Tersangka kasus penistaan agama Yahya Waloni (duduk kiri) mendengar penetapan hakim terkait pencabutan permohonan praperadilannya di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Jakarta, Senin (27/9/2021).
Tersangka kasus penistaan agama Yahya Waloni (duduk kiri) mendengar penetapan hakim terkait pencabutan permohonan praperadilannya di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Jakarta, Senin (27/9/2021).

sergap.id, JAKARTA – Sidang lanjutan dengan terdakwa Yahya Waloni kembali digelar, Selasa (14/12/21). Kali ini agendanya pemeriksaan ahli dan jaksa menghadirkan 2 ahli, yakni Rony, ahli ITE dari Universitas Hayam Wuruk Perbanas, dan Flora Dianti, ahli pidana dari Fakultas Hukum Universitas Indonesia (UI).

Rony mengatakan ceramah yang disampaikan Yahya Waloni telah menimbulkan kebencian SARA. Namun sebelum itu Ronny memaparkan unsur yang ada di Pasal 28 ayat 2 UU ITE.

Menurut Ronny, Yahya Waloni mengetahui acaranya disiarkan secara live streaming di YouTube, sehingga semestinya lebih berhati-hati, karena Yahya Waloni dianggap mengetahui telah ada orang yang merekam video. Dengan demikian, Rony berpendapat hal tersebut memenuhi unsur kesengajaan.

Ronny berpendapat tersebarnya video ceramah Yahya Waloni berpotensi menimbulkan kebencian. Sebab, apabila ada orang yang melaporkan perkara tersebut atau tidak terima, ini memenuhi unsur ‘menimbulkan kebencian dan terkait SARA’.

“Jadi kalau misalnya ada orang yang melaporkan perkara ini bisa dibilang orang tidak terima dengan adanya video itu, sehingga saya ingat bahwa ini menurut ahli bahasa atau agama juga ini dapat menimbulkan kebencian, permusuhan individu atau kelompok masyarakat tertentu,” kata Ronny, di PN Jaksel, Jl Ampera Raya, Jakarta Selatan.

Ronny menjelaskan, yang dimaksud unsur ‘kelompok’ artinya beberapa individu atau banyak individu. Sedangkan yang dimaksud dengan ‘berdasarkan suku, antargolongan, ras, agama’ itu adalah di mana muatan dalam video itu menyinggung apakah suku atau antargolongan atau ras atau agama. Dengan demikian, Ronny berpendapat ceramah Yahya Waloni telah menimbulkan kebencian tentang agama.

“Dalam perkara ini setelah memperhatikan keterangan dari ahli agama dan ahli bahasa saya menyimpulkan bahwa ini menyinggung video ini tentang agama,” katanya.

Sementara itu, Flora Dianti, mengatakan, berdasarkan keterangan dari ahli bahasa dan ahli agama, kasus Yahya Waloni merupakan penistaan agama.

Hal itu disampaikan Flora saat menjawab pertanyaan jaksa penuntut umum terkait ceramah Yahya Waloni yang disampaikan melalui medsos, tetapi juga didengarkan oleh penganut agama lain.

“Bahwa berkaitan penodaan agama itu yang berkompeten menyatakan adalah ahli agama dan ahli bahasa. Bahwa terhadap dengan kasus ini saya telah mendapatkan keterangan dari ahli agama dan ahli bahasa bahwa dari kasus ini memang terdapat penistaan atau penistaan terhadap tersebut. Oleh karena itu, saya menyimpulkan bahwa unsur kebencian benar terhadap suatu golongan agama,” ungkap Flora.

Dalam kasus ini, jaksa juga mempertanyakan salah satu pernyataan terdakwa Yahya Waloni dalam video viral yang mempelesetkan istilah agama lain, seperti kalimat ‘roh kudus’ menjadi ‘roh kudis’.

Menjawab pertanyaan itu, Flora menilai ada unsur kesengajaan yang dilakukan terdakwa Yahya Waloni dalam kalimat yang disampaikannya dalam ceramah tersebut.

“Bila si pelaku melakukannya dengan sengaja, dalam arti dia mengetahui bahwa saat itu unsur penghinaan atau penistaan terhadap suatu golongan tertentu, maka hal tersebut berarti memenuhi unsur kesengajaan,” kata Flora.

Sidang ini akan dilanjutkan dengan agenda pemeriksaan terdakwa pada pekan depan, Selasa (21/12/21).

Sebelumnya, Yahya Waloni didakwa terkait kasus dugaan ujaran kebencian, penodaan agama, serta kasus menyatakan perasaan permusuhan dan penghinaan terhadap golongan rakyat terkait SARA. Yahya Waloni diancam pidana 4-6 tahun penjara.

“Dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA),” kata jaksa penuntut umum (JPU) Kejari Jakarta Selatan (Kejari Jaksel) membacakan dakwaan Yahya Waloni di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Jl Ampera Raya, Jakarta Selatan, Selasa (23/11/2021).

Yahya Waloni didakwa dengan pasal alternatif, yaitu pertama, Pasal 45a ayat (2) jo Pasal 28 ayat (2) Undang-Undang No 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang No 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ancaman pidana maksimal 6 tahun penjara), atau kedua didakwa Pasal 156a KUHP (ancaman pidana maksimal 5 tahun penjara, atau Ketiga Pasal 156 KUHP (ancaman pidana maksimal 4 tahun penjara).

Kasus ini bermula ketika pada Rabu, 21 Agustus 2019, terdakwa Yahya Waloni sebagai penceramah diundang oleh DKM Masjid Jenderal Sudirman World Trade Center Jakarta untuk mengisi kegiatan ceramah dengan tema ‘nikmatnya Islam’.

Pada hari itu, jumlah anggota jemaah sekitar 700 orang, tetapi terdakwa dalam mengisi kegiatan ceramah tersebut ternyata memuat materi yang dapat menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan SARA, karena menyangkut kata-kata yang bermuatan kebencian terhadap umat Kristen sehingga materi ceramah diduga dapat menyakiti umat kristiani.

Padahal, selain didengar oleh jemaah masjid tersebut, ceramah itu ditayangkan secara langsung (live streaming) di akun media sosial yang dimiliki oleh masjid WTC, yaitu YouTube dan Facebook, sehingga ditonton khalayak ramai.

Dalam ceramahnya, jaksa mengatakan terdakwa Yahya Waloni mengeluarkan kata-kata yang bermuatan SARA terhadap umat Kristen, yaitu ‘bible Kristen itu palsu’, ‘kemudian ada ayat-ayat yang kosong, ada nomornya tapi tidak ada kalimat. Saya tulis nabinya tidak sempat menulis, lagi mudik ke Jombang, begitu. Ini harus dipertanggungjawabkan, pendeta jawab ini, kenapa ada ayat kosong, saya akan lihat ini, bukan saya yang ngomong ya’.

Serta kalimat ‘daripada ente di dalam lompat sana lompat sini sampe kemasukan ‘grgrgr’ kenapa? Kepenuhan roh kudis, eh, sori roh kudus, lapor lagi roh kudis, lapor Yahya Waloni bilang roh kudis’. Dan kalimat yang diduga menimbulkan perbencian SARA lainnya. (old/old)

1 Komentar

  1. Memang semua bahasa lisan dan bahasa tubuh oknum yang tidak beradab ini, yang masih bisa membedakan kata kudis dan kudus ini dan menyuruh lapor bahwa dia ucapkan roh kudis.

    Makanya ia harus konsekuen menerima bahwa atas permintaan tersebut, bahkan tanpa ia meminta, sudah pantas dia dilaporkan ke polisi untuk jalani proses hukum seperti oknum-oknum yg melecehkan agama lainnya.

KOMENTAR ANDA?

Silakan masukkan komentar Anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini