menjadi obyek atau menjadi orang yang dipakai sebagai alat pembangunan. Masyarakat tidak dijadikan subyek. Lalu pembangunan ini untuk siapa?”, ujar Antropolog yang akrab disapa Hipol itu.

Hipol menjelaskan, Pemerintah Pusat telah mendorong pembangunan berbasis budaya melalui Undang-Undang Nomor 5 tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan.

Karena itu, Lembata mestinya menjadikan budaya sebagai dasar pembangunannya.

“Selama ini budaya tidak dipedulikan. Budaya seperti tidak diberi tempat dalam proses pembangunan. Padahal budaya adalah gambaran masyarakat, dan itu adalah gambaran keseharian masyarakat. Kalau lupa keseharian masyarakat, lupa aktivitas masyarakat, lupa spirit masyarakat, lupa identitas masyarakat, terus apa yang mau dibangun?”, ungkapnya.

Hipol mengatakan, ada banyak kearifan lokal di Lembata yang bisa dijadikan pijakan pembangunan. Salah satunya adalah Sare Dame – Taan Tou.

“Selain sebagi kekayaan budaya, sare dame juga bisa menjadi alat perekat masyarakat, dan ini menjadi kekuatan pembangunan sesungguhnya”, ucapnya.

Hipo mengaku, ia dan Pater Dr. Pankrasius  Olak, SS.CC, Dosen Bimbingan Konseling, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta, datang ke Lembata sejak Sabtu (6/11/21), untuk menggali nilai dan kekuatan budaya Lembata guna ditawarkan kepada Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Lembata, untuk dijadikan sebagai dasar pembangunan kedepan.

“Ini bertujuan membangun lembata dari apa yang sudah dimiliki orang Lembata. Jangan sampai pembangunan itu menjadi sesutu yang asing bagi masyarakat”, katanya.

Menurut Hipo, saat ini banyak pihak tersentak sadar bahwa selama ini pembangunan di Lembata tidak berdiri di atas budaya masyarakat, walau semua tahu bahwa budaya itu adalah modal dasar pembangunan itu sendiri.

“Bukan hanya di Lembata. Dimana pun. Manusia punya kekayaan untuk membangun hidupnya lebih bermartabat. Nah kenapa selama ini kita tidak ambil. Kenapa kita tidak pakai? Misalnya Taantou. Padahal Taantou itu memiliki spirit bersatu dalam tiga dimensi, yakni bersatu dengan Tuhan, bersatu dengan Alam, dan bersatu dengan sesama. Nah… kalau kita sudah Sare Dame – Taan Tou, maka kita mau bangun apa saja, pasti jadi…”, ujarnya.

“Selama ini, gerakan pembangunan itu lupa bahwa masyarakat itu punya power dari dalam untuk hidupnya. Selama ini gerakan pembangunan seringkali tidak memperhatikan kekuatan budaya yang hidup di masyarakat. Padahal tidak ada masyarakat yang bertahan hidup tanpa sesuatu. Tidak ada masyarakat yang hidup tanpa spirit. Dan, itu muncul lewat adat dan budaya. Jika kita melupakan budaya, maka kita hanya membawa konsep pembangunan tempel. Masyarakat hanya sebagai obyek. Padahal, jika budaya dijadikan fondasi pembangunan, maka masyarakat akan menjadi subyek”, pungkasnya.

Pater Dr. Pankrasius  Olak, SS.CC
Pater Dr. Pankrasius Olak, SS.CC.

Sementara itu, Pater Olak, mengatakan, saat ini banyak konflik yang belum terselesaikan, baik konflik yang terlihat, maupun yang tidak terlihat.

“Dari sisi spiritual, kita harus sadari bahwa realitas sekarang ini ada banyak konflik. Terutama konflik yang tidak terlihat. Konflik yang tidak terlihat itu lebih kepada konflik spirit, dan dalam konteks budaya, (saat ini) kita kurang menghargai adat. Contoh (ketika) kita ingin membangun sesuatu yang dimulai dengan meminta ijin pada tempat itu, pada tanah itu. Itu perlu! Karena leluhur sudah lebih dahulu menempati tanah itu. Ini juga bagian dari spirit Sare Dame. Ini sudah ada. Tapi tidak terlihat. Kenapa kita tidak maju-maju? Karena konflik-konflik invisible (tak terlihat) ini ada disitu. Ada kepentingan-kepentingan pribadi atau kelompok yang mengaburkan visi umum itu”, ungkapnya.

Menurut Pater Olak, budaya Sare Dame –  Taan Tou memiliki spirit yang luar biasa, yakni rekonsiliasi untuk bersama-sama menuju satu tujuan.

“Interconnectedness (keterkaitan) ini yang kita perlu munculkan agar terjadi interpersonalnya (manusia dengan manusia), tetapi dimensi kosmiknya perlu ada. Karena kita ini hidup dari tanah. Kita makan dari tanah ini. Tapi bagaimana kita hargai tanah ini? Kita sedikit sulit disini. Nah spirit ini perlu dihidupkan. Kita balik lagi untuk kepentingan hidup bersama. Spirit ini yang sering kita lupakan. Karena itu saya ingin mengangkat spirit alam bawah sadar ini menjadi kesadaran kita, sehingga orang tahu bahwa sebenarnya kita ini punya warisan spiritual. Tidak terlihat, tapi kita hidup dari situ”, tutupnya.

Pater Dr. Pankrasius  Olak, SS.CC
Pertemuan Pater Dr. Pankrasius Olak, SS.CC bersama Dr. Hipolitus Kristoforus Kewuel dan Tony Labuan dengan Kepala Desa Hadakewa Klemens Kwaman dan sejumlah tokoh adat di Desa Hadakewa, Kecamatan Lebatukan, Lembata, Senin (8/11/21) pagi.

Terpisah, Kepala Bidang Pengembangan Pariwisata, Dinas Pariwisata, Kabupaten Lembata, Tony Labuan, mengatakan, rekonsiliasi Sare Dame – Taan Tou akan dimunculkan dalam event Gebyar 7 Maret pada tahun 2022 mendatang.

“Rekonsiliasi Sare Dame – Taan Tou adalah spuritualitas hidup orang Lamaholot. Spiritulitas rekonsiliasi ini ada pada 3 relasi: lera-wulan (sang pencipta), tana ekan (bumi-lingkungan) dan ribu ratu (sesama)”, paparnya.

“Spiritualitas ini hidup dan melekat pada keseharian komunitas Lamaholot dan selalu diperbaharui melalui ritus-ritus. Bergesernya pola hidup akibat polarisasi style modern, rekonsiliasi sare-dame taan tou menjadi lemah spiritnya dalam kehdupn komunitas adat. Oleh karena itu spirutualitas ini perlu dihidupkn kembali menurut tradisi komunitas adat masing-masing, sebagai kekayaan dan faktor utama proses pembangunan”, pungkasnya. (reds/reds)

KOMENTAR ANDA?

Silakan masukkan komentar Anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini