sergap.id, LABUR – Sembilan puluh dua tahun lalu di kota kecil di perbatasan Jerman dan Prancis lahirlah seorang bernama Yosef Schoendorff. Pria kelahiran 29 Januari 1932 ini kemudian dikenal dengan nama Bruder Beatus.
Saat umurnya baru 7 tahun dan sedang duduk di kelas satu SD, pecahlah perang Dunia ke II antara poros Jerman , Italia , dan Jepang melawan Sekutu yang terdiri dari Prancis , Inggris Raya , Amerika Serikat dan Uni Soviet selama tahun 1939 sampai tahun 1945.
Setelah perang Dunia Kedua, Bruder Beatus kembali bersekolah sambil membantu ayahnya mengelola lahan pertanian, berternak, sambil belajar menjadi tukang, dan di waktu senggang menyempatkan diri membantu saudari-saudarinya untuk memasak atau membuat kue. Pekerjaan ini terus ia geluti hingga tamat SMA.
Setahun setelah tamat SMA, suatu siang di tengah jalan yang dikelilingi pohon rindang saat pulang dari ladang ayahnya, ia mendengar suara seorang perempuan berkata, “ Hei Yosef, masuklah ke Biara”. Spontan ia menoleh dan mencari-cari sumber suara. Namun tidak ketemu. Suara itu pun terus mengiang-ngiang hingga ia tiba di rumah. Beberapa hari kemudian ia terus memikirkan suara siapa itu? Untuk menenangkan bathinnya, ia putuskan mendatangi gereja untuk berdoa. Itu berlangsung hingga berbulan-bulan. Termasuk berdoa kepada Bunda Maria. Namun ia tak menemukan jawaban!
Beberapa bulan kemudian, setelah menimbang-nimbang, akhirnya ia putuskan mengikuti perintah suara yang ia yakini itu adalah suara Bunda Maria. Ia lantas mendatangi sebuah biara SVD di dekat desanya. Para pemimpin di biara itu sangat senang menerimanya. Apalagi ketika mereka tahu kalau Yosef sangat mahir mengelola lahan pertanian, pertukangan, hingga masak memasak.
Singkat kata ia pun belajar disitu, dan setelah tamat dan dianggap layak mengemban misi kemanusiaan, Yosef yang telah dibaptis dengan nama biara Bruder Beatus itu dikirim ke Roma, Italia. Di sana ia belajar berbagai bahasa, terutama bahasa Afrika. Karena ia ingin sekali mengabdi di tanah Afrika. Tapi justru dia ditawari untuk bertugas ke Indonesia.
“Saya juga senang. Walaupun saya belum tahu Indonesia itu ada dimana? Saya melihat bola dunia, oh… ternyata Indonesia itu ada di bola dunia sebelahnya (dari Eropa). Saya setuju, saya lalu ke Indonesia”, ungkap Bruder Beatus saat ditemui SERGAP di Pusat Kursus Bruder Beatus di Labur, Kabupaten Belu, Rabu 16 Oktober 2024.
Dari Roma, Bruder Beatus ke Indonesia pada tangal 9 Juli 1964 dan tiba di Jakarta pada tanggal 1 Agustus 1964. Ia tingal di Jakarta selama hampir dua minggu untuk mengurus surat menetapnya di Indonesia. Dari ibukota Republik Indonesia itu, ia ke Surabaya pada tanggal 15 Agustus 1964 dan seterusnya ke Ende, Flores, menggunakan kapal laut Stela Maris.
Seharusnya dari Ende, Bruder Beatus langsung ke Timor Barat, tetapi karena tidak ada kapal laut, maka ia tinggal di Ende hingga Oktober 1964. Baru pada awal November 1964 ia melanjutkan perjalanan ke Timor menggunakan sebuah kapal misionaris yang dikirim dari Jerman atas permintaannya. Ia kemudian tiba di Pelabuhan Atapupu pada tanggal 13 November 1964 dan melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki menuju Atambua, ibukota Kabupaten Belu. Dari Atambua ia terus ke Nenuk, karena disanalah pusat konggregasinya.
“Saya kemudian ditugaskan ke Kupang untuk bangun Gereja Katedral dan beberapa gereja lain, juga sekolah-sekolah. Saat itu keadaan sangat susah. Kelaparan dimana-mana. Kondisi Timor masih sama seperti yang ditinggalkan Belanda dan Jepang. Untuk dapat Semen, Paku, dan bahan bangunan lain, saya harus pesan dari Belanda dan Jerman”, beber Bruder Beatus.
-
Buka Pusat Keterampilan
Usai membangun gereja dan sekolah-sekolah di Kupang dan sekitarnya, Bruder Beatus memutuskan kembali dan menetap di Belu, tepatnya di kampung Labur, Desa Mandeu, Kecamatan Raimanuk.
Dengan modal bantuan yang ia dapat dari sanak familynya di Jerman, Bruder Beatus membeli sebuah lahan seluas enam hektar lebih dan tempat ini langsung dijadikan sebagai pusat pelatihan pertukangan, menjahit, bertani, berkebun, berternak, memasak dan membuat kue bagi para muda-mudi putus sekolah.
“Dulu disini (Labur) tidak ada rumah di sepanjang jalan. Disini dulu sarang pencuri. Mereka tinggal di pedalaman sana. Di gunung-gunung. Di lembah-lembah. Perlahan-lahan saya ajak satu per satu kesini. Awalnya satu dua orang saja yang mau. Saya cari (sumber) air (bawah tanah). Saya ajak mereka gali dan kemudian dapat air. Mereka senang, saya juga senang. Saya bilang air ini milik kamu. Saya ajar mereka cara manfaatkan air. Cara tanam. Ternyata mereka bisa. Akhirnya perlahan-lahan tingkat pencurian berkurang sampai sekarang”, kenang Bruder Beatus.
Di bidang pertanian, Bruder Beatus mengajarkan bagaimana membajak kebun atau sawah menggunakan tenaga sapi.
“Saya beli sapi Timor, saya latih untuk tarik luku (bajak) dan untuk tarik gerobak (angkut hasil panen). Saya kasi contoh ke mereka. Mereka (masyarakat sekitar) ikut. Akhirnya mereka bisa hidup mandiri, dan saya senang”, ucapnya.
Menurut dia, awal membuka pusat keterampilan di Labur, peminatnya sangat tinggi. Peserta didik mencapai 300 lebih orang. Itu sebabnya ia membuka satu cabang tambahan di Oenopu. Hasilnya, dua tempat itu telah menghasilkan ribuan tenaga terampil yang telah hidup berbaur dengan masyarakat lainnya.
Saat ini Bruder Beatus juga memeliharan sapi perah. Awalnya hanya 4 ekor betina dan satu jantan yang dibeli dari Batu, Malang. Seiring perjalanan waktu, jumlah sapi pun bertambah dan menghasilkan susu sapi berkualitas tinggi yang dijual per lima liter seharga Rp 90 ribu.
“Sekarang ini jumlah sapi sudah berkembang menjadi 20an ekor. Separuhnya ada di Nenuk”, ujarnya.
Bagi Bruder Beatus, saat ini Indonesia adalah tanah airnya. Ia tak ingin kembali ke Jerman.
“Saya sudah tidak tahu jalan pulang ke kampung (Jerman). Saat ini dua saudara saya masih hidup dan kami selalu rutin berkomunikasi lewat telepon. Tapi sekarang ini Indonesia adalah tanah air saya”, tegasnya.
Sementara itu, Yosef Apin, salah satu pendamping Bruder Beatus di Labur, menjelaskan, kehadiran Bruder Beatus di Labur telah mengubah peradaban masyarakat Raimanuk dan sekitarnya. Interaksinya dengan masyarakat, lingkungan dan nilai-nilai budaya setempat telah membentuk pola kehidupan masyarakat yang modern.
“Jasa beliau sangat besar. Dia telah banyak menghasilkan manusia terampil yang kemudian mampu hidup mandiri”, ungkapnya.
Bagi Apin, Bruder Beatus merupakan rasul keterampilan bagi anak-anak putus sekolah di Timor.
“Sejak tahun 1972 sudah ribuan anak yang tamat dari tempat kursus ini. Bahkan di tahun-tahun awal, tempat ini tidak mampu menampung anak-anak yang ingin belajar. Hingga akhirnya Bruder buka lagi (tempat kursus) di Oenopu”, paparnya.
Apin menambahkan, semua harta milik Bruder Beatus di Labur, mulai dari tanah, traktor besar/kecil, mobil, ternak, dan lain-lain, sedang dalam proses dialihkan menjadi milik SVD. Ini dilakukan karena usia Bruder Beatus sudah sangat tua dan ia meminta semua hartanya diberikan seluruhnya kepada biaranya.
“Semua barang milik Bruder itu didapat dari bantuan keluarga, kerabat, teman, dan pihak-pihak lain dari Jerman”, pungkasnya. (cs/cs)