sergap.id, KISAH – Ini adalah kisah pembantaian di Gereja Suai, juga kisah tentang seorang gadis yang diculik lalu dikawin paksa. 23 tahun kemudian si gadis bisa bersatu kembali dengan keluarganya di Timor Leste. Sebagian nama dalam kisah ini disamarkan untuk menjaga keselamatan mereka.
Kisah ini dikutip SERGAP dari BBC Indonesia pada Selasa 21 Maret 2023.
Bonita —bukan nama sebenarnya—, seorang remaja perempuan korban penculikan dan kekerasan seksual dalam rangkaian insiden usai jajak pendapat Timor Timur pada 1999, akhirnya bisa kembali ke orang tuanya setelah 23 tahun terpisah. Kepulangannya ini sekaligus membuka tabir tentang insiden pembantaian di Gereja Suai yang menewaskan sedikitnya 130 orang, termasuk tiga rohaniawan.
“Waktu itu kami sedang masak di dapur di belakang ruang pastor, dengar bunyi tembakan, kami langsung lari masuk ke ruang pastor,” ungkap Bonita, mulai menceritakan bagaimana peristiwa yang terjadi pada 6 September 1999 itu.
“Habis itu dong (mereka) langsung serang keliling, milisi dengan tentara dan polisi, masuk di Pastor punya ruangan, langsung tembak-tembak,” ujarnya.
“Adik (saya) juga meninggal, dengan Romo meninggal di situ,” katanya.
Saat itu Bonita dibalut rasa takut yang sangat luar biasa. “Kami langsung sembunyi di bawah meja”, ucapnya.
“Waktu kejadian dong tembak habis, bapa tua berteriak, kalau perempuan lari keluar bisa, kalau laki-laki tidak bisa, kami akan bunuh”, ungkap perempuan berusia 38 tahun itu.
‘Bapa tua’ yang dimaksud Bonita adalah salah seorang milisi pro integrasi.
“Jadi saya langsung keluar dari pintu, langsung bapa tua pegang saya punya tangan. ‘Saya nikah dengan kamu’, habis itu langsung bawa saya ke mobilnya, kasih naik saya di mobilnya,” lanjut Bonita.
Bonita diculik dan dikawin paksa oleh milisi yang membawanya, sementara adiknya, bersama tiga pastor dan puluhan warga Suai di Timor Leste yang kala itu masih jadi bagian dari Indonesia, meregang nyawa dalam insiden yang disebut “Pembantaian di Gereja Suai”.
Jenazah 26 warga Suai yang meninggal dalam insiden itu ditemukan di pemakaman massal di Pantai Metamauk di Kabupaten Malaka, Provinsi Nusa Tenggara Timur, tepat di seberang perbatasan dengan Timor Leste. Jumlah korban meninggal yang sebenarnya diperkirakan lebih banyak dari itu.
Sebelumnya, Bonita berkata, dia dan keluarganya telah mengungsi selama beberapa hari di Gereja Ave Maria di Suai, ketika gelombang kerusuhan yang terjadi setelah jajak pendapat Timor Timur tanggal 30 Agustus 1999 kian memanas.
Sepekan setelah jajak pendapat yang memenangkan warga pro kemerdekaan Timor Timur, milisi bersama gabungan aparat Indonesia berencana membawa para pengungsi ke wilayah Indonesia di Timor Barat. Namun ratusan warga yang mengungsi di gereja, yang sebagian besarnya adalah pro kemerdekaan Timor Timur, menolak untuk mengungsi.
Apa yang terjadi sesudahnya adalah seperti yang diceritakan Bonita di awal tulisan ini. Kisah Bonita dibenarkan oleh sejumlah saksi mata yang juga berbicara kepada BBC Indonesia.
Para milisi mengepung dan menyerbu warga di dalam gereja dengan rentetan tembakan senjata api dan serangan senjata tajam. Kompleks bangunan gereja dibakar dan barang-barang di dalamnya dijarah.
Sebanyak 136 nama korban dikenang di sebuah monumen yang didirikan di Suai setelah kemerdekaan Timor Timur yang berganti nama menjadi Timor Leste pada 2002.
Dalam insiden itu, peristiwa tragis menimpa Bonita, tak lama setelah seorang milisi memerintahkan para perempuan yang bersembunyi untuk keluar dari gereja.
Dalam keadaan panik dan ketakutan, Bonita yang kala itu masih belia, langsung keluar ruangan. Tanpa diduga, seorang lelaki berpostur tinggi besar dengan seragam milisi mencengkeram tangannya.
“Saya langsung keluar dari pintu, langsung bapa tua pegang saya punya tangan. Langsung dia bilang, ‘Ini jadi saya punya istri’. Jadi dia langsung pegang saya punya tangan, kasih masuk dia punya mobil, habis itu bawa saya ke Kodim,” ungkap Bonita.
Pasca kejadian itu, kata Bonita, serangan milisi sontak berhenti. Oleh milisi yang membawanya, Bonita diklaim sebagai “rampasan perang”.
Setelah itu, di luar kehendaknya, Bonita dibawa secara paksa oleh para milisi ke markas militer. Di situlah, Bonita diduga mengalami kekerasan seksual.
Dia kemudian berpindah dari satu tempat ke tempat yang lain, sebelum akhirnya dibawa ke Betun, ibu kota Kabupaten Malaka.
Di sana, lagi-lagi di luar kemauannya, Bonita dijadikan istri ketiga oleh milisi yang membawanya, tanpa dinikahi secara resmi.
“Langsung saya diantar ke rumah. Istri dua orang itu di situ, langsung dia bilang, ‘Ini saya punya istri’. Dua istri itu langsung marah-marah ke saya.”
Pada November 2000, di usia 16 tahun, Bonita melahirkan putra pertamanya. Selanjutnya, dari perkawinan paksa itu, dia memiliki tiga anak.
Kasus penculikan Bonita sempat menjadi sorotan dunia internasional, ketika ibunya mendesak putrinya dikembalikan ke pangkuannya.
Sama seperti warga Suai yang lain, Magdalena—bukan nama sebenarnya—mengungsi ke Gereja Suai ketika kekerasan terhadap warga Timor Timur pro-kemerdekaan makin meningkat.
Namun rentetan tembakan milisi pada saat insiden, membuatnya tercerai-berai dari kedua anaknya. Satu anaknya yang lain, telah lama meninggal dunia.
Dengan bahasa Tetun—bahasa daerah yang digunakan oleh orang Timor—Magdalena bercerita, setelah korban berjatuhan dan para pengungsi perempuan dipindahkan ke markas militer, dia diberitahu bahwa putranya yang berusia 13 tahun tewas kena tembakan peluru. Sementara putrinya telah dibawa pergi oleh milisi.
“Rasanya seperti saya tidak punya anak. Semua orang pergi membawa anak mereka, tapi saya tidak membawa anak,” tutur Magdalena, menceritakan apa yang ia rasakan ketika ia kehilangan dua anak dalam waktu bersamaan dalam insiden tersebut.
Upaya bertemu dengan putrinya ia lakukan ketika dia bersama para pengungsi yang lain dibawa ke pengungsian di wilayah Indonesia, tepatnya di sebuah Gereja di Betun, Malaka.
“Hanya berjumpa sekali itu saja. Sampai pada suatu hari Pastor bawa kami pulang kembali ke Timor”.
Beberapa tahun sesudahnya, yakin pada tahun 2001, Magdalena akhirnya bertemu kembali dengan Bonita, lewat bantuan PBB serta pegiat dan LSM.
“Saat kami masuk, anak kami menangis. Anak laki-lakinya yang besar itu baru berumur tujuh bulan,” tutur Magdalena.
Namun pertemuan itu tak membuat Bonita bebas kembali ke keluarganya.
“Jika saat itu kami bawa pulang, pasti kami mati, karena saat itu intelijen banyak.”
Anak-anaknya yang kala itu masih kecil, menjadi alasan Bonita urung kembali pulang ke kampung halamannya. Selain itu, dia merasa terancam dengan keberadaan milisi yang berada di sekitarnya.
Suatu kali, sang mama mendatangi rumahnya melewati perbatasan secara ilegal demi bertemu dengannya.
“Mama tua menangis, ajak saya mau pulang, tapi tidak bisa pulang karena [anggota] milisi ada banyak. Jadi tidak bisa keluar.”
Selain hidup di bawah ancaman, Bonita juga mengaku mengalami kekerasan fisik dan verbal. Hampir setiap hari, kata dia, dia menjadi bulan-bulanan kemarahan suaminya yang temperamen.
“Dia kalau marah, pukul [saya]. Langsung marah-marah, usir saya. Saya hanya diam saja, menangis saja, takut, karena anggotanya masih banyak.”
BBC News Indonesia telah menghubungi suami Bonita – yang juga wakil komandan milisi yang bertanggung jawab dalam insiden di Suai 23 tahun lalu, untuk meminta tanggapan tentang tudingan yang ditujukan padanya.
“Itu omong kosong. Culik bagaimana, saya selamatkan dia. Dia punya mama dan bapak saya bawa ke sini. Selama ini juga dia bawa paspor ke Timor Leste,” jawabnya.
Kesabaran Bonita mencapai titik penghabisan pada Januari 2022, ketika dia memutuskan melarikan diri dari rumah setelah lagi-lagi menjadi pelampiasan amarah suaminya.
