Tulisan sederhana ini bersifat esai argumentatif dan deskriptif dengan mengkolaborasikan beberapa data-data sekunder dari literatur bacaan dan berita-berita di media online. Michel Foucault mendeskripsikan ruang sebagai sebuah realitas sosial dan pertautan ruang tidak nyata dalam ruang nyata. (Foucault, 2008).
Saya mencoba mengkontekskan konsep ruang Heterotopia dengan ruang wisata Pulau Rinca yang sifatnya relatif dan bisa bergeser. Potret ruang wisata Pulau Rinca merupakan ruang publik yang berkembang secara kompleks dan dinamis.
Pulau Rinca memiliki potensi alam wisata yang menarik seperti kekayaan biota laut, keindahan pantai dan keberadaan Komodo sebagai salah satu fitur penting. Selain itu di sekitar ruang wisata tersebut berdiam masyarakat lokal, kira-kira ada 4 desa yang ada di TNK (desa Pasir Panjang, desa Komodo, desa Pasir Putih dan desa Papagarang). (Triwijoyo, 2015).
Tulisan sederhana ini mencoba membongkar makna dan fungsi ruang dari Pulau Rinca sebagai salah satu situs destinasi wisata di Flores-NTT. Identifikasi ruang yang coba saya ulas dalam artikel ini adalah: Bagaimana menganalisis Pulau Rinca sebagai ruang destinasi wisata yang mempunyai fungsi keterkaitan dan penyimpangan atau deviasi dalam kehidupan masyarakat lokal.
Di tahun kemarin Pemerintah membuat kebijakan tentang renovasi Taman Nasional Komodo dengan tujuan, yakni: pelestarian dan perlindungan terhadap destinasi wisata laut dan komodo. Aplikasi terhadap kebijakan renovasi adalah aktivitas perusahaan-perusahaan dengan berbagai proyek renovasi dan hal teknis lainnya.
Dilansir dari republica.co.id, Isu tentang renovasi dan penutupan Taman Nasional Komodo diperkuat dan dipertegas oleh “Gubernur NTT Viktor laiskodat dengan beberapa alasan, yakni: Pertama, Taman Nasional Komodo direnovasi agar layak sebagai destinasi wisata nasional dan internasional. Kedua, untuk menghindari adanya penyeludupan atau smuggling. (Tim Redaksi Republik, 2019). Di sisi lain menurut floresa.co, pra-munculnya kebijakan penutupan TNK, ada beberapa perusahaan yang beroperasi di Taman Nasional Komodo mulai tahun 2000 sampai 2018. Di antaranya adalah: PT Putri Naga Komodo, PT Komodo Wildlife Ecotourism, PT Kirana Satya Abadi, PT Perdana Surya Dinamika, PT Sinar Cahaya Kemuliaan, PT Segara Komodo Lestari, PT Inti Selaras Abadi dan PT Karang Permai Propertindo. (Redaksi Floresa, 2019).
Tujuan renovasi adalah membangun Taman Nasional Komodo menjadi ruang pariwisata yang eksotis. Penyimpangan terjadi ketika aktivitas renovasi ditunggangi oleh kepentingan bisnis oleh perusahaan tertentu dan tidak berasaskan pada tujuan pembangunan yang sesungguhnya. Rencana lainnya yang akan dieksekusi pemerintah terhadap Pulau Rinca adalah menyulap tersebut menjadi “Jurassic Park”. Pemerintah mengucurkan dana 69, 96 M untuk program pembangunan tersebut. Hal tersebut mendapat kecaman dari masyarakat setempat, Forum Masyarakat Peduli dan Penyelamat Pariwisata Manggarai Barat. (Bahfein, 2020).
-
Heterotopia Terbentuk Karena Transformasi Fungsi Ruang
Foucault dan Levebvre juga memahami ruang sebagai realitas sosial dalam teorinya tentang ruang produksi. Ruang memiliki ikatan yang erat dengan sejarah yang menggambarkan tentang ruang itu sendiri. Perjalanan historisnya tidak terlepas dengan dinamika-dinamika yang terjadi di dalam realitas kehidupan. (Levebvre, 1991). Prinsip ruang heterotopia menurut Foucault memiliki beberapa karakter.
Pertama, ruang heterotopia tidak memiliki bentuk yang universal atau tetap. Artinya bentuk ruang selalu berubah-ubah dan cair. Pada fase tertentu ruang heterotopia dapat berkamuflase menjadi ruang krisis atau ruang deviasi dan sebaliknya. (Sudradjat, 2012). Heterotopia krisis dalam konteks Pulau Rinca dimulai dengan menjelaskan perubahan bentuk fisik ruang, yang kemudian mempengaruhi berbagai aspek kehidupan masyarakat di dalam ruang tersebut. Pulau Rinca merupakan tempat yang dihuni berbagai binatang seperti: tikus rinca, kuda liar dan monyet ekor panjang. (Triwijoyo, 2015). Pulau ini dijadikan medan berburu oleh masyarakat lokal sebagai aktivitas memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Aktivitas berburu ini menimbulkan krisis ruang dalam konteks kekurangan populasi makanan baik masyarakat lokal maupun komodo. Masyarakat lokal memiliki skill dan mata pencaharian seperti berburu, melaut dan berkebun. Konteks deviasi dalam realitas sosial masyarakat lokal yang dianalisis adalah kondisi kehidupan masyarakat yang bergantung pada lingkungan alam dan tuntutan kebutuhan hidup yang mendorong masyarakat untuk berburu dan berbagi makanan dengan komodo. Ruang krisis yang dimaksudkan adalah gambaran realitas sosial yang menunjukkan bahwa masyarakat lokal dan semua komponen (komodo dan hewan lainnya) dalam ruang tersebut mengalami keterbatasan dan kerentanan.
Kedua, ruang heterotopia memiliki bentuk yang berbeda dan fungsi yang berbeda-beda, tergantung pada konteks budaya dalam kurun waktu dan atau ruang yang berbeda. (Sudradjat, 2012). Pulau Rinca dimodifikasi lebih lanjut sebagai tempat pariwisata oleh Negara. Proses modifikasi tersebut dilakukan Negara sebagai upaya Negara untuk mengatasi krisis ruang, yakni; kemiskinan dan ketimpangan. Tentu modifikasi ruang wisata Pulau Rinca sudah dipertimbangkan oleh Pemerintah dan stakeholder lainnya (Perusahaan swasta) berdasarkan strategi-strategi tertentu, seperti: Festival Budaya dan Konservasi. Kita bisa melihat pergeseran fungsi dan bentuk ruang yang terjadi sekarang. Apa implikasi paling intim bagi masyarakat lokal, setelah pemerintah memodifikasi ruang Loh Liang Pulau Rinca dalam aktus-aktus yang terlihat seperti villa, hotel, pondok wisata, cafeteria, pusat informasi, dermaga, shelter dan jalan setapak. (Blogspot Jurnal Kaki Lima, 2012). Lalu bagaimana kita menjelaskan fungsi modifikasi ruang pariwisata sekarang ketika pandemik Covid 19 hadir sebagai instrumen yang mengaburkan fungsi ruang wisata?
Ketiga, heterotopia mempunyai kemampuan untuk menumpuk beberapa ruang yang tidak nyata di dalam satu tempat yang nyata, misalnya ruang teater, bioskop dan taman. (Sudradjat, 2012). Pulau Rinca bertransformasi menjadi ruang yang berbeda dari model sebelumnya, yakni sebagai tempat berwisata. Ketika wisatawan menghadirkan atau memunculkan imajinasi-imajinasi tentang sebuah ruang yang ditempati hewan purba (komodo) seperti gambaran dinosaurus. Imajinasi mereka kembali ke ruang masa lalu tentang kisah mistis komodo yang disebut Orah, dilahirkan dari Putri naga dan Moja suaminya. (Tim Redaksi Kompas.com, 2019). Imajinasi itu hadir di dalam kepala para pengunjung dalam ruang nyata. Berbeda dengan imajinasi masyarakat lokal yang mengalami dilema karena modifikasi ruang tempat mereka bekerja menjadi tempat wisata. Imajinasi masyarakat lokal bercerita tentang sekelompok orang kecil yang dibatasi hak dan kebebasannya soal akses terhadap ruang tersebut. Sebab Pulau Rinca masuk dalam kawasan konservasi dan batasan-batasan aturan kewisataan. Masyarakat lokal yang bekerja dalam sektor pariwisata pun adalah orang-orang yang bekerja sebagai penjual ikon-ikon komodo atau souvenir, penjual kain tradisional atau pekerjaan kecil lainnya. (Muhammad, 2017). Imajinasi kelompok ini adalah imajinasi kaum-kaum pinggiran yang terpasung dominasi sistem kerja pariwisata dan regulasi pemerintah yang tidak seimbang.
Keempat, ruang heterotopia sering direlasikan dengan waktu. Waktu menempatkan dirinya tidak hanya di masa sekarang tetapi juga terbawa pada dimensi ruang di waktu yang lampau (nostalgia). (Sudradjat, 2012). Waktu merupakan instrumen penting dalam sejarah lahir dan terbentuknya ruang. Pulau Rinca bukan sebuah ruang kosong tanpa sejarah. Ruang yang mengingatkan orang kepada komodo sebagai hewan purba dan ruang yang dijadikan medan berburu oleh orang-orang Bajo. Mereka adalah sekelompok orang dan hewan yang hidup berdampingan. Masyarakat Bajo tinggal dan hidup di sekitar wilayah tersebut dengan nilai-nilai, norma dan kebudayaannya. Orang-orang ini adalah mereka sering diabaikan dan perlu mendapat recognisi atas keberadaannya. Legitimasi konkret harus terwujud dalam penghormatan dan pemenuhan hak-hak hidup mereka sebagai subyek yang rentan dan terpinggirkan. Perlu apresiasi kepada mereka melalui upaya pengembangan perekonomian dalam sektor pertanian dan perkebunan. Artinya kehadiran sektor pariwisata tidak menjadi aspek yang paling dominan dan membekukan sector-sektor lainnya. Hal ini menjelasakan bahwa kebiasaan masa lampau berburu dan bertani seharusnya mendapat perhatian yang serius juga, layaknya pariwisata. Di sinilah momen nostalgia masyarakat dihadirkan dan waktu menjadi jembatan yang berusaha menghubungkan kebiasaan dan peristiwa masa lalu dengan berbagai perubahan kondisi sekarang.
Kelima, ruang heterotopia selalu diasumsikan dengan sebuah sistem bukaan dan tutup yang keduanya bisa diisolasi dan ditembus. (Sudradjat, 2012). Setiap orang bisa pergi berwisata, berlibur, refreshing dan bersenang-senang dengan uang sebagai tiket masuk di Pulau Rinca. Pada waktu tertentu ruang ini tidak bisa diakses oleh kalangan lain yang kehiduapan ekonominya dibawah rata-rata, ketika harga tiketnya melonjak naik (pulau dengan tiket premium). Belum lagi pulau-pulau diprivatisasi oleh perusahaan dengan alasan renovasi. (Fitriani, 2019). Bahkan ada bisnis jual-beli pulau. (Sunspirit-Arc-Kpa, 2016). Sehingga ruang masuk dan keluar di dalam pulau ini memiliki akses yang terbatas terhadap masyarakat. Kalau dalam situasi sekarang akses ke Pulau Rinca dibatasi oleh pandemi Covid 19. Wisatawan dan masyarakat dibatasi dan diwajibkan untuk mengikuti protokol kesehatan (Rapid Test dan beli masker) dan mengikuti aturan pemerintah (Karantina). Ruang pariwisata dalam Pulau Rinca tidak lebih hanyalah sebuah ruang yang terttutup dan terisolasi keberadaannya dengan kehidupan masyarakat.
Keenam, fungsi ruang heterotopia adalah menciptakan ruang ilusi yang mengedepankan ruang-ruang nyata dalam gerak kehidupan manusia. Konsep pariwisata dan Taman Nasional Komodo diafirmasi Negara sebagai cara untuk menjaga kestabilitasan ekosistem Pulau Rinca atau lingkungan sekitar dan pembangunan ekonomi masyarakat setempat. Sisi penyimpangannya adalah keberadaan Pulau mengalami disfungsi, karena dikontrol oleh aktor-aktor yang berwenang dengan berbagai kepentingan bisnis dan proyek. (Jong, 2007). Pulau Rinca yang merupakan realitas sosial yang biasa mereka akses dan tempati secara nyata tetapi sebenarnya tidak nyata atau utopia dalam fungsi, akses dan pemakaiannya. Keberadaan Pulau Rinca semakin maya ketika pandemik Covid 19 menggilas realitas masyarakat yang sudah sejak awal rentan menjadi semakin rentan. Ketidakmampuan masyarakat mengakses pulau di masa pandemik dan kaburnya fungsi ruang wisata. Fenomena ini menunjukkan bahwa semua orang mengalami kerentanan tetapi fenomena kerentanan yang paling dalam adalah mereka yang terpinggirkan.
-
Penutup
Term pariwisata lebih identik dengan budaya Barat, kemudian ditempel dan dimodifikasi lebih modern menjadi budaya Indonesia, dalam hal ini Taman Nasional Komodo. Persoalan perebutan ruang terjadi ketika kebudayaan masyarakat lokal dihambat oleh peraturan UNESCO dan TNC, misalnya: peraturan renovasi, konservasi dan berujung privatisasi pulau. Karl Brandt dalam Report-nya, mengulas tentang beberapa penyebab persoalan TNK dengan kebudayaan masyarakat lokal, yakni: kebingungan masyarakat lokal mengenai sejarahnya, sistem pendidikan yang tidak mengajarkan kebudayaan tradisional dan bahasa setempat, pemasukan terus-menerus untuk pendatang (pekerjaan, akses dan lainnya), minimnya iklan tentang tempat bersejarah di Pulau Komodo, konflik Islam dengan budaya tradisional, turisme dan pengubah dongeng setempat. (Brandt, 2003). Deskripsi persoalan budaya lokal dan TNK ingin menegaskan tema pembahasan tentang destinasi wisata Komodo dan Pulau Rinca sebagai “Ruang Heterotopia”.
Heterotopia Pulau Rinca adalah ruang nyata yang fungsi ruangnya bisa saja tidak nyata. Lahirnya perspektif tentang pariwisata dalam ruang nyata bisa menimbulkan ketidaknyataan atau semu dalam kehidupan masyarakat lokal di sekitar Pulau Rinca. Konsep pariwisata akan menjadi deviasi terhadap kehidupan bersama ketika perspektif tentang pariwisata ditunggangi kepentingan bisnis dan proyek oleh sekelompok kapitalis dan oligarkhi. Sehingga ide tentang pariwisata seperti tidak bermakna dan ruang-ruang itu seperti menjadi ruang maya karena tidak bisa dimanfaatkan secara maksimal oleh masyarakat. Pulau Rinca akan menjadi ruang yang tertutup sekaligus terbuka dan bisa saja ruang itu akan menjadi model ruang yang tertutup sekali dan kehilangan makna sebagai ruang publik. Masyarakat akan menilainya sebagai ruang publik yang semu, karena mereka tidak mampu mengakses dan mengolah ruang itu. Habermas adalah salah satu tokoh yang membicarakan tentang ruang publik. Habermas memberikan basis space yang diarahkan kepada individu, di mana keberadaan ruang tersebut mengandung makna dan fungsi mengubah diri individu menjadi publik. (Prasetyo1, 2013). Artinya melalui publik, masyarakat yang diwakili dalam individu-individu memiliki kesadaraan dan kesetaraan dalam membicarakan otoritas. Ruang publik memungkinkan terbentuknya ruang diskursif dan masyarakat mengartikulasikan kehendak publik atas otoritas publik yang dibentuk secara emansipatoris. Proses diskursif dalam ruang publik memiliki keterkaitan dengan konsep space menurut George Simel dalam esainya; the sociology of space.
Hal yang sama juga terhubung dengan analisis space of commodity Karl Marx yang ditulis oleh Zieleniec. (Prasetyo1, 2013). Marx melihat ruang dalam basis beroperasinya kekuatan produksi dan menciptakan komoditas. Sedangkan Simel mengkonstruksikan ruang sebagai bagian dari interaksi antar individu dalam masyarakat baik dalam subjective culture dan objective culture. (Prasetyo1, 2013). Aspek pengelaman individu dalam interaksi menjadi titik fokus Simel sebagai pemberi efek dan energi dalam proses dinamika di dalam ruang publik. Hasil konstruksi ruang dari keberadaan Pulau Rinca menjelaskan bahwa di dalam beroperasi kekuatan produsi ruang dan penciptaan komoditas atau dalam bahasanya Levebvre “The Production of Space”. (Levebvre, 1991). Ruang fisik dimodifikasi atau terjadi tranformasi bentuk, makna, nilai dan fungsi ruang Pulau Rinca, yang dilakukan oleh State dalam wujud peraturan Perda, kebijakan Gubernur, Peraturan pariwisata, program KLHK (Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan) dan aktivitas atau proyek perusahaan di TNK. Tahap selanjutnya adalah The Production of a social space as such. (Levebvre, 1991) Tahap perubahan dan modifikasi ruang sosial yang merupakan efek dari interaksi antar individu dalam masyarakat dengan bahasa atau wacana dan budaya. Modifikasi ruang fisik menentukan perubahan dalam ruang sosial, seperti perubahan perilaku, kesadaran, nilai-nilai, norma, budaya dan life style. Misalkan: memudarnya nilai-nilai kebersamaan, komunal, persaudaraan dan kekeluargaan antar masyarakat.
Gaya hidup masyarakat yang over-konsumtif dan over-hedonis, pola hidup masyarakat terdominasi dan terfokus pada satu sektor, yakni pariwisata.
Fenomena ini menunjukkan bahwa terjadi pembekuan nalar kritis masyarakat lokal yang terus-menerus diproduksi kesadarannya untuk menerima ketidakberdayaan, keterpinggiran dan keterbelakangan.
Masyarakat lokal akan semakin giat mereproduksi konstruksi ruang-ruang semu tersebut sebagai ruang yang seolah-olah nyata bagi kehidupan mereka. Pulau Rinca dan TNK tidak lebih hanyalah ruang Heterotopia yang akan tetap ada dalam kehidupan mereka.
Sebuah ruang yang bisa membawa deviasi (penyimpangan) bagi mereka dan sekaligus keterkaitan ruang tersebut dengan keberadaan mereka yang rentan. (Penulis: San Mite atau Petrus Selestinus Mite (Alumni STFK Ledalero dan Mahasiswa Pasca UGM)