Sebanyak 17.000-an pasien yang posistif Covid 19, 35.000-an pasien dalam Pengawasan dan 269.500-an orang dalam pengawasan.
Sebanyak 17.000-an pasien yang posistif Covid 19, 35.000-an pasien dalam Pengawasan dan 269.500-an orang dalam pengawasan.

Tulisan dari Arita Nugraheni yang diulas oleh Media pemberitaan Kompas tentang “Momok Pemiskinan di Masa Pandemi Covid 19” masih relevan dengan kondisi NTT di masa pandemi. (Nugraheni, 2020). Informasi yang ditelurkannya tidak hanya bersifat esai argumentatif, tetapi penulis menghadirkan data-data obyektif berdasarkan kajian risetnya yang logis, realistis, posivistik dan rasional.

Data-data tersebut berisikan tentang Jumlah masyarakat Indonesia yang terdampak virus Covid 19, jumlah pekerja Indonesia yang terdampak Covid 19 dan kondisi kemiskinan di Indonesia (Maret 2019).

Tiga basis data ini merupakan literasi penting untuk membantu menerangkan pesan substansi dari artikel ini.

Tulisannya “Arita Nugraheni” menjadi semacam jembatan yang bisa menghubungkan antara konstruksi makna dari Arita sendiri dan konsep dasar dari judul artikel ini. Sebelum lebih jauh meraba-raba tentang  adakah kemungkinan resistensi gerakan massa sebagai “sebuah asumsi” dan Apa yang dimaksud dengan teori konpirasi? Maka pertama-tama perlu ulasan Data Riset dari Arita Nugraheni sebagai fakta sekaligus teori.

Pertama, Data tentang Covid 19. Tercatat sebanyak 17.000-an pasien yang posistif Covid 19, 35.000-an pasien dalam Pengawasan dan 269.500-an orang dalam pengawasan. Singkatnya ada 300.000-an orang yang aktivitasnya terbatas karena pengobatan dan pengawasan. (Nugraheni, 2020). Pada dasarnya Data yang tercantum akan mengalami perubahan setiap saat (bisa meningkat atau pun menurun).

Kedua, Data tentang para pekerja yang yang terdampak mulai dari 7 April 2020 sampai dengan 1 Mei 2020. Dua bulan ini jumlah PHK dan dirumahkan (pekerja formal dan informal) sebanyak 1.722.958 orang. Ada banyak sekali pengangguran, dan resiko lanjutan dari pengangguran adalah meningkatnya kriminalitas dan konflik sosial. (Nugraheni, 2020).

Ketiga, Data kemiskinan yang ada menurut Litbang Kompas/RTA berdasarkan sumber dari BPS, Kementerian Sosial, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dan BPJS Kesehatan. Tercatat rata-rata garis kemiskinan antara kota dan desa sekitar 425.250, indeks keparahannya di kota sebesar 1,05 dan di desa sebesar 1,55. Di mana jumlah penduduk miskin antara desa dan kota tidak sama, yakni: 9,99 juta di perkotaan dan 15,15 juta di perdesaan. (Nugraheni, 2020). Tentu data kemiskinan yang ada hanya sebagai laporan dan sewaktu-waktu akan mengalami perubahan juga. Konteks masyarakkat NTT yang sebelum pandemi saja sudah diklasifikasikan sebagai  salah satu wilayah yang masuk kategori miskin dan tertinggal. Terbukti dalam salah satu artikel opini yang diterbitkan Sergap.id “Kenapa Daerah Kita Tertinggal, Karena Pemimpinnya Dungu?”. (Sergap.id, 2020).