Setelah tinggal beberapa hari di rumah kerabatnya, dia memutuskan saatnya pulang ke kampung halamannya. Namun perjalanan Bonita tak mudah, sebab orang-orang suruhan suaminya mengejarnya.
Demi menghindar dari kejaran orang suruhan suaminya, dia menyeberangi sungai yang menjadi pembatas wilayah Indonesia dan Timor Leste di Malaka.
“Saya langsung langgar (menyeberang) kali, sandal buang di kali situ. Saya tidak pakai sandal, saya langgar kali, airnya sampai saya punya leher. Saya langsung lompat itu gunung, saya lompat masuk ke hutan.”
Selama di hutan, lanjut Bonita, orang-orang itu masih terus mencarinya. Menggunakan senter besar, mereka menyisir hutan dan meneriakkan nama Bonita.
“Saya rasa takut waktu itu, takut dong melihat saya, mau tangkap saya kembali bawa ke Indonesia. Jadi saya di hutan itu duduk diam saja. Lima jam saya di hutan, dong sampai tidak lagi senter, saya baru kasih nyala HP (handphone).”
Bonita kemudian melanjutkan perjalanan pulang ke kampung halaman, namun ia tak serta merta langsung ke rumahnya. Sebab di perbatasan Timor Leste, Bonita dijemput ayahnya dan polisi perbatasan dan ia kemudian dibawa ke kantor imigrasi. Ia menghabiskan malam itu di sana.
Esok harinya dia dipindahkan ke pusat karantina untuk menjalani isolasi mandiri selama sepekan. Kala itu, pandemi Covid-19 masih merajalela. Ia sempat terancam dideportasi karena masuk ke Timor Leste secara ilegal, namun berkat bantuan pegiat dan LSM dia akhirnya mendapat kewarganegaraan Timor Leste.
“Sekarang sudah bebas,” ucapnya.
Namun begitu, kekhawatiran tentang nasib ketiga anaknya masih membayanginya. Ibunya, Magdalena, pun kini merasa tenteram bisa bersatu kembali dengan putrinya, setelah sekian lama berpisah.
Ia mengaku tak menyimpan dendam anaknya sudah diambil paksa di masa lalu. “Mau balas dendam buat apa, itu kan perang. Kita ingat pun hanya simpan di dalam hati saja. Kita mau buat bagaimana, tidak apa-apa, [saat itu] situasi perang.”
-
Kekerasan Seksual
Kekerasan seksual yang terjadi pada Bonita, juga dialami oleh beberapa perempuan Suai yang lain, yang waktu itu mengungsi dari gereja ke markas militer, seperti diungkapkan oleh Maria Carvalho Amaral.
“Jadi [saat] kita di sana itu [sudah ada] teman-teman perempuan saya [yang] lain. Anggota militer Indonesia, [milisi] Laksaur, Mahidi, sudah ambil satu per satu, sudah dibawa keluar dan [melakukan] kekerasan seksual,” ujar Maria ketika ditemui di Suai, Agustus silam.
Ia adalah salah satu penyintas pembantaian di Gereja Suai, yang kini menjadi ketua komisi para penyintas dari insiden tersebut.
Menurut catatannya, ada sekitar 100 perempuan Suai yang mengalami kekerasan seksual selama rangkaian kerusuhan yang terjadi usai jajak pendapat.
“Sudah 100 lebih untuk para korban kekerasan seksual di Suai. Tapi itu pun [data] sementara, banyak yang belum masuk. Perempuan lebih menderita daripada laki-laki, karena semua laki-laki lari keluar [melarikan diri ke hutan]. Tapi kita perempuan, kita tidak punya tenaga. Tinggal terima mau apa. Mau kasih apa, mau dibuat apa, terima dengan dua tangan”.
Dalam laporan Chega! yang disusun oleh CAVR—komisi pencari fakta independen yang didirikan di Timor Leste pada 2001 di bawah pemerintahan transisional PBB di Timor Leste—seorang penyintas, Feliciana Cardoso, memberikan kesaksian atas kekerasan seksual yang dialami perempuan di Suai.
Dia menceritakan pada 14 September 1999 malam, seorang remaja perempuan yang sedang berjalan bersamanya menuju kamp pengungsi, dibawa secara paksa ke dalam mobil yang langsung beranjak pergi.
Feliciana, bersama para pengungsi lain, melanjutkan perjalanan ke kamp pengungsi di Betun. Dia akhirnya tiba keesokan harinya, sekitar pukul 10.00, setelah menempuh 8 jam perjalanan dengan berjalan kaki.
Ketika ia tiba di pengungsian, gadis yang semalam diambil paksa oleh milisi akhirnya kembali.
“Ketika turun dari sepeda motor, dia tidak bisa berjalan karena dia telah diperkosa. Dia datang dengan luka dan darah di alat kelaminnya,” ujar Feliciana dalam testimoninya.
