Bupati Kabupaten Malaka, Stef Bria Seran.

sergap.id, BETUN – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) diminta untuk selalu mengawasi penanganan kasus dugaan korupsi akibat adanya dugaan politik dinasti di Kabupaten Malaka.

Sebab, “Politik dinasti itu bisa dimaknai sebagai sebuah kekuasaan politik  yang dijalankan oleh sekelompok orang yang masih terkait dalam ikatan keluarga,” ujar Koordinator Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI) Wilayah Provinsi NTT, Meridian Dado, kepada SERGAP via WhatsApp, Minggu (21/7/19).

Menurut Meridian, bila merujuk pada makna politik dinasti, maka Kabupaten Malaka merupakan salah satu Kabupaten di Indonesia yang diduga kuat sedang mempraktekkan politik dinasti.

Hal ini terlihat dari sejumlah keluarga kandung dan kerabat Bupati Malaka, Stef Bria Seran yang menduduki jabatan strategis di pemerintahan Kabupaten Malaka, diantaranya:

  1. Ketua DPRD Kabupaten Malaka, Adrianus Bria Seran adalah adik kandung dari Bupati Malaka.
  2. Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Malaka, Petrus Bria Seran adalah adik kandung Bupati Malaka.
  3. Kepala Badan Penanaman Modal dan Perizinan Terpadu Kabupaten Malaka, Yanuarius Bria Seran adalah adik kandung Bupati Malaka.
  4. Kepala Rumah Sakit Penyangga Perbatasan (RSPP) Betun, Kabupaten Malaka, dr. Oktelin K. Kaswadie adalah isteri dari Kepala Badan Penanaman Modal dan Perizinan Terpadu, Yanuarius Bria seran.
  5. Kepala Badan Kepegawaian Daerah (BKD) Kabupaten Malaka, Veronika Flora Fahik adalah sepupu Bupati Malaka.
  6. Kepala Badan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD) Kabupaten Malaka, Aloysius Werang adalah suami dari Veronika Flora Fahik atau ipar Bupati Malaka.
  7. Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Malaka, Pascalia Frida Fahik adalah kakak kandung dari Kepala BKD Kabupaten Malaka, Veronika Flora Fahik atau sepupu Bupati Malaka.

“Kita semua tidak boleh mengingkari bahwa keberadaan politik dinasti berdampak pada tertutupnya peluang dan kesempatan masyarakat yang merupakan figur-figur berkualitas untuk bisa bersaing secara fair guna menduduki jabatan publik. Sehingga kekuasaan hanya berputar di lingkungan elit yang berpotensi menimbulkan konspirasi kepentingan dalam menjalankan tugas pemerintahan,” beber Meridian.

Selain itu, lanjut Meridian, politik dinasti membuat cita-cita pemerintahan yang baik dan bersih (clean and good governance) menjadi sulit diwujudkan. Sebab kontrol kekuasaan tidak berjalan secara efektif.

“Sehingga sangat besar peluang terjadinya penyimpangan kekuasaan seperti korupsi, kolusi dan nepotisme,” tegasnya.

Meridian menjelaskan, asumsi publik yang mendalilkan bahwa politik dinasti rawan akan tindak korupsi semakin benar setelah menyaksikan deretan fakta pada daerah-daerah lain di Indonesia yang ditangkap KPK akibat terjerat praktek korupsi, antara lain:

  1. Dinasti Ratu Atut Choisyiah di Provinsi Banten yang selain terbukti menyuap ketua MK, Akil Mochtar, Ratu Atut Choisyiah juga terbukti korupsi dalam pengadaan alat kesehatan.
  2. Dinasti Syaukani Hassan dan Rita Widyasari di Kabupaten Kutai Kartanegara adalah ayah dan anak yang keduanya mantan Bupati Kutai Kartanegara dan sama-sama terjerat kasus korupsi.
  3. Dinasti Itoc Tochija dan Atty Suharti di Kota Cimahi yang tersangkut kasus suap proyek Pasar Cimahi dimana saat menjadi tersangka, Atty Suharti adalah Walikota Cimahi yang meneruskan kepemimpinan suaminya Itoc Tochija yang sudah menjabat dua periode.
  4. Dinasti Fuad Amin di Kabupaten Bangkalan, dimana Fuad Amin pernah menjabat Bupati Bangkalan selama dua periode dan dilanjutkan anaknya, Makmun Ibnu Fuad, dan fatalnya di saat yang sama Fuad Amin justru menjabat sebagai Ketua DPRD Bangkalan sehingga dapat dibayangkan bagaimana dua lembaga politik yang seharusnya saling mengawasi justru dipegang oleh anak dan ayah. Puncaknya pada bulan Desember 2014, Fuad Amin digelandang KPK lantaran kasus suap senilai 18 miliar rupiah.
  5. Dinasti Haryanto di Kabupaten Klaten dimana Haryanto pernah menjabat Bupati Klaten selama dua periode. Istrinya, Sri Hartini masuk ke gelanggang politik dengan menjadi Wakil Bupati Klaten, dan berlanjut menjadi Bupati Klaten. Ia ditangkap KPK pada Desember 2016 atas tindakan jual beli jabatan.
  6. Dinasti Yan Anton Ferdian di Kabupaten Banyuasin. Yan Anton Ferdian ditangkap KPK karena kasus suap di Dinas Pendidikan Banyuasin. Yan Anton Ferdian adalah anak dari Bupati Banyuasin dua periode sebelumnya, yakni Amiridun Inoed.