Keempat, Penjelasan tentang sejumlah jaring pengaman sosial bagi masyarakat miskin dan kaum marginal. Data di bawah ini merupakan data yang dipublikasikan dalam tulisan Arita Nugraheni. Data-data yang ada sebenarnya berfungsi sebagai petunjuk bagi masyarakat dan semua pihak yang merasa ada manfaatnya. Namun tidak berarti eksistensi data tersebut sebagai kebenaran tunggal tanpa dianalisa, dikritisi dan direlasikan dengan konteks kehidupan masyarakat. Sama seperti opini sederhana ini, perlu dikritisi dan dan dianalisis. Kita perlu bertanya: Apa betul angka-angka yang ada dalam data tersebut sesuai dengan kehidupan kita? Apakah data-data tersebut dikaji dan diriset menurut kondisi terburuk yang dialami masyarakat? Apakah keberadaan data-data tersebut sungguh menjadi acuan atau pegangan oleh para pemimpin kita dalam membuat kebijakan? Ataukah data hanya sebatas angka dan tulisan “on paper” yang hanya diposting di media sosial dan media massa? Tanpa pengaplikasian yang nyata di dalam kehidupan bersama.

Tabel di bawah ini merupakan Data tentang beberapa Jaring Sosial di Indonesia. (Nugraheni, 2020).

No. Jaring Sosial Manfaat Keterangan
Kartu Prakerja Akses pelatihan untuk warga berusia 18 tahun ke atas dan uang insentif per bulan. Diprioritaskan untuk pencari kerja dan pelaku UMKM yang terdampak pandemic Covid 19
  • Diselenggarakan sejak 2020 oleh Kemenko Perekonomian bekerja sama dengan swasta.
  • Ditargetkan untuk 5,6 juta orang dalam 30 gelombang penerimaan·
  • Gelombang pertama diikuti oleh 3,3 juta akun terverifikasi dan sebanyak 168.111 peserta lolos.
  • Peserta yang lolos seleksi akan menerima akan menerima Rp.3.550.000 berupa dana untuk pelatihan dan insentif bulanan
2. Jaminan Kesehatan Nasional Pelayanan Kesehatan primer meliputi rawat jalan dan rawat inap
  • Diselenggarakan sejak 2014 oleh BPJS Kesehatan·
  • Per 30 April 2020 tercatat 132,6 juta peserta yang gratiskan mebayar iuran/ penerima bantuan iuaran yang dananya dialokasikan dari APBN dan APBD
3. Program keluarga Harapan Pemberian uang untuk keluarga agar dapat mengakses pelayanan dasar, seperti pangan, kesehatan dan pendidikan
  • Dilaksanakan sejak 2007 oleh Kementerian Sosial·
  • Pada tahap ke-4 2018 sudah disalurkan pada 10 juta keluarga·
  • Bantuan diberikan tiap keluarga per-tahun dengan komposisi sebagai berikut:
  1. Tetap: Rp.550.000-1 juta
  2. Ibu hamil: Rp.2,4 juta
  3. Anak usia dini: Rp.2,4 juta
  4. Anak SD-SMA: Rp.900.000-Rp.2 juta
  5. Disabilitas berat: Rp.2,4 juta
  6. Lanjut Usia: Rp.2,4 juta
4. Program Indonesia Pintar Akses dan uang untuk meringankan biaya pendidikan bagi anak usia 6-21 tahun
  • Diselenggarakan sejak 2014 oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kementerian Sosial dan Kementerian Agama·
  • Per 1 Mei 2020 tercatat sudah disalurkan untuk 3,1 juta peserta dan total alokasi 17,9 juta peserta dari jenjang SD hingga SLTA·
  • Besaran dana per tahun, yaitu: Rp.450.000 (Dasar), Rp 750.000 (Menengah Pertama), dan Rp.1.000.000 (Menengah atas)

Data Jaring Sosial merupakan data yang buat Negara dan diterapkan di semua provinsi dan daerah-daerah yang ada di Indonesia. Pertanyaannya adalah apakah program jarring sosial ini sudah terealisasi secara maksimal di NTT?

Apakah program-program ini tepat sasaran pada subyek-subyek (masyarakat) yang membutuhkan? Ada berapa banyak masyarakat NTT yang menerima bantuan dari program-program ini? Ataukah jangan-jangan masyarkat NTT tidak mendapat jatah dari program-program ini?

Semua pertanyaan-pertanyaan ini tidak bisa dijawab penulis dalam tulisan ini, sebab yang bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan ini adalah Negara (Pemerintah Pusat dan Lokal).

Apabila pertanyaan-pertanyaan ini juga tidak bisa dijawab oleh pihak-pihak yang berwenang, mungkin asumsi sepihak saya tentang adanya kemungkinan resistensi gerakan massa bisa saja terjadi.

Kita tidak tahu kapan akan terjadi ramalan tentang gerakan massa ini, Seperti “Bom Waktu”. Kalaupun ramalan saya ini tidak benar dan saya pantas dianggap sebagai peramal yang konyol atau hoax, tetapi alangkah lebih baik jika semua pertanyaan-pertanyaan di atas bisa terjawab dan masyarakat merasa puas dengan program dan kebijakan Negara.

Kemungkinan Resistensi Gerakan Radikal Massa? “Sebuah Asumsi”

Pada fase di mana masyarakat memasuki titik jenu dalam menghadapi persoalan Covid 19, persoalan krisis kesehatan, ekonomi dan kehilangan pekerjaan. Sekiranya data-data yang diulas oleh Arita Nugraheni mampu menjadi petunjuk bagi Pemerintah NTT dan pemda-pemda sekitarnya untuk berhati-hati dalam membuat kebijakan.

Sebab pengaplikasian kebijakan yang tidak dimbangi dengan data yang cukup dan kondisi riil di lapangan bisa tercipta tragedi khaos dan sikap fatalistik dari masyarakat. Namun bisa saja tidak benar asumsi-asumsi tentang adanya kemungkinan tersebut.

Resistensi gerakan massa diartikan sebagai sebuah perlawanan yang dilakukan massa (masyarakat) terhadap sebuah sistem kekuasaan atau struktur kekuatan yang dominan. Misalkan: perlawanan Masyarakat Adat terhadap rencana Tambang, seperti di Tanah Datar-Sumatera Barat, (Fringka, 2016), Perlawanan masyarakat Manggarai, NTT terhadap kasus tambang (Regus, 2011), Perlawanan Masyarakat adat Biboki-TTU terhadap industri (FHL) (Dhosa, 2017), Aksi Forum Pemuda Peduli Nagekeo menagih janji THL (Tim Redaksi Ekorannt, 2019), Gerakan Mahasiswa pro demokrasi Malaka dengan sebelas tuntutan (Sergap, 2019), Gerakan Massa mengusut kasus kematian ASN di Dinas Perhubungan Ende, dan masih banyak gerakan lainnya yang bisa menjadi ilustrasi untuk menjelaskan tentang makna Resistensi gerakan itu sendiri.

Data covid 19, data para pekerja yang terimbas dampaknya dan data kemiskinan menjadi semacam rambu-rambu bagi semua institusi dan komponen masyarakat untuk terus membenahi diri dan saling melengkapi, agar tidak terjadi pertentangan, perpecahan, konflik dan kekacauan dalam skala yang besar ( seperti:Perang atau genosida).

Keberadaan data Covid 19 dan data lainnya mungkin jauh lebih penting dipublikasikan sebagai landasan dan pegangan bagi kita. Daripada kehadiran sebuah teori tanpa data, seperti teori konspirasi tentang Covid 19 versi Young Lex dan Jerinx dalam Youtube Deddy Corbuzier.

Akan lebih fatalis ketika teori-teori konspirasi dijadikan fakta tanpa ada dasar substansial yang bisa menjadi pegangan untuk masyarakat, pemerintah, agama dan instansi lainnya. Namun kehadiran data dan fakta tentang Covid 19, data kemiskinan dan dampak Covid bagi pekerja tidak menjadi sumber yang absolut juga tanpa diuji dan dianalisa lebih lanjut.

Berdasarkan data di atas, pekerjaan pemerintah dan masyarakat di tahun ini semakin berat, karena fokus yang dikerjakan bukan soal kesehatan saja, tetapi masih banyak aspek lain, seperti ekonomi, sosial, politik, budaya, agama, pendidikan dan lainnya.