“Saya mengobatinya… dia minum [racikan] air dan daun sirih. Saya membasuh lukanya dengan daun sirih yang telah saya rebus.”
Ya.. puluhan perempuan Timor Leste dilaporkan mengalami kekerasan dalam rangkaian kerusuhan usai jajak pendapat. Namun jumlah sebenarnya lebih banyak dari itu, menurut José Luís Oliveira, Direktur Asia Justice and Rights (AJAR) Timor Leste.
“Waktu 1999 itu tidak hanya di Suai, tapi juga terjadi pembantaian di Gereja Liquica pada bulan April, terus kebanyakan di Agustus-September di Maliana. Itu juga pengungsi di polres, kemudian polisi membiarkan milisi masuk, mengambil laki-laki untuk dibunuh, sementara perempuan menjadi sasaran kekerasan seksual,” jelas José Luís.
Lebih jauh, Jose mengungkapkan perempuan Timor yang mengalami kekerasan seksual sangat banyak, namun sangat sulit untuk mengungkap kasus kekerasan seksual tersebut sebab dianggap sebagai aib.
“Mereka kemudian mendapat tekanan dari keluarga dan masyarakat karena pengalaman mereka dianggap sebagai aib, sehingga banyak korban yang tidak terbuka. Jadi butuh proses lama yang bisa membuat mereka nyaman untuk bercerita. Tapi jelas bahwa banyak perempuan menjadi korban selama ini”.
Hal ini, menurut Jose, adalah konsekuensi dari masyarakat yang masih didominasi patriarki. Sehingga, proses hukum yang berjalan “selalu mendiskriminasi kaum perempuan”.
“Karena pejabat pemerintah terlalu didominasi oleh mindset (pola pikir) patriarki, jadi tidak menganggap penderitaan para korban atau pengorbanan para perempuan ini sebagai suatu yang berharga dan itu yang kemudian diabaikan dalam program reparasi.”
-
Serangan Besar-Besaran
Secara rinci, Maria Carvalho Amaral menceritakan apa yang terjadi di hari yang naas itu.
Sudah beberapa bulan lamanya Maria bersama warga dari tujuh distrik di Covalima, mengungsi di gereja Suai.
Mereka mulai mengungsi sejak Februari, ketika eskalasi serangan dari milisi bersama aparat Indonesia, mulai meningkat.
Ketegangan dimulai setelah pada 27 Januari 1999, pemerintah Indonesia mengeluarkan dua opsi menyangkut masa depan Timor Timur, yakni menerima atau menolak otonomi khusus.
Jajak pendapat akhirnya digelar pada 30 Agustus 1999.
Tensi kian memanas ketika pada 4 September 1999 hasil jajak pendapat diumumkan. Hasilnya, lebih dari 70% warga Timor Timur menghendaki lepas dari Indonesia.
“Semuanya gembira, semuanya di sini baku berpelukan, semua teriak-teriak begitu. Habis tanggal 4, tanggal 5 [September] pagi situasinya lebih panas lagi.”
Maria kemudian bercerita bahwa pada Senin, 6 September 1999 pukul 10 pagi, dua anggota milisi mendatangi gereja. Mereka kemudian bertemu Pastor Hilario Madeira, salah satu pastor di Gereja Suai. Mereka menghendaki semua pengungsi, yang diperkirakan ratusan hingga ribuan orang, dibawa ke wilayah Indonesia.
“Tapi pastor tidak mau. Pastor tidak kasih, tidak beri izin.”
Dua jam kemudian, milisi datang kembali untuk menyampaikan maksud yang sama. Namun lagi-lagi, pihak gereja menolaknya. Sekitar pukul 14.30, terjadilah “serangan besar-besaran” oleh para milisi yang mengepung gereja, yang menurut Maria, “serangannya luar biasa”.
“Kita di tengah, mereka sudah keliling pakai senjata, pakai pedang, pakai senjata rakitan. Banyak sekali Kontingen Lorosae, tentara Indonesia, tentara Timor juga, milisi Laksaur, milisi Mahidi, semuanya.”
Para pengungsi kemudian berhamburan keluar, sebagian dari mereka bersembunyi di kompleks susteran yang berada di depan gereja. Sedangkan lainnya, bersembunyi di ruang pastor yang berlokasi di belakang gereja, seperti yang dilakukan Bonita.
Selain Pastor Hilario, ada Pastor Francisco Soares dan Pastor Tarcisius Dewanto yang melayani umat di Gereja Suai.
“Pastor Dewanto itu orang Indonesia, dia baru datang kalau tidak salah dua atau tiga minggu. Dia belum tahu bahasa Tetun. Dia belum pernah buat misa, belum pernah karena dia masih belajar bahasa Tetun,” ungkap Maria.
Rentetan tembakan terus didengar oleh Maria yang sembunyi di kompleks susteran. Baru pada petang hari, sekitar pukul 18.00, serangan tiba-tiba berhenti dan dia dibawa paksa ke markas militer.
Baru ia tahu kemudian bahwa ketiga pastor itu telah meninggal dunia, bersama puluhan pengungsi lain.
“Jadi waktu tembakan itu pastor mati, saya tidak lihat dengan mata saya sendiri karena saya di sebelah susteran.”
-
Dipukul Pakai Senjata
Deonato—bukan nama sebenarnya—mengaku melihat dengan mata kepala sendiri bagaimana milisi menghabisi para pastor.
Ketika banyak pengungsi pria dewasa melarikan diri ke hutan, Deonato yang kala itu masih berusia 13 tahun, bertahan di gereja bersama dengan para perempuan dan sejumlah remaja laki-laki.
Sama seperti Bonita, ia bersembunyi di ruang pastor.
“Setelah tembakan mulai ada yang bakar, dua-tiga jam kemudian sudah mulai bakar gereja semua. Sesekali juga kita dengar suara granat, satu atau dua kali begitu,” tuturnya.
Sekitar pukul 17.00, jendela ruangan itu dipecahkan oleh anggota milisi. Mereka yang sembunyi di ruangan itu dipaksa keluar. Tak pelak, semua pengungsi berhamburan.
Malangnya, kaki Deonato mengalami kram sehingga ia tak bisa langsung beranjak. Dia kemudian dibantu salah satu temannya berjalan ke luar ruangan. Namun, ketika dia akan menyandarkan badannya di pagar, tiba-tiba bagian belakang kepalanya dipukul menggunakan gagang senjata.
“Dia bawa senjata yang saya tahu senjata itu AK. [Dia] pukul saya, sehingga saya jatuh dari pagar. Karena pusing, saya duduk.”
Di dekatnya, lanjut Deonato, ada Pastor Fransisco yang sedang berbicara dengan salah satu milisi.
Ketika pastor beranjak kembali ke ruangan, dia melihat anggota milisi itu tiba-tiba menusuk pastor dari belakang.
“Dia bawa semacam pedang, tapi besar, tusuk Pastor Sico (Fransisco) dari belakang, kena di tulang belakang.”
“Sebelum pastor menurunkan tangan, milisi yang satu lagi tendang pastor di bagian dada. Semenjak itu saya hanya bisa tunduk, Pastor Sico mereka bawa ke luar. Saya tidak melihat karena takut.”
Kesaksian Deonato memiliki sudut pandang yang berbeda dengan apa yang disaksikan oleh Feliciana Cardoso.
Kesaksian Feliciana terungkap dalam laporan Chega! Yang dibuat oleh CAVR. Dalam kesaksiannya, ia menuturkan:
“Seorang milisi, M137, yang berasal dari Desa Raimea di Covalima, mendekati Pastor Fransisco. Dia pura-pura memeluk pastor, dan membimbingnya ke arah patung Bunda Maria. Ketika mereka kembali, M136 menembak pastor. Tapi Pastor Fransisco belum meninggal, jadi M137 mengambil pedang dan menghujamkannya ke Pastor Fransisco di bagian dada. Saat itu lah dia meninggal dunia.”
Ketika tembakan berhenti, para milisi kemudian membawa para pengungsi yang masih hidup ke markas militer. Di depan gereja, Deonato melihat beberapa jenazah pengungsi tergeletak di tanah.
“Sampai gerbang susteran, ada anggota Laksaur bawa [senjata] rakitan lari ke depan sekolah sambil panggil kami, ‘Tunggu!’, kami disuruh tunggu.
“Ketika sampai di depan kami berdiri jarak sekitar 3 meter, kami disuruh berdiri, baru tembak. Tangan saya kena [peluru senjata] rakitan. Pas waktu [anggota milisi] mau tembak, dua teman itu berdiri di belakang saya. Jadi [peluru senjata] rakitan itu kena di tangan saya.”
Tak hanya itu saja, ketika dalam perjalanan menuju markas militer, ia mengatakan hampir diterjang samurai oleh milisi yang menghadangnya.
“Sampai di depan kami, kebetulan ada dua Kontingen Loro Sae di situ. Jaga di situ. Dua kontingen itu bilang, ‘Kalau mau bunuh di gereja sana’, sampai di sini tanggung jawab kita. Jadi dia kembali masukkan samurainya itu dan lanjut jalan.”
Sesampainya di markas militer, Deonato tinggal selama beberapa hari bersama ibu dan bibi Bonita, yang menganggapnya sebagai keluarga.
