
sergap.id, KUPANG – 28 Februari 2020 lalu penyidik Direktorat Reserse Kriminal Umum (Ditreskrimum) Polda NTT dibantu jajaran Polda Bali berhasil menangkap Yulia Astutik (40), tersangka kasus dugaan penipuan investasi di Kabupaten Rote Ndao.
Yulia ditetapkan sebagai tersangka dan ditangkap di kawasan Sanur-Bali setelah Polda NTT menerima Laporan Polisi (LP) Nomor: LP/B/VII/2017/249/SPKT tanggal 25 Juli 2017.
Yulia dilaporkan oleh sebuah perusahaan Penanaman Modal Asing (PMA) Rote Island Development Corporation (RIDC) lewat kuasa hukumnya Iwan Neno SH dan mitra usahanya di Indonesia, Melkianus Boleng.
“Saya atas nama RIDC memberikan apresiasi kepada penyidik Polda NTT yang telah berhasil menangkap tersangka. Harapan kami selanjutnya adalah menangkap aktor utama dalam kasus ini,” ujar Melkianus Boleng sebagai kuasa pelapor dalam keterangannya di Kupang, Senin (16/3/20).
Melkianus yang selama ini bermukim di Bali datang khusus ke Kupang untuk mengawal kasus tersebut.
Kepada wartawan di Kupang, Melkianus menjelaskan, kasus ini berawal dari keinginan RIDC melakukan investasi pariwisata di Rote Ndao. Investor RIDC yang tak lain adalah dua warga negara Belanda, yakni Ben van Wijhe dan Niko Vaderland lantas memberikan kepercayaan kepada Win Van Rijs untuk mencari lahan di Rote Ndao.
Dalam perjalanannya, Win Van Rijs menggandeng Yulia. Disepakatilah kedua pihak untuk melakukan pembayaran melunasi lokasi investasi secara bertahap. Namun setelah uangnya diberikan sebesar Rp 1 miliar lebih, ternyata lahan dan surat kepemilikan tanah tak kunjung diselesaikan oleh terlapor.
“Ada 18 titik yang direncanakan dengan luas lahan mencapai kurang lebih 84 hektare. Tapi sampai sekarang baru tiga titik saja, sisanya ada indikasi digadaikan ke pihak ketiga oleh para terlapor,” jelas Melkianus.
Sebelum laporan polisi dibuat, lanjut Melkianus, perusahaan terlebih dahulu melayangkan somasi sebanyak tiga kepada Win dan Yuliana. Bahkan, kata Melkianus lagi, pihaknya pernah meminta keduanya untuk datang ke Bali guna menyelesaikan persoalan tersebut, namun tidak diindahkan.
“Perusahaan juga pernah mengirimkan pengacara ke Rote menemui Win dan tuan tanah untuk melunasi sisa pembayaran tanah. Namun uang yang dibawa tidak dibayarkan ke tuan tanah untuk pelunasan sisa pembayaran,” beber Melkianus.
Akibat ketidakberesan itu, Melkianus menduga, ada kong kali kong antara terlapor sehingga tidak mengakui aset tanah yang dibeli dari uang perusahaan itu.
“Aset perusahaan diklaim sebagai milik pribadi terlapor,” jelasnya.
Akibat perbuatan itu, kata Melkianus, perusahaan menugaskan dirinya bersama pengacara untuk melaporkan keduanya ke Polda NTT dengan sangkaan penipuan.
Namun setelah dilaporkan ke Polda NTT pada tahun 2017 dan setelah penetapan tersangka, tidak ada kemajuan proses hukum dalam kasus ini.
“Hampir dua tahun kasusnya mandek. Kita bertanya-tanya masalah dimana, apakah kekurangan dokumen, atau apakah pengacara yang tidak aktif dan lain-lain,” tanyanya.
Melkianus mengaku sudah putus asa dan hampir memutuskan untuk menyudahi persoalan ini, karena kalau dilanjutkan hanya membuang waktu dan biaya. Namun Ben van Wijhe dan Niko Vaderland tetap bersamangat untuk memproses hukum kasus ini.
“Kalau masalah ini tuntas saya yakin investor yang lebih besar akan datang berinvestasi di Rote. Untuk itu proses kasus ini harus tetap dilanjtutkan,” pintanya.
Melkianus menaruh harapan penuh kepada penyiddik Polda NTT untuk menuntaskan kasus ini agar bisa sampai di meja persidangan pengadilan.
“Itu saja harapan kami agar kasus ini segera disidangkan. Kami tidak mau berspekulasi macam-macam. Biarlah pengadilan yang memutuskan. Pengadilan adalah jalan terakhir untuk menemukan kebenaran kasus ini,” pungkasnya. (sp/yl)