
DI salah satu ujung Timur Indonesia, di mana laut biru bersih memeluk gugusan karst dan hutan tropis, sebuah kisah kontradiksi pembangunan sedang berlangsung. Namanya Raja Ampat. Bagi dunia, ini adalah ikon keindahan alam dan megabiodiversitas; bagi negeri ini, semestinya menjadi simbol komitmen pada konservasi. Namun kini, mimpi-mimpi itu perlahan ditambang. Pulau Kawe dan Pulau Gag, dua pulau kecil yang berada dalam lanskap Raja Ampat, mulai kehilangan ketenangannya akibat derap tambang nikel.
Dalihnya adalah pembangunan nasional. Pemerintah pusat, melalui Kementerian ESDM, memberikan Izin Usaha Pertambangan (IUP) kepada PT Gag Nike adalah anak usaha PT Aneka Tambang Tbk (Antam) untuk menambang nikel di Pulau Gag. Padahal sebagian besar wilayah ini sebelumnya telah dicadangkan sebagai kawasan konservasi dan wilayah adat masyarakat Kawe. Warga telah menyuarakan penolakan sejak lama, bahkan sebelum perusahaan kembali beroperasi pasca-pembekuan izin sebelumnya. Tetapi, siapa yang bisa bersaing dengan narasi “kebutuhan strategis nasional”?
Hilirisasi nikel memang menjadi proyek unggulan negara. Produk turunan nikel adalah bahan baku baterai kendaraan listri yang dianggap kunci menuju masa depan hijau. Namun benarkah kita sedang membangun ekonomi hijau? Atau justru sedang menciptakan luka ekologis baru atas nama transisi energi?
Greenpeace Indonesia pada Mei 2024 merilis laporan visual dan peta konsesi tambang yang menggambarkan hampir seluruh daratan Pulau Kawe telah diberikan izin eksplorasi dan eksploitasi nikel. Kampanye #SaveRajaAmpat pun menggema luas di media sosial, menandai perlawanan digital terhadap ekspansi tambang di kawasan konservasi laut dan pesisir ini.
Pernyataan publik terkait proyek tambang di Raja Ampat sebelumnya juga pernah disampaikan oleh Bahlil Lahadalia, saat masih menjabat sebagai Menteri Investasi atau Kepala BKPM. Ia menyebut bahwa aktivitas tambang dijalankan dengan pendekatan yang memperhatikan aspek lingkungan dan memberdayakan masyarakat lokal. Kini ia menjabat sebagai Menteri ESDM lembaga pemberi izin itu sendiri. Maka, publik tentu menaruh harapan dan kecurigaan sekaligus, akankah prinsip kehati-hatian ditegakkan ataukah izin tetap mengalir?
Penelitian oleh Universitas Papua (2021) dan studi WALHI Papua Barat (2022) menyebutkan bahwa lemahnya tata kelola pertambangan di wilayah ini ditandai oleh minimnya partisipasi masyarakat adat, rendahnya transparansi dalam proses perizinan, serta konflik tenurial yang tidak diselesaikan secara adil. Dalam konteks Raja Ampat, semua gejala ini sedang berulang.
Lebih jauh, argumentasi bahwa penambangan nikel merupakan jalan keluar untuk Indonesia menjadi pemain penting dalam industri global baterai harus dibaca secara jernih. Betul bahwa permintaan nikel melonjak seiring transisi energi dunia. Namun model hilirisasi kita sejauh ini lebih banyak menguntungkan investor besar ketimbang memperkuat struktur ekonomi lokal. Jika korporasi tambang mendapat karpet merah, sementara masyarakat hanya mendapat janji kerja dan kompensasi yang tidak sepadan, maka pembangunan ini tak ubahnya kolonialisme baru—berwajah modern.
Raja Ampat adalah ujian moral dan politik bagi pemerintah. Apakah kita benar-benar ingin memimpin dalam transisi energi berkeadilan? Ataukah kita hanya akan menjadi eksportir bahan mentah lain yang rela kehilangan hutan, laut, dan warisan leluhur untuk sesaat keuntungan?
Jika Raja Ampat gagal diselamatkan, maka bukan hanya satu kawasan hilang, melainkan juga kepercayaan publik bahwa negara berpihak pada masa depan ekologis. Perlu ada jeda kebijakan. Sebelum semua izin dikeluarkan, sebelum semua konsesi dilanjutkan, negara wajib membuka ruang evaluasi publik yang melibatkan akademisi, masyarakat adat, organisasi lingkungan, dan otoritas adat Papua. Tanpa itu, maka klaim pemerintah soal pembangunan hijau hanya akan tinggal jargon yang kehilangan akar.
Penulis: Muhammad Fikri AlHakim / Mahasiswa Pascasarjana UNIMMA, Pemerhati kebijakan lingkungan dan pelaku usaha hasil hutan berkelanjutan, tinggal di Batang, Jawa Tengah.