“Waktu itu saya tidak dengan keluarga saya, sudah berpisah. Jadi mereka saya anggap sebagai keluarga saya. Di situ kami kurang lebih dua minggu, sebelum dievakuasi ke pengungsian di gereja Malaka.”
Felix—bukan nama sebenarnya—masih berusia 18 tahun ketika peristiwa itu terjadi.
Kala situasi di gereja mulai memanas, menjelang pukul 14.00, para milisi yang mengepung gereja mulai berteriak. Mereka kemudian menembak ke arah gereja.
Dia bersama Pastor Hilario ketika serangan itu mulai terjadi. Dia kemudian melihat Pastor Dewanto, yang mengenakan jubah pastor, keluar dari ruang pastor menuju depan gereja.
“Menuju ke depan, saya masih di sana, menyandar di tembok. Lalu saya melihat ke arah orang yang sedang lagi panas-panasnya menembak, mereka (milisi) saat tiba di depan gereja itu, mereka menangkap Pastor Dewanto.”
Felix lalu bergabung dengan para pengungsi yang lain, bersembunyi di ruangan pastor.
“Kami di sini hanya mendengar mereka (milisi) tembak, tembak, tembak dengan brutal. Mereka tembak ke jendela itu dan hancur semua. Mereka mulai menembak lagi dan mengenai Pastor Hilario.”
Tak lama, api di ruang pastor kian membesar. “Mulai gelap semua, asap hitam sekali. Kami beberapa orang di sini hanya bertahan. Bertahan seperti ini sampai saya melihat asapnya mulai tebal, api mulai menjalar naik, kasur sudah dilahap api, lalu saya merasa tarik napas tidak bisa lagi’.”
Felix kemudian berlari ke belakang gereja, ke arah hutan belantara. Sebagian anggota tubuhnya sempat terbakar ketika melarikan diri dari kobaran api itu.
Bekas luka bakar masih tampak di sekitar telinga dan wajah bagian kanannya, 23 tahun setelah waktu berlalu.
Kesaksian lain diberikan oleh John—bukan nama sebenarnya. Di depan ruang pastor yang menjadi saksi bisu insiden itu, John bercerita bahwa setelah menembaki gereja, para milisi melempar granat dan membakar kompleks gereja, serta menjarah barang-barang yang ada di dalamnya.
“Sampai di depan, mereka tembak, buang granat, mereka bakar, mereka ambil barang-barang di gereja.”
Asap tebal di dalam ruangan membuatnya tak tahan, dia lalu keluar ruangan. Di situlah dia mengaku melihat Pastor Hilario tak lagi bernyawa.
“Mereka tembak, saya lari terus, saya masuk di dalam WC. Mereka lari terus, cari saya. Mereka terus keluar, saya masuk ke dalam tangki [air].
“Ada empat teman di dalam tangki. Saya bilang, ‘Diam, saya masuk’.”
John bersembunyi bersama kawannya, Carlos, bukan nama sebenarnya. Sama seperti John, dia terpaksa keluar dari tempat persembunyian karena ruang pastor dibakar milisi.
“Mereka bakar, kita tidak bisa bernafas lagi, jadi kita lompat ke luar dari sini. Tapi kita lompat ke luar dari sini, kita kan hanya mikir daripada mati terbakar, lebih baik mati tertembak saja.”
Dirinya bersama Felix dan John, kemudian melarikan diri ke hutan, menyusul para pengungsi pria yang lain. Mereka hidup dalam pelarian di hutan selama 1,5 bulan.
-
Kuburan Massal
Menyusul rangkaian insiden kekerasan yang terjadi di Timor Timur, Komisi Penyelidik Pelanggaran Hak Asasi Manusia (KPP HAM) dibentuk oleh Komnas HAM untuk melakukan penyelidikan terhadap dugaan pelanggaran HAM berat di Timor Timur.
Penyelidikan KPP HAM Timor Timur menitikberatkan perhatian sejumlah insiden kekerasan yang terjadi sejak April hingga September 1999, termasuk insiden Pembantaian di Gereja Suai.
Pada 25 November 1999, di tengah proses penyelidikan yang dilakukan KPP HAM, sebanyak 26 jenasah ditemukan dalam tiga kuburan massal di Pantai Metamauk di Malaka, hanya beberapa kilometer dari perbatasan Indonesia dan Timor Timur.
Mantan wakil Komnas HAM, Amiruddin Al Rahab, yang kala itu menjabat sebagai anggota tim asistensi KPP HAM Timor Timur, menyaksikan dengan kepala sendiri bagaimana jenazah-jenazah itu dievakuasi.
“Pada waktu itu ada ada satu lokasi yang digali enggak terlalu dalam, ditutup pakai tikar, timbun pasir. Di lubang inilah romo yang memimpin gereja itu ditemukan,” aku Amir.