Meridian menyebut, di Kabupaten Malaka terdapat kasus-kasus korupsi yang beberapa diantaranya diduga melibatkan keluarga dan kerabat dekat Bupati Malaka, Stef Bria Seran, yaitu:

  1. Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Malaka, Petrus Bria Seran diperiksa penyidik Polres Belu dalam kasus dugaan korupsi pembangunan Unit Sekolah Baru (USB) SMA Wederok senilai Rp 2,1 miliar lebih.
  2. Kepala Dinas Kesehatan, Paskalia Frida Fahik diperiksa penyidik Kejari Belu dalam kasus dugaan korupsi pembangunan Rumah Tunggu Puskesmas Fahiluka senilai Rp 440 juta.
  3. Kepala Dinas Pertanian Kabupaten Malaka, Yustinus Nahak diperiksa penyidik Kejari Belu dalam kasus dugaan korupsi pengadaan bibit kacang hijau 22,5 ton senilai Rp 600 juta.
  4. Kepala Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten Malaka, Yohanes Nahak diperiksa penyidik Polres Belu dalam kasus dugaan korupsi perkuatan tebing Desa Naimana, Kecamatan Malaka Tengah, Kabupaten Malaka senilai Rp 3.287.095.000 yang bersumber dari DAU tahun anggaran 2016 dan Kasus dugaan korupsi pengadaan lampu sehen sebanyak 1529 unit Tahun Anggaran (TA) 2016 senilai 6.792.404.000 dan 268 unit TA 2017 senilai Rp 1.130.131.000.
Meridian Dado

“Anehnya terhadap kasus-kasus korupsi itu, baik Polres Belu maupun Kejari Belu mengalami stagnasi dalam penuntasannya. Padahal sudah setahun lebih kasus-kasus korupsi itu berada dalam meja penyelidikan Polres Belu dan Kejari Belu,” beber Meridian.

Karena itu, kata Meridian, demi terciptanya pemerintahan yang baik dan bersih (clean and good governance), maka Bupati Malaka dan Ketua DPRD Malaka semestinya bisa menjadi figur paling terdepan untuk mencegah terjadinya kasus korupsi di dalam tubuh Pemerintah Kabupaten Malaka.

Bahkan Bupati dan Ketua DPRD seharusnya bisa mendesak Polres Belu maupun Kejari Belu untuk segera mempercepat penuntasan kasus-kasus korupsi yang sedang ditangani.

Walaupun belum ada fakta-fakta signifikan yang membuktikan bahwa munculnya kasus-kasus korupsi di Kabupaten Malaka adalah sebagai akibat sinyalemen politik dinasti, namun publik Malaka punya wewenang dan hak untuk selalu mengawasi jalannya pemerintahan di Malaka.

“Bahkan dengan keberadaan proses penyelidikan kasus-kasus korupsi oleh Polres Belu dan Kejari Belu yang berlarut-larut tanpa perkembangan yang berarti, maka publik bisa meminta KPK untuk segera turun ke Malaka guna (mengungkap sekaligus) memutus mata rantai sinyalemen dan dugaan politik dinasti, seandainya memang terdapat bukti-bukti bahwa hal itulah yang menjadi penyebab munculnya kasus-kasus korupsi di Malaka,” tutupnya.

ARAKSI Lapor Bupati dan Ketua DPRD ke KPK

Alfred Baun saat mendatangi KPK, 5 Juli 2019.

Jumat 5 Juli 2019 lalu, Ketua Aliansi Rakyat Anti Korupsi (ARAKSI), Alfred Baun, secara resmi melaporkan Bupati dan Ketua DPRD Malaka ke KPK terkait dugaan korupsi APBD Malaka sebesar Rp 29 miliar.

Alfred Baun menjelaskan, Rp 29 miliar itu terdiri dari Rp 24 Miliar yang diberikan ke Yayasan Pendidikan Milik Bupati dan Ketua DPRD Malaka, serta Rp 5 Miliar yang digunakan untuk merehab Rumah Pribadi Orang Tua Bupati dan Ketua DPRD Malaka.

“Laporan yang kita serahkan itu dilengkapi dengan bukti awal berupa dokumen APBD Malaka dan dokumen lainnya yang memperkuat dugaan korupsi tersebut,” kata Alfred Baun kepada SERGAP, Sabtu (6/7/19) lalu.

Afred mengaku, berdasarkan registrasi kasus di KPK, maka selanjutnya KPK akan menindaklanjutinya sesuai agenda KPK.

“KPK mengatakan akan segera menindaklanjuti laporan yang sudah kita sampaikan itu,” pungkasnya. (sel/sel)

KOMENTAR ANDA?

Silakan masukkan komentar Anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini