SEKILAS menengok judul tulisan di atas, sebagian besar kita sudah paham apa itu Teror. Namun, sebagian kecil dari kita yang belum mengerti secara tuntas tentang apa sebenarnya arti dari kata teror itu. Teror artinya suatu kondisi yang menakut-nakuti; bahaya yang mengancam (Bdk.KBBI).
Dalam konteks sebuah pemerintahan; gaya pemimpin yang menakut-nakuti, mengancam dan menekan masyarakat dengan pelbagai isu demi mempertahankan kursi kekuasaan merupakan bagian dari teror.
Pemimpin semacam ini bisa dibilang teroris. Apabila kita membuka memori revolusi Perancis, pikiran kita bisa disegarkan kembali terkait kekerasan yang dialami masyarakat Perancis waktu itu.
Orang Perancis pada masa itu ditakut-takuti selama kurang lebih 11 bulan lamanya. Bagi orang Perancis, masa itu merupakan sebuah fase kegelapan – yang ditandai dengan couse, masa di mana penuh kekerasan. Orang Perancis yang tidak mendukung revolusi akan dipasung dengan ‘pisau nasional’. Praktik kejahatan yang berlangsung selama 11 bulan tersebut merenggut belasan ribu hingga puluhan ribu jiwa. Masa itu juga direnteti pembunuhan (dilakukan eksekusi) beberapa tokoh terkemuka seperti salah satunya Antoine Lavosier sang bapak kimia modern.
Terlepas dari term teror dan situasi revolusi Perancis, adapun istilah yang saya ‘cubit’ dari sebuah film berjudul ‘The Nun’. Tidak heran apabila sebagian besar masyarakat awam belum menyaksikan film horor yang disutradarai oleh Corin Hardy.
Film The Nun merupakan sebuah film horor supernatural gotik Amerika. Film ini menceritakan tentang seorang biarawati muda di salah satu biara terpencil Rumania – yang mengorbankan hidupnya sendiri, juga seorang pendeta dengan masa lalu yang kelam. Agar dapat mengetahui situasi hidup dalam biara tersebut, seorang biarawati pun dikirim oleh Vatikan untuk menyelidiki secara pasti.
Secara bersama, mereka membuka rahasia-rahasia yang tidak terduga. Nah, sampai di sini saya tidak harus bertele-tele menceritakan isi film ini, namun saya mau menggambarkan wajah sosok dari pemeran film tersebut.
Film The Nun menampilkan sosok (pemeran) dengan wajah seram dan sungguh menakutkan. Atau, selain dari film itu, kita bisa membayangkan saja mayat yang bangun dari kuburnya setelah melewati tujuh hari dalam makam. Bisa juga membayangkan wajah tengkorak berdarah segar yang muncul di tengah kegelapan. Kira-kira begitu. Tentunya sangat mencekam dan menakutkan.
Era zaman revolusi industri 4.0, sebuah kabupaten terpencil di wilayah provinsi NTT – yang berbatasan langsung dengan negara Republica Demokratik Timor Leste (RDTL) – sebut saja daerah itu adalah Kabupaten Malaka – masih mempraktikkan pemerintahan dengan/dan sedang menakut-nakuti rakyatnya dengan pelbagai isu kepentingan. Praktik demokrasi di daerah ini dinilai belum sampai pada titik klimaks.
Dari pemberitaan yang beredar beberapa bulan terakhir di surat kabar cetak maupun di halaman online terkait kasus korupsi di Kabupaten Malaka, menjadi tontonan menarik dan sangat seksi di mata publik dibanding corona virus.
Praktik korupsi di kabupaten Malaka menunjukkan secara terang-benderang bahwa pemerintah kabupaten Malaka lemah dalam mengurusi ‘lambung’ masyarakat, lemah meletakkan fondasi pembangunan – dan mensejahterakan masyarakat secara merata, adil dan makmur.
-
Masyarakat Dibungkam
Pemerintahan kabupaten Malaka dengan umur yang masih belia telah melahirkan sistem-sistem penindasan dan kekerasan psikologis. Masyarakat ‘dibius’ dan ‘distir’ jauh dari lingkaran demokrasi. Gaya feodalis yang tumbuh subur berwajah ‘The Nun’ – seram – menakutkan ini mengakibatkan kebanyakan rakyat tidak mengalami kemerdekaan, keadilan, dan kesejahteraan. Pelbagai praktik kejahatan yang dibungkus itu akhirnya terkuak di mata publik. Masihkah masyarakat menaruh harapan? Atau harus beralih kepada yang lain?
Menukik lebih dalam, masyarakat kabupaten Malaka dilanda krisis keberanian. Bisa dibilang ‘terpapar’ ketakutan. Segala kepentingan dipolitisir, diperdayakan demi terpenuhinya kuota primordial. Prinsip mementingkan diri sendiri, keluarga atau kelompok terus mendominasi. Demi mencapai titik puncak kemenangan itulah dilakukan segala cara. Dalam seruan moral dilihat sebagai reaksi peyoratif – finis iustificat medium (tujuan menghalalkan cara). (Bdk. Eddy Kristiyanto – Sakramen Politik).
Masyarakat dinilai sangat subversif dan permisif dengan kondisi dilematis yang terjadi saat ini. Budaya pembiaran terhadap kekuasaan otoriter ini juga menjadi celah bagi penguasa untuk terus menikam sendi-sendi kehidupan masyarakat. Nasib masyarakat terkatung-katung dan terbelenggu dalam ketiadaan harapan.
Kapankah kemerdekaan sesungguhnya harus dirayakan? Keadilan yang diteriakkan dalam semboyan NKRI ini telah dikemanakan? Yang pasti bahwa kebebasan, kemerdekaan atau demokrasi bagi masyarakat dipanggang dan hangus di telapak pemerintahan saat ini. Transparasi tak ada. Dinasti dijunjung tinggi. Kekerasan (verbal) didesain secara masif-terstruktur.
-
Pemimpin Berwajah ‘The Nun’
Film berdurasi 96 menit yang dipertontonkan sejak tahun 2018, secara terang-terangan didikte penguasa di era tahun 2000-an. Entah, apa yang merasuki para penguasa saat ini? uang? Jabatan? Atau karena ketamakan? Masyarakat melihat – menilai – dan mengalami sendiri. Korupsi, kolusi dan nepotisme masih tajam menikam, dan terus menyusup di setiap lini kehiduapan masyarakat.
Sedikit keberhasilan yang dibuat penguasa/pemimpin bukan menjadi tolok ukur untuk ‘pukul dada’, tetapi itu merupakan bentuk kepedulian serta tanggung jawab seorang pemimpin. Justru dalam sebuah periode kepemimpinan, banyak hal yang harus dibangun – infarstruktur – SDM dan lain sebagainya.
Ada kekeliruan yang perlu ditelisik lebih jauh. Hasil pembangunan yang dibangga-banggakan pemerintah adalah bentuk kebablasan terhadap diri sendiri. Membangun jalan, mensejahterakan rakyat, membangun SDM, pertanian, dalan lain sebagainya, adalah tanggung jawab in se. Artinya, hasil pembangunan itu bukan menjadikan ‘mutiara’ untuk membanggakan diri, tetapi memang menjadi kewajiban bahwa pemerintah harus berbuat demikian (mensejahterakan masyarakatnya). Itu merupakan prinsip hukum dan eksistensi sebuah pemerintahan.
Sejatinya, biarkan masyarakat yang mengagungkan pemimpinnya, bukan pemimpin yang membangga-banggakan dirinya di hadapan masyarakat. Itu keliru dan bahkan bisa dibilang lelucon konyol.
Masyarakat tidak harus mendewa-dewakan pemimpin sejenis itu, karena secara tidak sadar, nurani keadilan, kemerdekaan telah ditelanjangi oleh perbudakan sistem dan diperkosa habis-habisan kaum elit (penguasa). Pemimpin sejenis itu sedang mempertontonkan sosok The Nun yang berwajah setan – seram dan menakutkan. Lebih dari itu, bisa diberi label teroris karena menakut-nakuti masyarakatnya dengan pelbagai tekanan dan isu yang dibangun tersistematis. Di bawah panji-panji demokrasi, masyarakat patut berteriak; wajah-wajah pemimpin kita saat ini adalah bayangan dari sosok ‘The Nun’. Salve.
- Penulis: Yosman Seran/Alumnus STFK LEDALERO.