Bayangkan saja jika semua tempat di lockdown dan PSBB secara permanen akibat pandemi ini, maka mungkin saja asumsi saya bisa jadi kenyataan, dan saya berharap asumsi itu salah dan gagal. Masyarakat NTT dan semua pihak harus lebih kritis dalam menghadapi berbagai realitas, seperti media sosial (wacana dan narasi yang dipublikasikan), pandemik, kebijakan Pemerintah dan realitas lainnya.

Fakta Covid 19 Versus Teori Konspirasi?

Baru-baru ini beberapa orang selebritas secara terang-terangan mengatakan bahwa Covid 19 merupakan sebuah konspirasi. Mungkin sudah tidak asing lagi bagi masyarakat Indonesia dengan beberapa figur tersebut, yaitu: Young Lex, Jenrix dan Deddy Corbuzier.

Kalau kita menonton pembahasan mereka soal teori konspirasi di media sosial, ketiga orang ini sebenarnya menyakini bahwa ada aktor yang mendesign semua kekacauan ini, supaya mendapat keuntungan seperti: retribusi kekayaan di saat krisis ekonomi karena Covid 19, pengerukan keuntungan dari pembuatan vaksin (karena vaksin adalah buatan atau produksi manusia.

Ketiga selebritas ini jelas-jelas mengatakan bahwa Bill Gates (elite global) adalah salah satu aktornya, karena dia adalah salah satu orang yang memantik isu pandemi Covid 19 sehingga menjamur di mana-mana.

Bahkan Jerinx (Personil Superman is Dead) secara vulgar mengatakan bahwa media menyembunyikan kenyataan bahwa sebenarnya Covid 19 tidak menyeramkan atau tidak mematikan seperti yang digambarkan oleh tim medis kesehatan.

Mirisnya adalah semua yang dikatakan para selebritas ini tidak diperkuat dengan bukti yang akurat dan belum bisa dikategorikan sebagai sebuah Fakta.

Muhamad Heychael mengkritik para selebritas ini dengan analoginya “ibaratnya aku melihat monas dengan menggunakan sedotan minuman” di dalam ulasan artikelnya tentang “Jerinx dan Penganut Teori Konspirasi Gagal Paham Soal Media”. (Heychael, 2020).

Hal ini mengandaikan bahwa tidak semua masyarakat Indonesia memahami soal virus, sains dan produk ilmu pengetahuan lainnya. Bahkan saya yang menulis artikel ini pun juga memiliki keterbatasan soal pemahaman tentang virus dan sains. Apalagi masyarakat sederhana yang ada di desa atau perkampungan, sebut saja Masyarakat NTT (Timor, Flores, Sumba dan Alor), yang tidak semua masyarakat memperoleh pengetahuan tentang sains dan pandemi ini.

Andaikata benar seperti yang dikatakan tiga orang diatas (walaupun belum ada data yang valid) bahwa ada konpirasi dibalik ini semua. Tentu orang-orang sederhana, seperti: masyarakat Timor, Flores, Sumba dan Alor yang diperkampungan dan desa tidak mampu berbuat banyak. Sebab mereka berada dalam suatu sistem dunia dan struktur lokal yang sejak awal membelenggu mereka. Namun tidak menutup kemungkinan akan timbul resistensi gerakan perlawanan terhadap pihak-pihak yang mereka anggap berwenang baik dalam skala kecil maupun dalam skala besar.

Teori konpirasi oleh para selebritas di atas tidak bisa dibenarkan juga untuk saat ini, karena fakta dan bukti-buktinya kurang akurat. Walaupun kita tahu bahwa ketiga orang tersebut mungkin saja punya maksud baik, atau mungkin saja tidak. Di sini saya mengajak kita untuk secara pribadi menemukan sendiri jawabannya. Pada dasarnya bahwa semua orang bisa beropini apa saja, tetapi tidak semua opini bermanfaat bagi orang lain. Dan mungkin saja opini ini bagi sebagian orang tidak penting, tetapi mungkin saja berguna bagi sedikit yang lainnya. Sederhananya berikan saja ruang-ruang kebebasan kepada publik untuk berpendapat tentang apa saja mengenai kehidupan ini. Tentu setiap kebebasan selalu ada batasannya, yaitu rules atau aturan mainnya.

