sergap.id, WOW – Qatar menjadi pemain kunci, baik secara regional maupun global, dalam beberapa tahun belakangan, ditandai antara lain dengan keberhasilan mereka menjadi tuan rumah Piala Dunia 2022.
Di luar itu, stasiun televisi Al-Jazeera, yang dimiliki pemerintah, memantapkan diri sebagai salah satu media internasional terkemuka.
Di bidang politik, Qatar berupaya menjadi sponsor utama perundingan damai pihak-pihak yang bertikai di Afghanistan.
Kondisi ini jelas berbeda beberapa puluh tahun lalu, di mana Qatar ketika itu adalah salah satu kawasan miskin di Teluk.
Beberapa dekade lalu, Qatar tak lebih dari daerah nelayan yang masuk protektorat Inggris. Negara ini merdeka pada 1971 (kini berusia 46 tahun) dan tak lama kemudian menemukan salah satu cadangan gas alam cair (LNG) terbesar di dunia, nomor tiga setelah Rusia dan Iran.
Dengan cadangan LNG mencapai 900 triliun kaki kubik, Qatar menjadi eksportir LNG terbesar di dunia.
Penerimaan dari minyak dan gas membuat pendapatan per kapita rata-rata negara ini mencapai lebih dari US$100.000, jauh melampaui Amerika Serikat atau Inggris.
Penerimaan tersebut memungkinkan pemerintah menggratiskan biaya pendidikan, kesehatan, air dan listrik. Tersedia bantuan perumahan untuk rakyat dan setiap warga dijamin mendapatkan pendidikan.
Dalam periode lima tahun ini, Qatar mengeluarkan dana £80 miliar untuk membangun prasarana umum.
Pendapatan yang melimpah juga memungkinkan pemerintah untuk melakukan ekspansi bisnis dan investasi di luar negeri.
Di Inggris, Qatar memiliki saham kepemilihan Shard di London, salah satu gedung tertinggi di Eropa dan toko serba ada Harrods. Tak hanya itu, Qatar juga memiliki kawasan bekas perkampungan atlet Olimpiade London, blok apartemen mewah di Hyde Park dan sebagian kawasan keuangan di Canary Wharf.
Namun, perubahan dramatis juga memiliki sisi-sisi lain.
“Kami menjadi urban … Kehidupan sosial dan ekonomi kami berubah. Banyak keluarga yang terpisah dan budaya komsumtif makin menonjol,” kata Dr Kaltham Al Ghanim kepada wartawan BBC Matthew Teller.
Perubahan ini setidaknya terasa di Doha yang tak ubahnya mirip seperti kawasan pembangunan. Bangunan lama dirobohkan untuk digantikan dengan bangunan baru.
Ditambah dengan kemacetan lalu lintas, bisa dipahami jika warga kota menjadi stres dan makin tidak sabar.
Menurut media setempat, sekitar 40% perkawinan di Qatar berakhir dengan perceraian. Lebih dari dua pertiga warga, dewasa dan anak-anak, mengalami kegemukan.
Sejumlah kalangan juga mengkhawatirkan kesenjangan generasi karena sekarang hampir semua anak dibesarkan oleh pengasuh anak dari Indonesia, Filipina, atau Nepal.
Kedekatan hubungan antar anggota keluarga yang begitu kental pada era 1960-an kini seakan menjadi barang langka.
“Sangat menyedihkan bahwa kedekatan keluarga makin lama makin hilang,” kata Umm Khalaf, warga Doha berusia 60 tahun.
Warga juga merasa perhatian yang begitu besar dari masyarakat internasional terhadap Qatar -terutama setelah Qatar diputuskan menjadi tuan rumah Piala Dunia 2022- membuat orang-orang merasa khawatir.
“Kami, orang-orang di Qatar merasa takut,” kata Mariam Dahrouj, lulusan jurusan jurnalisme.
“Tiba-tiba saja dunia sepertinya ingin melihat kami. Kami adalah komunitas yang tertutup dan mereka ingi datang dengan membawa masuk perbedaan mereka. Bagaimana kami akan mempertahankan nilai-nilai kami?” katanya.
Sementara Indonesia yang merdeka sejak tahun 1945 (17 Agustus 2017 berusia 72 tahun), hingga kini masih dibalut kemiskinan dan praktek korupsi terjadi dimana-mana. (BBC)