Frid Dare

WACANA tentang Politik tidak akan pernah habis didiskusikan selagi negara kita ini masih berdiri tegak sebagai negara otonom. Indonesia sebagai negara yang menganut sistem demokrasi tentunya membuka ruang publik bagi siapa saja untuk mencanagkan dirinya sebagai wakil rakyat, yang secara fungsional mewakili kepentingan rakyat melalui pemilihan umum, lewat partai atau penunjukan karena undang-undang.

Dalam hal ini rakyat sebagai public. Dalam pengertian public interst, setiap orang berhak untuk ikut serta dalam penyelenggaraan pemerintah, ikut menyalurkan kehendak public, serta ikut berbincang untuk kepentingan umum dalam sistem demokrasi bangsa kita ini. Ini berkaitan dengan sistem politik demokrasi di negara kita yang sebentar lagi akan melangsungkan pelaksanaan pemungutan suara serentak September 2020 dengan total daereh yang hampir pasti terlibat sebanyak 270 daerah dengan rincian 9 provinsi, 224 Kabupaten, dan 37 kota. Tentunya mempunyai banyak perencanaan sudah dilangsungkan dan dijalankan, baik itu oleh Komisi Pemilihan Umum itu sendiri, maupun calon kepala daerah  dan kita sebagai rakyat yang menjadi kunci pesta demokrasi.

Demokrasi itu sendiri berasal dari bahasa Yunani, “Demos= rakyat, cratein/kratos yang berarti = kekuasaan/ berkuasa. Jadi demokrasi berarti rakyat yang berkuasa atau rakyat yang memerintah atau pemerintahan oleh rakyat, yaitu dengan perantaraan wakil-wakilnya yang dipilih secara langsung.

Berbeda dengan demokrasi dalam pengertian kuno menurut pendapat Plato dan Aristoteles di mana  demokrasi dimaksud ialah “Demis” yaitu  hanya segolong saja dari penduduk negara yaitu “mereka tergolong sebagai orang-orang merdeka”. Sedangkan orang-orang yang menjadi budak dianggap tidak mempunyai hak apapun, bahkan dipandang sebagai benda mati yang dapat diperjualbelikan.

Dalam pengertian teoritisnya terdapat 2 pengertian demokrasi, yakni Pertama formil yaitu demokrasi yang sekedar mengandung pengakuan bahwa faktor yang menentukan alam negara ialah kehendak rakyat / sebagian besar dari rakyat ( Volunte generale- dari Rousseeau ), akan tetapi, tidak ada suatu pembatasan untuk menjamin kemerdekaan seseorang.

Kedua Materiil, ialah bahwa inti dari demokrasi justru terletak dalam jaminan akan hak-hak yang berdasarkan pada pengertian kemerdekaan tiap-tiap orang yang menjadi warga negara ( sesuai dengan Perikles.

Sedangkan pengertian rakyat itu sendiri dalam Ensiklopedi Nasional Indonesia, Volume 14, 1997, hlm 68 dikutip pengertian “rakyat” yaitu menurut teori kenegaraan Yunani (kuno), rakyat atau penduduk secara politis dan hukum di bagi menjadi tiga kelas pokok.

Kelas pokok pertama, para budak merupakan kelas masyarakat terendah, penduduk kedua ialah penduduk asing atau meties, kelas ketiga merupakan warga atau rakyat yang merupakan anggota “negara kota” dan berhak ambil bagian dalam kehidupan politik atau jabatan dalam pemerintahan. sementara kelas pertama dan kelas kedua tidak mempunyai hak politik.

Bertolak dari pengertian ini, muncul sebuah pertanyaan, sudahkah kita menjalankan sistem demokrasi? Menggunakan hak dan kewajiban kita secara bertanggungjawab sebagai rakyat? Atau malah kita demham gaya berpolitik  kenegaraan Yunani (kuno) yang menempatkan status kelas pokok pertama, yaitu para budak merupakan kelas masyarakat terendah ?

Semisalnya masih terikat pada kompensasi berupa uang atau barang dengan mengatakan “saya akan pilih dia asal dia memberikan jaminan”. Maka, sebenarnya kita masih menjadi budak dari proses demokrasi.

Dalam hal ini hak dan kebebasan kita seutuhnya di gade dengan iming-iming berupa nilai nominal maupun finansial.

Sehingga kita masih menjadi budak politik yang memilih bukan karena kehendak suara hati, melainkan karena kehendak keinginan Dengan demikian pemimpin yang kita pilih atau dihasilkan ditilik dari banyaknya uang yang diberikan, bukan dari kualitas yang dimiliki oleh pemimin tersebut.

Jika kita masih hidup dalam pengertian lama ini, maka hemat saya sebenarnya kita “belum berhasil” menjadikan suara kita sebagai suara malaikat yang menjalankan demokrasi itu sendiri. Sehingga kita masih dikategorisasikan sebagai orang-orang yang menjadi budak dari uang yang dianggap tidak mempunyai hak apapun, bahkan dipandang sebagai benda mati yang dapat diperjualbelikan.

Jika hati kita masih terikat pada kompensasi maka sebenarnya kita masih menjadi budak dari proses demokrasi itu sendiri. Karena kita masih menaruh kekuasaan di tangan sejumlah orang-orang yang di pertuan atau orang yang mempunyai kedudukan yang penting dalam masyarakat karena keturunan bangsawan dalam hal ini mereka yang mempunya lebel “berduit” yang tidak tergolong sebagai budak, yang mampu membeli suara hati kita yang adalah suara malaikat.

Kalau hal ini masih terjadi di zaman ini, sebenarnya demokrasi kita masih macet di zaman ini. Kita belum masuk pada ranah demokrasi yang baik dan bertanggung jawab. Dengan demikian gaya berpolitik kita masih sangan rendah kualitasnya daripada zaman sebelumnya.

Pada pemilihan umum serentak yang akan kita jalankan September 2020 ini hendaknya menjadi kesempatan bagi kita untuk mawas diri. Sehingga kita yang adalah anak bangsa menjadi kunci dalam Politik dengan sistem demokrasi yang memperlakukan suara kita sebagai suara malaikat yang mampu memberikan hak istimewahnya secara baik dan bertanggungjawab.

Sehingga kita tergolong sebagai orang-orang merdeka yang mempunyai hak-hak  berdasarkan pada pengertian kemerdekaan tiap-tiap orang, bukan berdasarkan pada iming-iming berupa uang atau pun dalam bentuk barang lainnya.

Oleh karena itu, jadilah diri sendiri yang mampu bertanggungjawab terhadap suara hati kita yang merupakan suara malaikat. Agar kita dapat memilih pemimpin yang mampu mengayomi masyarakat yang mempunyai spiritual capital yang seimbang dalam pembangunan ( Nafsu, Nalar, Naluri, dan Nurani). Sehingga kita tidak hanya memilih begitu saja wakil rakyat, tetapi wakil rakyat yang mampu untuk mengukur maju-mundurnya, baik buruknya proses pembangunan setelah mereka terpilih nanti.

Dengan demikian kita mampu mengambil bagian dalam proses demokrasi yang tepat dan bertanggungjawab sebagai rakyat yang mempunyai hak suara. Jika demikian maka kita mampu menciptakan negara yang pancasilais sesuai sila ke-4 “kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan”. Ini demi terciptanya apa yang Aristoteles katakan yaitu kebaikan bersama. ( Frid Dare/Mahasiswa STFK-Ledalero Unit Mikhael)