Karena mabuk, dua pemuda ini bergumul di atas aspal. Perkelahian terjadi di Bundaran PU, Kota Kupang, Senin (10/2/20) malam.
Karena mabuk, dua pemuda ini bergumul di atas aspal. Perkelahian terjadi di Bundaran PU, Kota Kupang, Senin (10/2/20) malam.

DALAM satu minggu terakhir ini, masyrakat Indonesia, khususnya netizen, kembali dihebohkan dengan fenomena kekerasan anak terhadap orang tua di Kupang, Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT).

Sebelumnya, kita membaca berita mengenai hukuman senior kepada junior di seminari Bunda Segala Bangsa, Maumere. Dimana 77 siswa disuruh menjilat kotoran tersebar di sejumlah media sosial.

Berita yang terjadi di Maumere itu seakan bersambung dengan beredarnya sebuah video yang terjadi di Kupang tersebut.

Dalam video tersebut, seorang anak menganiaya ibunya dengan cara menendang dan memukul. Aksi tak terpuji ini kemudian diketahui lantaran ibunya tidak segera menyiapkan baju untuk dirinya.

Kedua peristiwa tersebut tentunya membuat siapapun miris dan geram saat melihatnya.

Melihat dua kasus tersebut, kita lantas bertanya-tanya dan mulai memikirkannya secara serius mengapa anak berani menganiaya orang tuanya? serta kenapa senior tega menyuruh juniornya menjilat kotoran manusia?

Untuk menemukan jawabannya, tentu kita tidak bisa terus berkutat dengan cara pandang dualisme keberpihakan terhadap masing-masing aktor.

Kita membutuhkan sebuah analisis yang mendalam dan komprehensif dari berbagai sudut pandang. Intinya, perilaku kekerasan dari anak kepada orang tua, atau orang tua pada anak, maupun siswa kepada siswa saat ini semakin mengkhawatirkan.

Berdasarkan sejumlah kajian dan penelitian disimpulkan bahwa perilaku agresif (kekerasan) anak dipengaruhi oleh beberapa faktor. Antara lain, pengaruh pola asuh orang tua, trauma kekerasan yang diterima waktu kecil, pengaruh tayangan kekerasan di TV, pengaruh teman atau lingkungan bermain termasuk di lingkungan sekolah. Oleh karena itu, peran orang tua sangatlah penting dalam mengawasi dan mendidik anaknya.

  • Pentingnya Peran Orang Tua

Tidak semua orang tua paham tentang bagaimana cara mendidik anak. Padahal, orang tua merupakan pendidik yang utama dan pertama yang memiliki tanggung jawab dalam membina serta membentuk anak-anaknya dari sisi psikologis maupun fisiologis. Sayangnya, sebagian besar orang tua masih beranggapan bahwa mendidik anak hanya persoalan menafkahi dan menggendong anak saja.

Untuk itu, perlunya pengetahuan dan pemahaman dari calon orang tua maupun orang tua dalam mendidik anak agar tidak menimbulkan efek negatif dalam proses tumbuh kembang anak kedepan. Oleh karena itu, pengetahuan dan pemahaman tentang pola asuh perlu dan mutlak dibutuhkan.

  • Pola Asuh orang tua

Pola asuh orang tua merupakan sikap atau cara yang dilakukan orang tua dalam berhubungan atau berinteraksi dengan anak.

Dalam interaksi antara orang tua dengan anak tersebut terdiri dari cara orang tua merawat, menjaga, mendidik, membimbing, melatih, membantu dan mendisiplinkan anak agar anak tumbuh dengan baik sesuai dengan nilai dan norma yang ada di masyarakat. Orang tua juga merupakan lingkungan primer bagi anak karena orang tua merupakan tempat belajar atau pendidikan pertama bagi anak terutama dalam pendidikan karakter serta mematuhi dan memahami nilai dan norma yang ada yang dapat mempengaruhi perilaku seorang anak.

Menurut Hurlock (1999) dalam Adawiah (2017), terdapat 3 macam pola asuh:

Pertama, pola asuh permissive  yang menekankan pada kebebasan tanpa memberi batasan dan tanggung jawab.

Kedua, pola asuh otoriter yang menerapkan aturan dan batasan tanpa memberikan kebebasan pada anak untuk berpendapat.

Ketiga, pola asuh demokratis yang memberikan kebebasan pada anak namun tidak mutlak dan selalu melakukan diskusi dua arah untuk memberikan penjelasan-penjelasan kepada anak.

Ketiga pola asuh tersebut memiliki peran dalam mempengaruhi perilaku atau tumbuh kembang anak kedepan.

Jika pola asuh permissiv yang digunakan, maka anak akan kesulitan beradaptasi dalam menghadapi larangan-larangan yang ada dalam lingkungan keluarga maupun masyarakat.

Sebaliknya, kalau yang diterapkan adalah pola asuh otoriter, maka dampaknya adalah anak tidak percaya diri, peragu, pendiam, dan tidak punya inisiatif.

Sedangkan hasil dari pola asuh demokratis adalah anak akan tumbuh menjadi pribadi yang punya inisiatif dan percaya diri, tapi juga memiliki pertimbangan dalam beradaptasi dengan aturan-aturan yang ada, baik dilingkungan keluarga, sekolah, maupun sosial.

Harus diakui, beberapa tahun belakangan ini, banyak orang tua di NTT, sudah memahami dan menerapkan cara mendidik anak dengan pola asuh demokratis. Meski begitu, masih ada orang tua yang mempertahankan cara mendidik anak dengan pendekatan ala kolonial, yaitu pola asuh otoriter.

Penyebab orang tua yang mendidik anaknya dengan menggunakan pola asuh otoriter ini adalah karna mereka merupakan korban dari cara didik orang tua dimasa lampau. Pola asuh ini akhirnya diteruskan begitu saja, dan akhirnya semacam menjadi budaya dalam mendidik anak.

Banyak orang tua yang melanggengkan pola asuh otoriter ini beranggapan bahwa hanya dengan kekerasanlah anak bisa menjadi baik. Tak jarang orang tua seperti ini mendefinisikan anak yang baik adalah anak yang penurut dan pendiam.

Kesalahan seperti ini sebetulnya bukan saja berakar pada pola asuh otoriter yang diterima oleh para orang tua dimasa lampau. Tapi juga karna adanya relasi kuasa yang tidak setara beserta salah menafsirkan salah satu ayat suci yang berbunyi: “diujung rotan ada emas.”

Pola asuh otoriter yang masih dipertahankan serta kesalahan menafsirkan ayat suci, akhirnya bertemu dengam sistem patriarki dan feodalisme yang masih mengakar kuat di Nusa Tenggara Timur.

Untuk itu, penting dalam melihat masyarakat bukan saja pada sekelompok orang yang terikat pada suatu kebudayaan yang sama. Tapi juga harus melihat relasi ketidaksetaraan dalam masyarakat.

Relasi yang tidak setara inilah salah satu akar dari sejumlah kekerasan yang terjadi.

Jika kekerasan anak pada orang tua akibat dari pola asuh yang salah dalam keluarga, maka kekerasan siswa terhadap siswa pun seringkali  karna relasi yang tidak setara dalam lingkungan sekolah, seperti relasi senior-junior.

Relasi ini bukan hanya dalam lingkungan sekolah, tapi berlaku umum dalam lingkungan sosial kita. Relasi bangsawan-budak, majikan-anak buah, relasi kaya-miskin, pria-wanita dan lain-lain. Relasi yang terbangun adalah relasi yang tak setara. Akibatnya itu memunculkan kesewenangan dan kekerasan yang tak sedikit dalam masyarakat kita.

Relasi ketidaksetaraan tanpa disadari memberikan ruang bagi masing-masing aktor untuk menjadi dua objek sekaligus: Penindas & Tertindas.

Kebiasaan “asal bapak senang” dan mental “jilat atas, injak bawah”  yang sering kita temui tentunya bersumber dari relasi semacam ini.

Keduanya sama-sama memiliki modal dan kesempatan untuk saling menindas orang lain sekaligus pada waktu yang sama dirinya juga dapat ditindas oleh aktor lainnya. Relasi ketertindasan inilah yang oleh Paulo Freire, seorang pedagog asal Brazil disebut sebagai “Lingkaran Setan”.

Pertemuan dari pola asuh otoriter, relasi yang tidak setara, dan sistem feodal yang masih mengakar itu pada akhirnya menghasilkan dua tipe anak yang dominan dalam masyarakat:

Pertama, anak yang penakut, peragu, tidak percaya diri, tak punya inisiatif, pemalu, dan tidak berani berpikir sendiri.

Kedua, anak yang pembangkang, pemberontak, penindas, suka membully, tidak peduli dengan aturan sosial dan lain-lain.

Untuk itu, kita perlu mengubah pola asuh otoriter dan memutuskan budaya feodalisme yang masih mengakar kuat dalam masyrakat kita.

Hal ini penting, karna seperti premis yang saya ajukan di atas, siapapun aktornya (orang tua, anak, senior, guru ) tidak akan bisa menjadi penindas atau pelaku kekerasan sepenuhnya. Pada saat yang sama ia juga akan menjadi objek yang tertindas.

Untuk memutus lingkaran kekerasan diatas. Solusi yang saya ingin ajukan adalah dengan memulai memperbaiki hubungan antara orang tua dan anak serta guru dan murid. Mengubah pola asuh otoriter menjadi pola asuh demokratis, atau menggunakan masing-masing pola asuh itu sesuai situasi tertentu. Selanjutnya, relasi penindas-ditindas perlu kita tinggalkan. Kita kembali mengubah relasi ‘lawan’ menjadi ‘kawan’.

Semua itu hanya bisa dilakukan dari dalam keluarga dan sekolah. Hal ini penting dan mendesak untuk menciptakan lingkungan keluarga, sekolah, dan masyarakat yang nyaman dan harmonis bagi semuanya. Karena sampai kapanpun, pola asuh otoriter, sistem feodal, dan budaya kekerasan tidak pernah memajukan peradaban suatu masyarakat. Salam! (Honing Alvianto Bana)