SIKAP mendua Pimpinan Gereja lokal menghebohkan Publik Kabupaten Malaka sepekan terakhir. Deken di Kabupaten baru itu tampak “gagap” dalam melontarkan kritiknya terkait sejumlah isu sosial.
Inkonsistensi petinggi Gereja bisa ditelusuri dalam siaran pers yang tersebar melalui berbagai pltaform media.
Dalam dokumen tertanggal 15 Mei 2020 tersebut Deken membantah kutipan langsung dalam pemberitaan obor-nusantara.com edisi 12/5/20 yang disinyalir menyudutkan para juru tulis: “…jangan sampai kamu juga sudah dibeli oleh Pemda seperti wartawan di Malaka,” demikian sang Deken.
Ia menarik pemberitaan media tersebut dan dengan demikian meninggalkan kesan para wartawanlah yang teledor mengutip narasumber. Apesnya, ralat yang dibuat Deken justru menjadi bumerang sebab wartawan ternyata mengantongi rekaman suaranya. Bocoran rekaman tersebut justru mengafirmasi ucapan literal Deken sebagaimana dilansir media terdahulu.
Belakangan jurnalis sergap.id yang mempublikasikan hasil wawancaranya dengan Deken ditetapkan sebagai tersangka terkait sebuah masalah, yang konon, “didaur ulang” (18/5/2020). Sejumlah pihak menduga ada upaya membungkam suara kritis dalam kasus tersebut.
Dalam pusaran kasus seperti ini Gereja lokal benar-benar diuji komitmennya; ke manakah kiblat Gereja?
Dramaturgi harmoni
Dalam bahasa yang sederhana, Deken sebetulnya mau mengkritisi Pemerintah, namun dia tidak ingin agar kritiknya itu diketahui publik.
Hal itu tentu sebuah ironi sebab – meminjam inspirasi nabi Yohanes dalam Injil – kritik mesti tetap diteriakkan, di tengah padang gurun sekalipun. Setiap nabi percaya bahwa batu karang dan gurun pasir bahkan mempunyai telinga untuk menguping.
Sebagaimana mayoritas warga yang menjunjung adat ketimuran, demikianpun tokoh agama Malaka ini berniat menjaga harmoni. Tali silaturahmi jauh lebih penting daripada pernyataan yang menimbulkan turbulensi. Singkatnya, kalau bisa tenang-tenang saja, mengapa mesti ribut?
Pernyataannya yang dilansir obor-nusantara.com di mata beliau – dan tentu di mata mayoritas orang Malaka – terlampau lancang. Pernyataan Deken yang dikutip media tersebut memberi kesan bahwa Pemda Malaka di-backup sejumlah juru tulis yang patuh dan setia mewartakan kisah sukses Pemerintahan.
Relasi adem-ayem yang selama ini dibangun antara Gereja dan Pemda bisa dikorbankan kalau pernyataan viral yang memojokkan Pemerintah tersebut tidak segera dibatalkan. Deken merasa perlu menganulirnya agar gejolak segera bisa dikendalikan.
Godaan untuk menjaga harmoni, menurut hemat saya, sering kali menjadi batu sandungan bagi suara profetis Gereja.
Erving Goffman (1922-1982), salah satu sosiolog yang mengembangkan teori dramaturgi mengemukakan ide tentang “panggung depan” dan “panggung belakang” dalam interaksi sosial. Hidup ini ibarat sebuah drama. Apa yang ditampilkan di atas pentas diupayakan senormal mungkin sesuai dengan tatanan atau standar sosial masyarakat agar simbol-simbol yang dipakai dalam adegan itu ditangkap dan pesannya dimengerti oleh penonton. Namun, ada panggung belakang yang kabur dan sulit ditebak.
Panggung depan bagi Gereja dalam situasi ini adalah peran sosialnya sebagai agen perubahan masyarakat. Gereja adalah partner yang dapat berjalan bersama Negara namun tidak kehilangan sikap kritis ketika nilai-nilai yang sedang diperjuangkan tampak berseberangan atau bahkan bertolak belakang dengan Negara. Jadi, Gereja mesti membiarkan diri dituntun oleh kompas ajaran moral sosialnya.
Sedangkan bagi Pemerintah, panggung depannya adalah soal realitas minimnya pelayanan publik. Tokoh-tokoh agama dipandang sebagai partner yang dapat bekerja sama untuk mendukung majunya pembangunan wilayah.
Atas dasar itu telah disimpulkan bahwa alat transportasi bagi para tokoh agama adalah sebuah solusi bagi peningkatan pelayanan publik. Eksekutif dan legislatif satu suara dan palu diketuk; 13 unit mobil untuk para tokoh agama!
Pertanyaannya: apa yang terjadi di belakang layar? Publik menghubungkan semua elemen simbolik di sekitar masalah ini dan menemukan satu benang merah; rencana bantuan mobil ini sangat berdekatan dengan perhelatan Pilkada di daerah ini. Bukankah inkonsistensi Petinggi Gereja setempat di hadapan wartawan membahasakan tentang hutang budi Gereja terhadap Pemerintah?
Sebuah Kabupaten baru seperti Malaka membutuhkan civil society yang kuat dan memiliki kesadaran politik untuk bersuara dan mengontrol jalannya pemerintahan. Dalam proses demokrasi di NTT, Gereja adalah salah satu harapan yang bisa menjadi sandaran publik untuk menyuarakan ketidakadilan dan perampasan hak-hak rakyat melalui praktik korupsi. Namun, dalam kasus di Malaka ini tampak jelas bagaimana Gereja tersandera oleh sebuah niat politik. Setulus apapun niat itu.
Kiblat Gereja
Arah keberpihakan Gereja kiranya jelas sesudah Paus Fransiskus mempublikasikan ensikliknya Evangeli Gaudium. Di dalam dokumen tersebut Paus mengimpikan profil Gereja yang tampil dalam wajah para gembala yang “berbau domba”.
Kalau ditafsir dalam konteks Malaka hari ini, gembala yang berbau domba itu adalah para tokoh agama yang peka terhadap realitas kemiskinan di Malaka. Baru-baru ini, Malaka bersama dengan sejumlah kabupaten lainnya masuk dalam daftar daerah tertinggal.
Di tengah himpitan kemiskinan dan krisis ekonomi yang mengancam di tengah pandemi covid-19, Pemerintah dan para tokoh agama malah mempertontonkan sebuah adegan miris di hadapan publik. Dana yang dikucurkan untuk belanja mobil tersebut diperkirakan mencapai 4,1 Milyar rupiah.
Masyarakat patut menyanyagkan kaburnya sikap pimpinan Gereja tersebut. Kerjasama antara Pemerintah dan Gereja bukanlah hal yang tabu sejauh kerja sama tersebut diwujudkan untuk melayani kepentingan orang banyak. Namun ada saat di mana Gereja pun mesti tegas menyampaikan sikapnya ketika sebuah kebijakan berpotensi membungkam suara profetisnya.
Gejala pembungkaman suara kritis tersebut kini tampak pula dalam penetapan tersangka wartawan Seldy Berek (Sergap.id 17/5/2020) di tengah pusaran dugaan “kongkalikong” Pemerintah dan Gereja.
Gereja lokal tampak sedang merancang keruntuhannya legitimasinya sendiri sebagai pilar kritis yang menyokong tumbuhnya demokrasi yang sehat di Kabupaten baru ini dan kini seolah membiarkan insan-insan pers ikut dibungkam oleh kekuasaan.
Publik tentu tidak mau Gereja kehilangan kompas untuk memastikan kiblatnya. Kiblat adalah menyangkut pertanyaan: ke arah mana si “kepala” mesti mengarah?
- Penulis: V. Nahak/alumnus Teologi Kontekstual Ledalero.