Kuasa Hukum Warga Desa Labolewa, Kecamatan Aesesa, Kabupaten Nagekeo, Petrus Selestinus
Kuasa Hukum Warga Desa Labolewa, Petrus Selestinus saat membuat Laporan Polisi di Polres Nagekeo, 29 Mei 2022.

sergap.id, JAKARTA – Presiden Jokowi memberi peringatan keras kepada jajaran pemerintah pusat hingga daerah, agar tidak membiarkan sengketa lahan berlarut-larut. Karena itu, pemerintah harus punya solusi cepat agar tidak menghambat investasi sekaligus bisa memberikan jaminan hukum kepada pemilik lahan.

Peringatan ini disampaikan Presiden saat meresmikan Pembukaan Pertemuan Puncak Gugus Tugas Reformasi Agraria (GTRA Summit) 2022 di Wakatobi, Sulawesi Tenggara, yang dihadiri Mensesneg, Menteri ATR, Kepala BPN, Menteri LH Kehutanan, Menteri Perhubungan, Mendagri, dan lain-lain.

Menurut Presiden, jika sengketa lahan dibiarkan, maka sengketa tersebut akan menghambat investasi, serta tidak memberi jaminan hukum bagi masyarakat pemilik lahan. Seperti yang terjadi di Kabupaten Nagekeo terkait ganti untung lahan pembangunan Waduk Lambo senilai Rp 250 miliar.

Kuasa Hukum Warga Desa Labolewa, Kecamatan Aesesa, Kabupaten Nagekeo, Petrus Selestinus, mengatakan, dari total Rp 250 miliar, sebagiannya telah dibayarkan kepada masyarakat. Namun pembayaran ganti untung untuk sebagian warga Labolewa tidak tepat sasaran atau salah bayar kepada orang yang bukan pemilik lahan. Korbannya adalah Wihelmus Napa dan kawan-kawan yang berstatus sebagai pemilik tanah di sebagian lahan proyek Waduk Lambo.

Karena itu, Napa cs melalui kuasa hukumnya telah membuat Laporan Polisi (LP) di Polres Nagekeo pada tanggal 29 Mei 2022.

“Wihelmus Napa dan kawan-kawan ini adalah korban salah urus Kepala Kantor Pertanahan Nagekeo dan Kepala Desa Labolewa. Laporan polisi dan Permohonan Perlindungan Hukum ini merupakan langkah tepat, karena Kapolres Nagekeo dipandang lebih arif dan bijaksana serta bisa bersikap netaral alias tidak ada conflict of interst, baik terhadap para pihak maupun terhadap obyek sengketa”, ujar Selestinus.

Selain salah bayar, kata Selestinus, pembayaran sisa dari Rp 250 miliar masih terkatung-katung.

“Apapun alasannya, keterlambatan pembayaran ini jelas merugikan masyarakat, apalagi dibungkus dengan rekayasa alasan yang diduga kuat terjadi penyimpangan pelaksanaan (pembayaran) atau korupsi. Kepala Kantor Pertanahan Nagekeo dan Kepala Desa (Kades) Labolewa merupakan ujung tombak pelaksanaan pembayaran ganti untung ini. Patut diduga (keduanya) sedang memelihara konflik antar warga pemilik tanah dengan para penggarap atau pihak lain, sehingga membuka peluang untuk terjadinya KKN sekaligus menghambat jalannya pembangunan Waduk Lambo”, tegas Selestinus.

Kuasa hukum yang juga Koordinator TPDI dan Advokat Peradi ini, menjelaskan, Napa cs tidak mendapatkan nilai tambah dari apa yang disebut Ganti Untung Waduk Lambo.

“Sementara Kepala Kantor Pertanahan dan Kepala Desa Labolewa berleha-leha di hadapan warga dengan mempermainkan hak warga miskin”, bebernya.

Menurut Selestinus, ganti untung yang telah dibayarkan oleh Pemerintah Pusat, sebagiannya jatuh ke tangan penggarap tanah.  Padahal seharusnya diberikan kepada pemilik lahan.

“Beberapa warga telah meminta bantuan hukum kepada TPDI, dan untuk itu TPDI telah mengirim Surat Laporan dan Mohon Perlindungan Hukum kepada Kapolres Nagekeo untuk memproses (hukum) secara pidana terhadap dugaan keterlibatan Kepala Kantor Pertanahan Nagekeo dan Kepala Desa Labolewa.  Selain itu, TPDI juga meminta Kapolres Nagekeo untuk berperan (aktif) memediasi perselisihan antar warga Penggarap dengan Pemilik Lahan melalui mekanisme Akomodasi (Musyawarah Kekeluargaan) dan/atau Restorative Justice. Karena Kapolres Nagekeo dinilai lebih bijak, dapat bersikap netral dan presisi dalam menyelesaikan masalah ini”, paparnya.

Selestinus menambahkan, kepercayaan masyarakat korban salah urus Kepala Kantor Pertanahan Nagekeo dan Kepala Desa Labolewa, sangat menggantungkan harapan kepada Kapolres Nagekeo. Sebab Kapolres Nagekeo dinilai berprestaai dan bertangan dingin dalam menyelesaikan konflik antar Masyarakat dengan Pemda Nagekeo terkait pembebasan lahan waduk Lambo.

“Dugaan penyimpangan pelaksanan pembayaran Ganti Untung atas hak-hak Wihelmus Napa dkk, bisa dikualifikasi sebagai penggelapan dan permufakatan jahat sebagaimana dimaksud dalam UU No. 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas UU No. 31 Tahun 1999, Tentang Pemberantasan Korupsi”, tegasnya.

“Apalagi sebagian dana sudah terlanjur dibayarkan kepada orang-orang yang tidak berhak, tanpa mempertimbangkan akan munculnya konflik. Karena itu TPDI meminta Mekopolhukam, Menteri ATR dan Kepala Badan Pertanahan RI, Menteri Dalam Negeri, Kapolri, KPK dan Kejaksaan Agung untuk memonitor kinerja aparat pemerintah daerah, sebagai respons positif atas peringatan Persiden Jokowi pada tanggal 9 Juni 2022”, tutup Selstinus. (sp/sp)

KOMENTAR ANDA?

Silakan masukkan komentar Anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini