sergap.id, MBAY- Karena rusak, jembatan Alorongga atau satu-satunya jembatan yang menghubungkan Mbay, Kabupaten Nagekeo dengan Riung, Kabupaten Ngada mulai diperbaiki oleh CV Fajar sejak awal September 2019.
Sejauh ini, perbaikan jembatan yang memakai Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) sebesar Rp 2,3 miliar itu baru mencapai sekitar 40 persen.
Agar masyarakat bisa pulang pergi (PP) Mbay – Riung, CV Fajar membuat jembatan darurat dan jalan alternatif yang melewati sungai Aesesa serta area persawahan Mbay Kiri yang kini belum difungsikan sebagai sawah produktif.
Dan, akibat musim panas dan intensitas lalu lalang kendaraan yang tinggi, jalan alternatif tersebut menjadi sangat berdebu. Bahkan di tempat-tempat tertentu, ketebalan debu bisa mencapai 30 centi meter.
Sayangnya, hingga kini tak ada upaya penyiraman debu untuk mengurangi dampak buruk bagi pengendara atau masyarakat yang tinggal di sekitar jalan alternatif, seperti warga Kampung Aloripit, Kelurahan Mbay I, Kecamatan Aesesa, Nagekeo.
Pasalnya, pengalihan arus kendaraan pada jalan berdebu itu menyebabkan debu berterbangan mengotori rumah warga dan membuat warga, terutama anak-anak, setiap hari terpaksa menikmati udara yang tidak segar.
“Seharusnya sebelum jembatan itu di bongkar, kontraktor sudah menyiapkan jalur alternatif yang baik. Bukan seperti sekarang ini! Kontraktor enak dapat untung dari proyek itu, kami malah susah hidup,” ujar Don, salah warga warga Aloripit.
Don berharap perbaikan jembatan dapat selesai sebelum musim hujan tiba.
“Sekarang sudah dekat musim hujan. Kalau terjadi banjir, jembatan alternatif ini pasti tersapu banjir, dan jalan alternatif di tengah sawah itu pasti berlumpur. Otomatis lalu lintas menjadi lumpuh,” katanya.
Menurut dia, setiap hari, jika ada truck atau kendaraan pribadi yang sekali lewat dua atau tiga buah bersamaan, maka akan terlihat kabut debu yang sangat tebal.
“Para pengendara harus berhati-hati, di siang hari atau malam hari. Karena debu hampir seperti kabut asap yang menutup padangan pengendara,” ucapnya, mengingatkan.
Kamis (17/10/19) kemarin, terlihat puluhan kendaraan melintasi jalan ini. Debu berterbangan mengganggu pandangan mata dan kesehatan pernapasan.
Jika kondisi ini dibiarkan maka sangat mungkin warga sekitar akan terkena penyakit Infeksi Saluran Pernafasan Akut atau ISPA.
Ambros, salah seorang warga Kelurahan Towak, Kecamatan Aesesa, Nagekeo, mengeluhkan hal yang sama.
Kepada SERGAP dalam bahasa lokal, Ambros mengatakan, “Eja, ite o ngalang mata, sampa leson-leson poto lewat salang oyo. Rawuk ana tembung, ite nu ghu ghes nai saumpu-saumpu ( Eja kita bisa mati kalau tiap hari lewat jalur ini, debu banyak, kita mau bernapas saja susah)”.
Ambros mengaku kesal terhadap pembuatan jalan alternatif yang tidak memikirkan dampak kesehatan bagi pengendara dan masyarakat sekitar.
Edel, pengendara sepeda motor yang dimintai komentarnya, mengatakan, polusi udara yang berasal dari jalan alternatif itu sangat berdampak buruk bagi masyarakat.
“Setiap hari saya lewat di sini. Sangat menyiksa. Tetapi mau bagaimana lagi, karena ini satu-satunya jalan yang harus saya lewati untuk bisa sampai ke Mbay,” katanya.
“Bukan hanya masyarakat di sini (yang tinggal di dekat jalan alternatif) saja yang tiap hari mandi debu, kami yang hanya lewat di sini juga makan debu. Karena itu setiap hari saat dari rumah, saya selalu buka sepatu. Nanti sampai di kali (jembatan alternatif) baru cuci kaki dan pakai kembali sepatu,” beber Edel.
Carolina Halo, warga Enek, Kelurahan Mbay II, Aesesa, Nagekeo, juga mengeluh soal keberadaan jalan alternatif.
Lina adalah penjual sayur mayur yang setiap hari melewati jalur tersebut.
Lina mengaku, akibat adanya perbaikan jembatan Alorongga dan jauhnya jalan alternatif membuat ongkos ojek naik seketika.
“Biasanya (biaya) ojek (dari Pasar Danga, Mbay ke Enek) hanya Rp 10 ribu. Tapi sekarang sudah menjadi Rp 15 ribu. Setiiap hari PP Rp 30 ribu. Padahal untung jual sayur ini hanya sedikit,” keluhnya.
Gun, Direktur CV Fajar, mengakui kalau pihaknya terlambat memperbaiiki jembatan Alorongga atau perbaikan dilakukan tidak sesuai jadwal yang ditetapkan dalam Surat Perintah Mulai Kerja (SPMK).
“Memang sesuai SPMK itu tanggal 10 Mei 2019. Tapi kendala kita adalah pengadaan material non lokal yang kita datangkan dari Jawa,” kata Gun saat dihubungi SERGAP via handphone.
Gun enggan berkomentar soal keluhan debu dan jarak tempuh jalan alternatif yang dibuatnya. Namun dia memastikan penyelesaian perbaikan jembatan itu akan tepat waktu.
“Saya optimis kita akan selesai tepat waktu sesuai kalender kerja,” tegasnya. (sg/sg)