Memahami Subsidi BBM, Dampak dan Solusinya
Memahami Subsidi BBM, Dampak dan Solusinya

Hari Sabtu, tanggal 3 september 2022, pemerintahan Jokowi resmi menaikkan harga BBM yang berlaku tepat pkl. 14.30 WIB. Adapun jenis BBM yang mengalami kenaikan harga adalah:

  • Pertalite dari harga sebelumnya 7.650/liter menjadi Rp.10.000/liter atau mengalami kenaikan sebesar 30,72%.
  • Solar Subsidi dari harga sebelumnya Rp. 5.150/liter menjai Rp. 6.800/liter atau mengalami kenaikan sebesar 32,04%.
  • Pertamax non subsidi dari harga sebelumnya Rp. 12.500/liter menjadi Rp. 14,500/liter atau mengalami kenaikan sebesar 16,00%.

Dilihat dari harga keekonomian, maka harga keekonomian untuk pertalite adalah Rp. 17.200/liter; harga keekonomian untuk solar subsidi adalah Rp. 17.600/liter dan pertamax dengan harga keekonomian sebesar Rp. 16.000/liter.

Dengan demikian maka subsidi yang ditanggung pemerintah adalah: untuk BBM jenis pertalite sebesar Rp. 7.200/liter; untuk BBM jenis Solar Subsidi sebesar Rp. 10.800/liter; dan untuk BBM jenis Pertamax pemerintah memberikan subsidi sebesar: Rp. 1.500/liter. Soal besar bagi pemeintah adalah jika harga BBM tidak dinaikkan maka subsidi yang ditanggung pemerintah untuk pertalite adalah sebesar Rp. 9.550/liter; untuk solar subsidi sebesar Rp. 12.450/liter; dan untuk pertamax pemerintah menanggung biaya sebesar Rp. 3.500/liter. Ada berbagai alasan pemerintah menaikkan harga BBM ini diantaranya adalah APBN jebol, angsuran dan bunga hutang tidak bisa dibayar dan berbagai argumentasi lainnya yang kurang logis karena pada sisi lainnya pemerintah memberikan Bantuan Langsung Tunai (BLT) kepada lebih kurang 30 juta masyarakat miskin.

Untuk BBM jenis pertalite dan solar subsidi wajar kalau pemerintah memberikan subsidi karena lebih kurang 70% masyarakat miskin dan hampir miskin serta yang hidup tepat di garis kemiskinan mengkonsumsi jenis BBM pertalite dan solar. Tetapi untuk jenis BBM Pertamax, siapakah yang mengkonsumsinya? Mereka adalah 20% orang kaya di Indonesia yang memiliki asset triliunan, para pebisnis dan politisi yang memiliki asset milyaran. Wajarkah mereka itu disubsidi oleh Negara? Sekali-kali TIDAK…!!!! Seharusnya merekalah yang mensubsidi Negara.

Tetapi merekalah oknum-oknum yang mengambil kebijakan ini. Mereka adalah kaum OLIGARKI yang sedang menguasai ekonomi, politik dan pemerintahan saat ini. Menyedihkan….

  • DAMPAK KENAIKAN HARGA BBM

 Tujuan penyelenggaraan pemerintahan adalah: salus populi suprema lex (kesejahteraan rakyat adalah hukum tertinggi). Oleh karena itu, setiap kebijakan pemerintah adalah pencapaian kesejahteraan rakyat setinggi-tingginya. Ketika ada kebijakan yang menurunkan kesejahteraan rakyat, apalagi menyesengsarakan rakyat adalah penodaan terhadap amanat rakyat. Apapun kebijakan yang diambil pemerintah mesti menguntungkan rakyat banyak, bukan menguntungkan segelintir orang dan menyengsarakan rakyat banyak. Bahwa dalam suatu kebijakan ada yang pro dan ada yang kontra, tetapi jumlah yang kontra jauh lebih sedikit dari pada jumlah yang pro. Artinya kebijakan itu memberi nilai tambah positip kepada lebih banyak orang daripada sekelompok kecil orang.

Oleh karena itu, kebijakan menaikkan harga BBM mesti berpedoman kepada UUD 1945 pasal 33 ayat 3 yang berbunyi: Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Bahwa Minyak dan gas bumi, termasuk BBM di dalamnya, adalah sumber daya alam strategis takterbarukan yang terkandung di dalam bumi Indonesia. Minyak dan gas bumi merupakan kekayaan nasional yang dikuasai oleh negara dan mestinya dikelola untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Hal ini sesuai amanat penyusunan UU No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi yang salah satu tujuannya adalah: meningkatnya kesejahteraan dan kemakmuran rakyat. Selain itu, penyelenggaraan kegiatan usaha minyak dan gas bumi dalam UU No. 22 Tahun 2001 salah satu asasnya adalah kemakmuran bersama dan kesejahteraan rakyat banyak.

Pertanyaannya adalah: apakah kebijakan pemerintah menaikkan harga BBM per 3 September 2022 selaras dengan tujuan UUD 1945 khususnya Pasal 33 ayat 3 serta tujuan dan asas UU nomor 22 Tahun 2001 tentang minyak dan gas bumi termasuk di dalamnya adalah BBM?

Bahwa kenaikan harga pertalite sebesar 30,72%, solar subsidi sebesar 32,04% dan pertamax non subsidi sebesar 16.00% akan memberi dampak kepada kenaikan semua jenis barang dan jasa yang proses produksinya menggunakan BBM sebagai salah satu input. Di jaman industry 4.0 ini, hampir semua proses produksi barang dan jasa menggunakan BBM sebagai salah satu input pokok.

Artinya tanpa BBM proses produksi tidak akan berjalan. Dengan demikian, maka kenaikan harga BBM akan menyebabkan kenaikan harga semua barang dan jasa.

Hari ini, semua petani membutuhkan BBM sebagai input utama menggerakkan traktor untuk membajak, menggerakkan mesin pengupas; mesin penggiling. Pengangkutan sarana produksi seperti bibit, pupuk, peralatan pertanian ke pusat produksi membutuhkan BBM. Pengangkutan hasil pertanian ke pusat pengolahan dan ke pasar membutuhkan BBM. Para nelayan membutuhkan BBM untuk menggerakkan kapalnya. Mereka butuh es yang juga membutuhkan BBM. Mereka mengolah hasil ikan juga membutuhkan BBM. Para pelaku industry juga membutuhkan BBM sebagai input untuk menghasilkan produksinya. Mengangkut bahan mentah dan bahan setengah jadi serta produk akhir semuanya membutuhkan BBM. Nah… kalau semua sektor produksi butuh BBM sebagai bahas dasar proses produksi, berapa kenaikan harga yang ditanggung oleh konsumen yang adalah masyarakat petani, nelayan dan buruh?

Dengan menggunakan asumsi ceteris paribus, kenaikan harga BBM akan menaikkan harga produk sebesar kenaikkan harga BBM. Dengan demikian maka untuk setiap sektor produktif yang menggunakan pertalite sebagai bahan dasar maka diperkirakan akan terjadi kenaikan harga sebesar 30,72%; untuk sektor prosuktif yang menggunakan solar subsidi sebagai bahan dasar maka akan terjadi kenaikan harga produk sebesar 32,03% dan untuk sektor produktif yang menggunakan bahan dasar pertamax akan terjadi kenaikan produk akhir sebesar 16.00%.

Apakah ini menaikkan kesejahteraan masyarakat? Jelas tidak. Akan semakin banyak masyarkat yang sebelum ini berada pada garis kemiskinan akan menjadi miskin; terjadi penurunan kesejahteraan. Apakah ini tujuan bernegara? Tidak!!! Pemerintah telah menyengsarakan rakyatnya. Diperlukan kebijakan yang pro rakyat miskin…!!!!

  • SOLUSI 

Bagaimana cara membantu rakyat miskin sekaligus membantu Negara? Apa solusinya? Kita butuh alternative kebiajakan yang populis. Kebijakan yang memihak kepentingan rakyat banyak.

  1. Kita mengenal BBM impor dan produksi dalam negeri. BBM impor itu minyak mentahnya sebahagian dari Indonesia. Jika sampai hari ini harga BBM impor jauh lebih murah dari pada hasil produksi dalam negeri, maka sebaiknya pemerintah berkonsentrasi mengeksport minyak mentah dan mengimpor Tutup semua kilang minyak dalam negeri karena hanya membebani Negara dan masyarakat. Jika harga keekonomian BBM dalam negeri jauh lebih mahal dari pada luar negeri maka sebaiknya pemerintah berkonsentrasi untuk mengimpor BBM dengan harga yang jauh lebih murah dari pada memproduksi dalam negeri.
  2. Pembangunan fisik itu pilihan. Antara pembangunan fisik jalan, jalan tol, bendungan, jembatan, rel kereta api, pembangunan ibu kota Negara Nusantara (IKN) adalah salah satu pilihan kebijakan yang dapat ditunda. Penundaan pembangunan IKN apakah menurunkan kesejahteraan rakyat? Jelas tidak dan tidak ada korelasinya sama sekali dengan peningkatan kesejahteraan rakyat. Hari ini kita butuh anggaran Rp. 466 triliun untuk membangun IKN. Apa urgensinya? Pemerintah lebih memilih tidak meningkatkan kesejahteraan rakyatnya daripada membangun proyek fisik infrastruktur seperti IKN hanya karena mau mengejar prestise. Supaya dikenang? Sampai kapan? Segala pembangunan fisik akan berlalu sejalan berlalunya waktu… Kasihan…!!!!
  3. Upaya memberi BLT sebesar Rp. 600.000,- sebagai akibat kenaikkan harga BBM selama empat bulan ke depan dan dicicil setiap bulan Rp. 150.000,- bukankah ini sebuah pembodohan berkedok BLT? Sebegitu murahkah masyarakat kita dininabobokan dengan cara kekanak-kanakan? Apalah artinya Rp. 150.000,- dibandingkan dengan kenaikkan harga total pada kisaran 26,25%? Kita bersiap-siap jika inflasi mendekati dua digit atau malah menembus angka dua digit; resesi sudah tentu di depan mata. Mengapa? Harga beras pasti Harga minyak goreng dan tepung terigu apalagi. Harga kopi, gula dan teh sudah pasti naik. Harga jagung pasti naik. Harga ikan kering pasti naik. Harga pakaian pasti naik. Harga sandal jepit pasti naik. Ongkos transportasi darat, laut dan udara pasti naik. Bisakah uang tambahan Rp. 150.000,- per bulan mampu membeli tambahan kenaikan harga untuk barang kebutuhan pokok yang begitu banyak? Jawabannya … TIDAK…!!!! BLT Rp. 150.000,- hanya mampu membeli 15 liter pertalite dalam sebulan; lalu… bagaimana dengan kenaikan harga bahan kebutuhan pokok yang lain? BLT Rp. 150.000/bulan jika dikonversi ke setiap hari maka dalam sehari masyarakat menerima Rp. 5.000/hari. Bisa beli apakah uang Rp. 5.000? Beli solar per liter tidak mencukupi; apalagi pertalite dan pertamax? Sesungguhnya penderitaan itu sedang ada di depan mata, tetapi siapa yang peduli?
  4. Salah satu solusi yang ekstrim adalah: pemerintah mencabut semua jenis subsidi. Subsidi terhadap BBM, BLT, pupuk, bibit dan beberapa jenis subsidi lainnya; seperti dikemukakan pemerintah, tidak sedikit berbagai jenis subsidi tersebut dinikmati oleh bukan kelompok sasaran. Tidak sedikit kaum menengah atas yang menikmati subsidi dan mengabaikan kelompok masyarakat penerima manfaat. Pemerintah sudah mengetahui bahwa subsidi salah sasaran, apakah solusinya adalah dengan maikkan harga BBM? Saat ini pemerintah mempunyai data yang lengkap tentang para janda, fakir miskin dan anak terlantar, by name, by adress. Oleh karena itu, alangkah baiknya jika total besaran dana subsidi hari ini yang diperkirakan Rp. 500T – Rp. 600T dialokasikan kepada masyarakat penerima manfaat yang jumlahnya sekitar 30 juta orang. Dengan demikian setiap orang miskin mendapat subsidi dari Negara yang besarannya disesuaikan dengan upah minimum regional. Tentu ada yang menerima di bawah dua juta rupiah tetapi ada juga yang menerima di atas dua juta rupiah. Setiap terjadi dinamika harga minyak, baik meningkat maupun menurun, masyarakat tidak terpengaruh dengan dinamika tersebut. Masyarakat sudah memberikan amanah kepada pemerintah untuk mengaturnya. Ini menjawab amanat UUD 1945 pasal 34 ayat 1 dan 2 yang isinya:
  • Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh
  • Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat

Mari kita berpikir jernih. Mendahulukan kesejahteraan rakyat atau mendahulukan pembangunan fisik dan membiarkan rakyat menderita? (Penulis: Thomas Ola Langoday/Dosen FEB Unwira Kupang)