KETIKA kontribusi sapi lokal menyusut dari 60 persen menjadi hanya 48 persen dalam lima tahun terakhir, itu bukan hanya penurunan angka—melainkan indikator runtuhnya kemandirian sistem peternakan nasional. Pernyataan Nanang Purus Subendro, Dirut PT Indo Prima Beef dan Ketua Umum PPSKI, bukan alarm biasa—ini adalah panggilan darurat.

Negara agraris yang dianugerahi 16 juta hektare padang penggembalaan dan puluhan juta tenaga kerja justru menyerah pada kenyamanan impor sapi potong. Ketergantungan ini bukan solusi jangka panjang, melainkan racun laten yang mengikis kemampuan produksi dalam negeri.

Masalah bukan hanya pada impor, tapi lebih parah: regenerasi peternak Indonesia nyaris berhenti total. Lebih dari 56% peternak berusia di atas 50 tahun. Profesi peternak dianggap ‘ketinggalan zaman’, kotor, dan miskin masa depan. Ini bukan kesalahan anak muda, ini kegagalan negara menciptakan ekosistem yang menjanjikan.

  • Kritik Tajam: Titik Kerusakan Sistemik

  1. Negara Gagal Menjadi Pelindung Pasar Lokal

Pemerintah secara sadar membunuh pasar peternakan lokal dengan terus membuka keran impor daging beku dari Australia dan negara lain. Harga daging impor lebih murah karena disubsidi di negara asal. Bagaimana peternak lokal bisa bersaing kalau negara sendiri tidak berpihak?

  1. Insentif Salah Sasaran, Peternak Dipersulit

KUR Peternakan dan berbagai skema bantuan lebih sering ‘menjebak’ peternak kecil ke dalam birokrasi yang lambat dan penuh syarat. Sementara itu, konglomerasi industri peternakan justru mendapat fasilitas pinjaman jumbo, pajak ringan, dan jaminan pasar. Kesenjangan ini sistemik dan mematikan.

  1. Pendidikan Peternakan Tanpa Visi Bisnis

Ribuan lulusan sekolah dan fakultas peternakan tiap tahun, tetapi hanya sedikit yang kembali ke kandang. Pendidikan terlalu teoritis, tidak membumi, dan gagal mengubah mindset peternakan sebagai bisnis berbasis teknologi dan data, bukan pekerjaan warisan keluarga.

  1. Peternakan Tak Dianggap Sektor Strategis

Padahal di negara seperti Brasil, Australia, atau Thailand, peternakan menjadi andalan ekspor, sumber tenaga kerja, dan cadangan pangan nasional. Di Indonesia, peternakan hanya disinggung sesekali dalam RPJMN, tanpa roadmap jangka panjang dan pendanaan signifikan.

  • Solusi Konkret: Enam Aksi yang Bisa Dieksekusi Sekarang Juga

  1. Batasi Impor Secara Bertahap dengan Skema Kuota Adaptif

Kementerian Perdagangan dan Pertanian harus menyusun peta jalan (roadmap) penghentian impor bertahap. Kuota daging impor hanya dibuka jika dan hanya jika pasokan lokal terbukti defisit. Buat sistem digitalisasi stok nasional yang transparan dan diaudit publik.

  1. Subsidi Langsung Produksi, Bukan Kredit Berbunga

Hapus logika “utang dulu baru usaha.” Peternak butuh subsidi pakan, bibit unggul, dan kandang standar. Model ideal: setiap 10 peternak di satu desa difasilitasi 1 unit pengolahan limbah dan 1 konsultan teknis lapangan.

  1. Bangun ‘Peternakan Startup Center’ di Setiap Provinsi

Fasilitas ini menggabungkan fungsi pelatihan, inkubasi bisnis, dan akses pasar. Anak muda direkrut, digaji dasar, diajari teknologi ternak modern (IoT, AI, blockchain supply chain) lalu dimodali untuk menjalankan peternakan mikro. Target: lahir 1.000 peternak muda digital per tahun.

  1. Teknologisasi Peternakan: Revolusi Industri 4.0 di Kandang

Kembangkan platform digital nasional berbasis big data untuk monitoring populasi, distribusi, dan produktivitas ternak. Gunakan sensor suhu, aplikasi pengelolaan pakan, dan pelaporan produksi otomatis. Pemerintah siapkan starter kit teknologi untuk peternak muda secara gratis.

  1. Kampanye Nasional: “Peternakan Itu Cuan, Cerdas, dan Canggih”

Rebranding profesi peternak melalui media sosial, YouTube, dan TikTok. Libatkan influencer, kreator konten, dan tokoh muda. Buat serial web realitas peternakan sukses. Gandeng Netflix atau layanan streaming untuk dokumenter “Peternak Milenial.”

  1. Sinergi Perguruan Tinggi – Swasta – Daerah: Tiga Pilar Kemandirian

Ubahlah fakultas peternakan menjadi pusat inovasi agritech. Swasta berperan sebagai investor dan pembeli hasil. Pemda wajib menyediakan lahan dan insentif fiskal. Model triple-helix ini akan melahirkan bisnis skala kecil–menengah dengan daya saing global.

  • Peternakan Bukan Urusan Sapi—Ini Soal Masa Depan Bangsa

Bertahan dengan skema impor adalah kemalasan kebijakan yang menunda bencana. Bila Indonesia ingin berdaulat pangan, peternakan harus direvolusi—bukan dipertahankan dalam bentuk usang.

Kita butuh kepemimpinan berani yang mau menghentikan ilusi impor dan memilih jalur lebih sulit: membangun dari kandang rakyat. Peternakan bukan urusan sapi semata. Ini soal ekonomi pedesaan, kedaulatan nasional, dan keberlanjutan generasi.

Saatnya Indonesia tidak hanya konsumsi daging—tapi juga memproduksi martabat. (Penulis: Ricky Ekaputra Foeh., MM/Staf Pengajar Administrasi Bisnis UNDANA)

Komentar Sesuai Topik Di Atas