Sumur Bor bantuan Wens LAdi di Kampung Kadhaebo, Dusun C , Desa Ulupulu, Kecamatan Nangaroro, Kabupaten Nagekeo.

sergap.id, AEGELA – Warga Kampung Kadhaebo, Dusun C , Desa Ulupulu, Kecamatan Nangaroro, Kabupaten Nagekeo sejauh ini belum bisa menikmati air bersih secara gratis. Untuk kebutuhan sehari-hari, mereka harus beli.

Padahal di desa mereka terdapat dua buah sumur bor, satu berada di atas lahan milik Arman yang merupakan sumur bor bantuan dari Pemerintah Provinsi NTT, dan satunya lagi berada di atas lahan milik Alo Ghole yang merupakan sumur bor bantuan atas nama pribadi dari mantan Anggota DPRD Nagekeo, Wens Ladi.

Ketua RT 10, Desa Ulupulu, Raimundus Wa’i, mengatakan, tujuan awal pembangunan dua sumur bor itu adalah untuk mengatasi krisis air bersih yang dialami warga selama ini.

“Jumlah  warga disini ada 340 jiwa. Di kampung Kadhaebo ini ada dua RT, yakni RT 11 dan Rt 12,” papar Raimundus kepada SERGAP, Selasa 29 Oktober 2019.

Menurut Raimundus, pada sosialisasi awal, selain untuk air minum, keberadaan sumur bor bantuan pemerintah provinsi NTT itu juga dimaksudkan untuk mengairi daerah persawahan seluas 20 hektar yang ada di daerahnya.

“Kapasitas sumur bor itu bisa mengairi sawah seluas 20 hektar,” tegasnya.

Namun setelah sumur tersebut selesai dikerjakan dan air mulai bisa digunakan, Arman mulai bersikap sepihak. Dia mengharuskan warga membayar jika menggunakan air dari sumur bor yang berada di atas lahannya.

“Saya dan warga lain jadi bingung. Sebab pada saat sosialosasi awal dulu, bilangnya sumur itu adalah bantuan pemerintah yang diberikan secara gratis ke masyarakat. Tapi kenapa setelah airnya ada, kami disuruh pakai beli,” ucap Raimundus, bingung.

Sementara itu, warga Kampung Kadhaebo lainnya, yakni Lambetus Jago, menjelaskan, sumur bor bantuan Wens Ladi itu dibangun pada tahun 2017.

“Tahun 2017, sebagai Anggota DPRD 2014-2019, Wens Ladi datang ke kampung kami dan buat pertemuan. Di pertemuan itu saya di pilih oleh warga untuk menjadi koordinator dan itu disetujui oleh Wens Ladi. Sebelum pengeboran, kami lakukan ritual adat. Untuk ritual adat ini kami yang tanggung biayanya. Kami kumpul per kepala keluarga Rp 50 ribu,” beber Lambertus.

“Setelah ritual adat selesai di lanjutkan dengan pengeboran. Pada saat pertemuan dengan warga, Wens Ladi bilang ini murni uang pribadinya, dan kami percaya, karena dia juga adalah bagian dari keluarga, apalagi dia sudah jadi de pe er. Yang aneh, setelah air keluar, kami malah di wajibkan membeli air,” kata Lambertus diamini Mama Sabina bupu (60 tahun), Regina Nago ( 54 tahun), Yuliana Juni ( 46 tahun), Servasius Ngaji (53 tahun) dan Petrus Bata (75 tahun).

Menurut mereka, untuk bisa mendapatkan air, mereka harus keluarkan uang.

“Kalau kita datang tadah air pakai jerigen ukuran 5 liter sebanyak 8 buah, maka kita harus bayar Rp 15 ribu. Kalau pakai fiber ukuran 1100 liter, maka kita harus bayar Rp 25 ribu. Itu belum termasuk bayar pick up. Kalau antar air ke rumah dengan pick up, maka kita harus bayar Rp 75 ribu,” beber Lambertus.

Warga RT 11, Servasius Ngaji, mengaku kecewa dengan pungutan secara sepihak yang di lakukan oleh Alo Ghole.

“Lokasi sumur bor memang berada di lahan milik Alo Ghole. Tapi kesepakatan awal adalah air itu untuk warga secara gratis. Karena itu adalah bantuan. Tapi kenapa bisa seperti ini,” sergahnya.

Karena warga diharuskan membayar saat menggunakan air sumur bor, maka warga terpaksa mengambil air di sungai yang jaraknya sangat jauh.

“Kalau musim hujan, kami terpaksa minum air hujan. Karena di kali ada banjir. Mau beli air, ambil uang dari mana? Itu yang saya kecewa. Padahal Alo itu kakak saya. Kenapa dia tega buat kami seperti ini? Apa dia disuruh oleh Wens Ladi, karena dia tidak (terpilih) jadi de pe er lagi?,” ujar Servasius.

“Kami mau buat proposal ke  pemerintah minta bantuan air bersih, jelas pemerintah tidak bantu, karena di kampung kami sudah ada dua sumur bor,” katanya.

Menurut dia, dua rol pipa jenis PE hingga kini masih tersimpan di rumah milik Lambertus Jago.

“Sesuai rencana awal, pipa itu untuk distribusi air ke setiap rumah sesuai kesepakatan dalam pertemuan dengan pak Wens Ladi,” bebernya.

“Karena setahu saya, yang namanya bantuan dari pemerintah untuk masyarakat, bukan untuk orang perorang. Tapi ini malah jadi milik pribadi mereka. Bagi kami, ini penipuan,” tegasnya.

Ketua RT 10, Desa Ulupulu, Raimundus Wa’i (bertopi).

Kepada SERGAP, Petrus Bata (75 Tahun), mengatakan, “Ema kami ngi susah meze, kami moa ae, ae no’e, doi mona tau beta ae.  Kami mo beta ae, muzi kami susah, mo bhila ba, kami pasrah one Ga’e Dewa”.

Sayang hingga berita ini diturunkan, Arman dan Alo Ghole belum berhasil ditemui SERGAP. Saat kediaman mereka didatangi SERGAP, keduanya tidak berada di tempat.

Sementara Wens Ladi yang dihubungi SERGAP via phone, handphonenya tidak bisa dihubungi.  (sg/sg)

KOMENTAR ANDA?

Silakan masukkan komentar Anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini