sergap.id, BAJAWA – Kasus pembunuhan terhadap Kepala Desa Warupele 1, Bonifasius Ghae (57), pada Kamis (22/5/25) lalu, diduga telah direncanakan oleh pelaku Nikolaus Ruba (58). Karena itu polisi dituntut bekerja profesional, transparan, dan tanpa kompromi terhadap kebenaran substantif atau substantive truth.

Gregorius Upi Dheo, S.H., M.H, kuasa hukum keluarga korban, menjelaskan, sejak awal pelaku membawa senjata tajam ke tempat kejadian perkara, dan sempat mengancam saksi Kepala Dusun, sebelum akhirnya menikam almarhum secara berulang.

Ancaman terhadap Kepala Dusun itu disertai gestur kekerasan, dan memperkuat dugaan bahwa pelaku sudah dalam kondisi siap dan berniat untuk menyakiti siapa pun yang menghalangi kehendaknya.

“Penikaman dilakukan secara brutal, berulang kali, bahkan saat korban sudah jatuh ke tanah. Aksi ini sama sekali tidak menggambarkan tindakan spontan atau pembelaan diri, melainkan mencerminkan kehendak aktif untuk menghabisi nyawa (korban)”, ujar Greg dalam keterangan tertulisnya kepada SERGAP, Jumat (6/6/25).

Menurut dia, pelaku diduga sempat menyembunyikan barang bukti utama, dan menyerahkan pisau yang berbeda ketika ditangkap, dan barang bukti asli baru ditemukan setelah diinterogasi polisi.

“Fakta ini memperkuat dugaan adanya kesadaran penuh dan upaya manipulatif setelah peristiwa”, tegasnya.

Pasca kejadian pembunuhan, lanjut Greg, pelaku tidak panik, tetap berada di tempat, bahkan sempat melakukan pembenaran di media sosial.

“Ini semakin menguatkan adanya rangkaian motif dan kesadaran penuh atas tindakannya”, ungkapnya.

Greg mengatakan, korban adalah Kepala Desa yang sedang menjalankan tugas negara.

“Patut dipahami publik bahwa Kepala Desa adalah pejabat negara yang berada langsung di bawah garis komando Presiden Republik Indonesia. Maka ketika seorang Kepala Desa dibunuh dalam pelaksanaan tugasnya, itu adalah bentuk serangan terhadap struktur negara, dan menjadi soal nasional, bukan hanya local”, jelasnya.

Berdasarkan fakta-fakta tersebut, Greg menuntut pengembangan kasus dan penerapan pasal terhadap kasus ini harus proporsional.

“Kami mendesak agar penyidik mempertimbangkan penerapan Pasal 338 dan/atau 340 KUHP, bukan semata-mata Pasal 351 ayat (3) KUHP. Fakta-fakta di lapangan jelas menunjukkan unsur niat dan kemungkinan perencanaan”, tegasnya.

Ia juga meminta agar Polres Ngada mengambil alih penanganan kasus ini dari Polsek Aimere. Pertimbangannya adalah, pertama, bobot perkara menyangkut hilangnya nyawa seorang pejabat negara. Kedua, kepentingan akuntabilitas institusional, dan Ketiga, perluasan wilayah penyidikan yang melibatkan lebih banyak saksi dan barang bukti, serta untuk menjamin objektivitas dan independensi penegakan hukum.

“Kami mendorong agar dilakukan ekspose atau gelar perkara terbuka oleh Polres Ngada dan/atau Polda NTT, sebagai bentuk komitmen transparansi kepada publik”, pintanya.

Greg pun mendesak polisi melakukan penggalian mens rea dan dugaan rangkaian ancaman sebelumnya.

“Kami meminta agar penyidik secara aktif menelusuri motif-motif terdahulu, komunikasi digital pelaku, dan riwayat ketegangan sosial antara pelaku dan pemerintah desa. Ini sangat penting untuk memastikan bahwa pasal yang diterapkan sejalan dengan realitas hukum, bukan semata prosedur administrative”, pintanya.

Greg menambahkan, pihaknya tidak sedang menuntut penghukuman tanpa dasar. Tapi menuntut keadilan yang setimpal. Sebab yang dibunuh adalah seorang Kepala Desa, pejabat negara yang mengemban mandat Presiden. Jika aparat tidak serius menangani ini, maka yang mereka abaikan bukan hanya korban, tetapi kepercayaan rakyat terhadap sistem hukum dan integritas pemerintahan itu sendiri.

“Kami bersama keluarga almarhum dan masyarakat luas, akan terus mengawal kasus ini hingga tuntas, hingga kebenaran hukum yang sebenarnya ditegakkan”, tutupnya. (sp/red)