“Tak jauh dari situ, ada satu lubang lagi, isinya ibu, anak balita yang masih nempel di badannya dan dua anak-anak,” lanjutnya.
Menurut laporan Komnas HAM, jenazah yang ditemukan dalam kuburan massal itu terdiri dari 16 laki-laki, delapan perempuan dan dua lainnya tidak dikenali jenis kelaminnya. Usia mereka berkisar lima hingga 40 tahun.
Dalam kunjungan KPP HAM ke lokasi kejadian pada November dan Desember 1999, ditemukan bekas-bekas pembakaran mayat korban pembantaian di sekitar kompleks gereja.
“Di tempat tersebut ditemukan sisa-sisa tulang-belulang dan tengkorak manusia serta pakaian para pengungsi yang hangus terbakar.”
Selain itu, hampir seluruh bangunan milik masyarakat dan pemerintah di Suai habis terbakar bahkan rata dengan tanah.
Berdasarkan informasi ini, dan pernyataan-pernyataan yang dikumpulkan dari keluarga-keluarga dan pejabat-pejabat setempat, pada akhir tahun 2002 para penyelidik hak asasi manusia PBB berhasil mengidentifikasikan 40 orang yang telah meninggal di dalam pembantaian tersebut.
KPP HAM Timor Timur memperkirakan 50 orang tewas dalam insiden di Suai. Sementara organisasi hak asasi manusia di Timor Timur, Yayasan HAK, memperkirakan korban meninggal antara 50-200 orang.
Sedangkan surat dakwaan yang diajukan untuk kasus ini menyebutkan “antara 27 hingga 200 penduduk sipil telah dibunuh selama serangan terjadi”.
Adapun, laporan CAVR Timor Leste kepada PBB menyebutkan sekitar 102.800 orang tewas selama masa integrasi Timor Timur dengan Indonesia pada periode 1974-1999.
-
Penyelesaian Kasus
Hasil penyelidikan KPP HAM menunjukkan indikasi kuat bahwa telah terjadi pelanggaran HAM berat yang dilakukan secara terencana, sistematis serta dalam skala besar dan luas berupa pembunuhan massal, penyiksaan dan penganiayaan, penghilangan paksa, kekerasan terhadap perempuan dan anak (termasuk di dalamnya perkosaan dan perbudakan seksual).
Juga pengungsian paksa, pembumihangusan dan perusakan harta benda, yang seluruhnya merupakan pelanggaran HAM berat.
“Komnas HAM menyatakan bahwa dari seluruh peristiwa yang terjadi sebelum dan setelah jajak pendapat itu disimpulkan yang namanya crime against humanity, kejahatan terhadap kemanusiaan,” kata Amiruddin Al Rahab, wakil ketua Komnas HAM.
Hasil penyelidikan KPP HAM juga menunjukkan bahwa aparat sipil dan militer (termasuk kepolisian) bekerja sama dengan milisi (yang secara langsung maupun tidak langsung dipersenjatai, dilatih, didukung dan didanai oleh aparat sipil, militer dan kepolisian) telah menciptakan situasi dan kondisi yang mendukung terjadinya kejahatan terhadap kemanusiaan.
“Maka dari itu direkomendasikan kepada Jaksa Agung untuk meningkatkan menjadi penyidikan dan penuntutan di pengadilan,” ungkap Amir.
Komnas HAM pada Februari 2000 telah melimpahkan berkas penyelidikan KPP HAM Timor Timur kepada Kejaksaan Agung.
“Hasil laporan KPP HAM itulah yang dipakai oleh Jaksa Agung untuk menyidik semua orang-orang yang diduga bertanggung jawab, rata-rata itu pejabat keamanan dari Indonesia dan pejabat sipil di sana.”
KPP HAM menyimpulkan 157 orang tersangka, 22 orang di antaranya adalah pelaku pada tingkat pengendali dan koordinator operasi lapangan dalam kasus ini, dengan Panglima TNI yang menjabat kala itu, Wiranto, menjadi salah satu pihak yang harus dimintai pertanggungjawaban.
Akan tetapi, Kejaksaan Agung hanya mendakwa 18 orang dari militer dan kepolisian yang memegang komando langsung di Timor Timur pada saat itu, serta dua pejabat pemerintah, dan seorang pemimpin milisi.
Empat pejabat militer dan bupati yang bertugas di Suai, termasuk milisi yang menculik Bonita, ada dalam daftar tersangka itu.
Pada 14 Maret 2002, setelah tertunda hampir satu tahun, Pengadilan HAM Timor digelar di Pengadilan HAM Ad Hoc Jakarta Pusat.
Pengadilan HAM ini merupakan yang pertama diadakan di Indonesia dan menjadi salah satu tonggak sejarah, di mana pemerintah akhirnya mau mengadili para pelaku pelanggar HAM yang notabene adalah pejabat pemerintah dan militer yang berkuasa pada saat terjadinya peristiwa pelanggaran HAM pasca jajak pendapat.
Pada Agustus 2004, pengadilan HAM kasus Timor Timur memberikan vonis bebas kepada lima pejabat di Suai yang menjadi terdakwa. Putusan ini dikuatkan oleh putusan Mahkamah Agung pada awal 2004.
Dari 18 terdakwa yang disidang dalam kasus pelanggaran HAM di Timor Timur, hanya dua orang yang mendapat hukuman, yakni Abilio Soares yang saat itu menjabat sebagai gubernur Timor Timur, dan komandan milisi Eurico Guterres. Sisanya dibebaskan, baik di pengadilan atau di tingkat banding.
Akibat putusan itu, Indonesia dianggap tak mampu menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat oleh dunia Internasional.
Sekretaris Jenderal PBB kala itu, Kofi Annan, akhirnya membentuk komisi ahli yang kemudian menyatakan bahwa proses pengadilan Ad Hoc tersebut “tidak kredibel”.
Pada pertengahan 2005, Annan mengatakan, berdasarkan laporan komisi ahli PBB, telah terjadi pelanggaran HAM berat di Timor Timur pada saat jajak pendapat.
Komisi ahli juga merekomendasikan agar dibentuk pengadilan internasional untuk menyelesaikan kasus tersebut.
Namun, Indonesia dan Timor Leste menolak mentah-mentah rekomendasi tersebut, dengan menteri luar negeri Indonesia pada saat itu, Hasan Wirajuda, mengungkapkan bahwa kedua negara memilih pendekatan rekonsiliasi melalui pembentukan Komisi Kebenaran dan Persahabatan (KKP).
Setahun sebelumnya, pada 2004, Presiden Timor Leste kala itu Xanana Gusmao dan Megawati Soekarno Putri yang menjabat presiden Indonesia, sepakat untuk menyelesaikan isu-isu HAM melalui pendekatan rekonsiliasi daripada yudisial.
Adapun, Presiden Timor Leste saat ini, José Manuel Ramos-Horta, menyatakan “rekonsiliasi dengan Indonesia penting demi kedamaian dan stabilitas” dalam kunjungannya ke Indonesia, pertengahan Juli silam.
“Saya selalu bilang berkali-kali, dalam kemenangan jadilah murah hati, jadilah bijak, jangan mempermalukan pihak lain,” kata Ramos-Horta dalam kuliah umum yang digelar di Universitas Indonesia.
Pada 2005, ketika Ramos-Horta—yang berbagi Nobel Perdamaian dengan Uskup Ximenes Belo atas “upaya berkelanjutan mereka untuk menghalangi penindasan rakyat kecil” di Timor Leste—masih menjabat sebagai menteri luar negeri Timor Leste, ia menegaskan bahwa negaranya menghendaki “restorative justice” yang berorientasi pada masa depan, alih-alih “retributive justice” yang berorientasi pada penuntutan, hukuman, dan masa lalu.
Ketika ia pertama kali menjabat sebagai presiden Timor Leste pada 2009, Ramos kembali memantapkan pendiriannya dengan menegaskan bahwa Timor Leste telah mendapatkan keadilan yang terbesar dalam bentuk kemerdekaan.
Maka dari itu, ia kembali menegaskan bahwa negara itu “telah menutup memori tahun 1975-1999” dan sebaliknya, “fokus membangun hubungan baik dengan Indonesia untuk mendukung pembangunan nasional” negaranya.
Gabungan dari keberatan tegas pemerintah Timor Leste dan penolakan keras pemerintah Indonesia untuk menangani pelanggaran hak asasi manusia secara efektif menutup inisiatif PBB untuk memberikan keadilan bagi para korban di Timor.
Lantas, apa harapan para korban tentang penyelesaian kasusnya?
Mewakili para korban, Maria Carvalho Amaral, mengungkap bahwa para korban merasa belum puas karena “belum mendapat keadilan”.
“Kita belum mendapat keadilan dari pemerintah Timor Leste dan pemerintah Indonesia, karena semua pelakunya di Indonesia. Jadi sampai ini hari tidak ada proses hukum untuk mengadili para pelakunya.”
“Itu yang kita merasa masih sakit hati, kalau kita cerita kembali kita punya masa lalu itu, saya pikir sangat sulit untuk dimaafkan,” ungkap Maria.
Sementara Bonita, yang akhirnya bisa bersatu kembali dengan keluarganya setelah 23 tahun diambil paksa dan mendapat kekerasan seksual, mengaku tak menuntut yang muluk-muluk.
“Karena saya sudah kembali ke orang tua dan keluarga, jadi sudah merasa senang.” (el/BBC Indonesia)