sergap.id, BETUN – Senyaman apa pun kau berada di tempat orang, tidak akan bisa menggantikan kehangatan rumahmu sendiri. Seberapa pun jauhnya kau pergi, rumahmu akan selalu memanggilmu pulang.
Begitulah kata Herman Seran, putra asal Kabupaten Malaka, buah kasih dari bapak Thomas Klau Ulu Manek dan mama Theresia Bano Bui dari Maktihan – Naas.
Sebab, menurut pria yang kini menjabat sebagai Direktur Eksekutif PT Batutua Kharisma Permai (Jakarta) dan Manager Pemberdayaan Masyarakat Proyek Tembaga Wetar (Maluku) itu, rumah adalah api yang mengobarkan jiwa, dan nafas yang menyambung nyawa.
“Karena itu, perjalanan kembali ke rumah adalah perjalanan pulang menuju sumber kehidupan. Ia menjadi momen yang paling indah dan dirindukan,” ucapnya saat bincang-bincang dengan SERGAP, akhir pekan lalu.
Kini ia telah kembali untuk membangun kampung halamannya. Suka duka sejak kecil hingga karirnya ia beberkan untuk memotivasi khalayak banyak.
Herman sendiri adalah anak petani yang menyelesaikan pendidikan dasarnya di SDK Wetulan. Ia kemudian melanjutkan sekolah di SMP St. Xaverius, Kefamenanu, ibukota Kabupaten Timor Tengah Utara.
Berkenalan dengan orang kota dan belajar di kota menyadarkan Herman bahwa ternyata masih ada yang lebih maju dari dirinya, juga kampung halamannya. Ini yang memotivasinya untuk selalu giat belajar meraih juara.
“Saat itu (1988) saya lulus dengan ranking 4 (1988). Setelah itu saya lanjut sekolah di Seminari Lalian. Disini saya berkesempatan mengenyam pendidikan berkualitas di jurusan biologi di bawah bimbingan Romo Emanuel Hane (Preases), Romo Benyamin Seran (Perfek), dan Romo Vinsen Naben (Pembimbing). Saya lulus dengan juara kelas pada tahun 1991, tetapi karena tidak cocok jadi imam, saya ditolak menjadi frater. Saya sempat luntang-lantung di Besikama tanpa tahu apa yang harus dilakukan. Ternyata lulus dengan ranking baik dari sekolah berkualitas tidak menjamin kita mandiri dalam hidup,” ungkapnya.
Selepas dari Seminari, Herman merantau ke Timor Leste dan bekerja sebagai buruh projek jalan raya.
“Akhirnya, dengan restu orang tua, Mei 1992 saya berangkat ke Yogyakarta untuk melanjutkan kuliah. Saya gagal masuk sekolah negeri, tetapi dibantu oleh beberapa senior saya, saya bisa masuk gelombang khusus di Jurusan Teknik Geologi UPN Yogyakarta. Orang-orang yang berjasa itu adalah Heri Zadrak Kota, Noni Banunaek, dan Gregorius Goris Klau,” bebernya.
Setelah masuk kuliah, Herman kembali terbentur masalah biaya. Kiriman orang tuanya ternyata tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan sekolah dan hidupnya. Karena itu, sambil kuliah dia bekerja seraya terus meminta pertolongan Tuhan agar bisa keluar dari kesulitannya.
Bernar saja! Permohonannya itu ternyata diamini Yang Maha Kuasa. Buktinya, tahun 1997, Herman tiba-tiba terpilih sebagai mahasiswa berprestasi dan diberi kesempatan untuk melakukan on the job training di Freeport Indonesia. Hasilnya, skripsinya bisa diselesaikan tepat waktu dan ia dinyatakan lulus dengan predikat sangat memuaskan.
“Saya lulus 1998, saat itu industri pertambangan sedang lesu karena krisis ekonomi. Tapi saat itu saya malah beruntung diterima bekerja sebagai Trainee Mine Geologist mulai Januari 1999. Dari kerja inilah saya bisa mengongkosi adik-adik saya yang antri kuliah,” ucapnya.
Namun beberapa waktu kemudian tambang tempatnya bekerja ditutup. Herman lantas menjadi pengusaha angkot yang juga akhirnya gagal. Namun di tahun 2002, Herman diterima sebagai CPNS. Ia lulus melalui formasi Teknik Geologi yang pada waktu itu hanya 2 orang yang melamar.
“Berkat predikat PNS ini, saya kemudian diterima sebagai penerima beasiswa Australian Awards tahun 2004 dan berangkat kuliah gratis ke Australia. Karena merasa Pemerintah Kabupaten berjasa, saya meminta ijin untuk kuliah, tetapi saya di suruh memilih: kuliah atau kerja. Saya lantas memilih kuliah dan sekali lagi saya banyak dibantu oleh beberapa senior saya, yakni Gregorius Klau, Alex Seran, Erny Ganggas, Josefina Manek, Albertus Bria, dan banyak lagi,” paparnya.
Ternyata keputusan memilih kuliah menguntungkannya, karena sambil kuliah dia bisa bekerja part time di perusahaannya di Australia Barat.
“Hasilnya, saya pulang bisa beli mobil buntut dan beli tanah rumah di Kupang tanpa meninggalkan gelar Masters of Mineral Economics. Saat kuliah saya bergabung dengan orang dengan latar belakang profesi, budaya dan negara berbeda memberi saya bekal yang luar biasa untuk kembali ke Indonesia dan mendapat posisi sebagai manager di perusahaan penanaman modal asing,” katanya.
“Kemampuan komunikasi dan perspektif yang luas bekal dari Australia, membuat saya mampu mendapatkan ijin bagi perusahaan tanpa menyogok sepeser pun walau mangkrak beberapa tahun. Kesuksesan itu menghantar saya menjadi direktur perusahaan asing selama 5 tahun berturut-turut. Ketika saya ingin berhenti, saya malah ditawari pensiun dini. Per Juni 2017 saya pensiun sebagai direktur eksekutif dan berhenti sebagai direktur bulan Februari 2018,” imbuhnya.
“Saat ini saya merintis usaha dengan mengoptimalkan potensi dan masyarakat setempat dengan prinsip melibatkan bukan melibas. Karena saya percaya, anugerah yang cuma-cuma harus dibagikan secara cuma-cuma. Demikian pula, pilihan terlibat dalam politik dari gagasan hingga politik praktis hanya ingin berbagi syukur, tidak untuk mencari rejeki. Saya yakin, seapes-apesnya hidup saya, tak mungkin lebih buruk dari hari kemarin. Toh akhirnya, saya hanya butuh tanah 2×1 meter dan kiranya lebih banyak orang yang menyesali kematian saya daripadi mensyukuri kepergian saya,” katanya.
“Karena itu, setiap pengalaman adalah anugerah, entah itu menyenangkan atau menyusahkan. Setiap orang dan interaksi adalah cara Tuhan menuntun kita ke tujuan yang telah disiapkan kepada kita sejak dunia dijadikan. Saya membuka diri untuk dipakai Tuhan menjadi Anggota DPR RI, gagal dalam seleksi atau pemilihan biarlah menjadi urusan Tuhan. I do my best, let God do the rest,” tutupnya. (advertorial)