Penganut teori konspirasi sendiri sebenarnya tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga terjadi di luar Indonesia, seperti di Amerika. Misalkan: berkembang soal narasi Covid 19 berasal dari laboraturium biologi yang bocor di Wuhan, China. Sebaliknya dari pihak China meyakini dan secara terbuka mengatakan bahwa Covid 19 merupakan virus yang direkayasa di Amerika.

Dari sini kita bisa lihat bahwa penganut teori konpirasi itu sebenarnya ada di mana-mana dan terkadang sulit untuk dilacak kebenarannya. Mungkin anda yang sedang membaca tulisan ini akan mengatakan kepada saya atau di dalam diri anda bahwa saya sedang berkonspirasi dengan media tertentu untuk mempublikasikan tulisan ini. Atau anda mungkin berpikir bahwa saya sedang menghipnotis diri anda sebagai pembaca untuk tidak menyakini Covid 19 sebagai sebuah wabah dan lebih percaya sebagai sebuah konspirasi belaka.

Sejujurnya saya sedang mengajak kita sebagai warga Indonesia dan masyarakat NTT tercinta, untuk bersama-sama mengambil sikap dan tindakan yang tepat dalam menghadapi fenomena ini. Tidak ada waktu bagi kita orang-orang NTT untuk saling menjatuhkan antara masyarakat dengan pemerintah, antara agama dengan pemerintah, Tim Medis Kesehatan, Media, NGO, LSM, dan lembaga swasta lainnya. Melainkan tulisan sederhana ini mencoba memberi sedikit sentuhan kepada kita masyarakat NTT untuk bersatu melawan Covid 19 tanpa rasa takut dan panik berlebihan.

Menurut Karl Popper bahwa teori konspirasi pada dasarnya adalah versi sekuler dan modern dari kepercayaan terhadap agama. Popper menjelaskan bahwa teori dapat dibuktikan kebenarannya apabila ia dapat disangkal, hal tersebut yang akan membedakan antara teori yang bersifat ilmiah dan dapat terus progresif, dengan dogma. (Adiprasetio, 2020).

Makna konspirasi yang disalurkan Popper sendiri mengandung arti yang problematis dan kontradiktif kalau kita kontekskan dengan situasi kehidupan masyarakat NTT. Bayangkan saja Popper memisahkan dengan tegas antara agama dan sains, dan hal ini tentu bertolak belakang dengan kehidupan masyarakat NTT.

Dominan masyarakat NTT lebih mengenal dan dekat dengan agama dan budaya lokal daripada sains. Sehingga tidak mudah membawa masyarakat NTT ke ranah sains dan berusaha membangun kesadaran mereka tentang fungsi sains itu sendiri.

Tidak heran jika ada masyarakat yang tidak mengindahkan peraturan lockdown dan PSBB, bukan karena tuntutan ekonomi semata tetapi karena tingkat pemahaman dan kesadaran masyarakat berbeda-beda tentang pandemi ini.

Ada kesenjangan berpikir antara masyarakat yang sekolah atau berpendidikan dengan yang tidak berpendidikan. Kesenjangan dalam pendidikan ini berelasi dengan kesadaran mereka terhadap kesehatan diri serta kemampuan ekonomi. Untuk itu, semua aspek itu penting, baik kesehatan, pendidikan, agama, sosial, politik, budaya dan ekonomi. Hal tersulit dari semuanya itu adalah membuat semua aspek-aspek kehidupan ini “balance” atau Seimbang. (Petrus Selestinus Mite)

KOMENTAR ANDA?

Silakan masukkan komentar Anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini