Abraham Paul Liyanto
Abraham Liyanto

sergap.id, KUPANG – Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) sudah waktunya memiliki Undang-Undang (UU) tersendiri. Hal ini untuk mempercepat pembangunan dan lebih bisa leluasa menata wilayah.

“Sampai sekarang masih bergantung pada UU yang dibentuk tahun 1958. Kan tidak mungkin tetap berlandaskan pada UU itu, sementara perkembangan NTT sudah sangat jauh,” ujar Anggota Komite I DPD RI, Abraham Liyanto di Jakarta seperti dikutip SERGAP dari JPNN, Rabu (31/3/21).

Abraham menjelaskan, dasar hukum pembentukan Provinsi NTT adalah Undang-Undang Nomor 64 Tahun 1958 tentang Pembentukan Tiga Daerah Tingkat I (Provinsi), yaitu Bali, Nusa Tenggara Barat (NTB) dan NTT.

UU itu dibentuk saat Indonesia masih dalam bentuk Negara Republik Indonesia Serikat (RIS). RIS sendiri berdasarkan konstitusi Undang-Undang Dasar Sementara (UUDS) tahun 1950 dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah.

Sejauh ini Provinsi Bali sudah mengajukan Rancangan UU sendiri ke DPR dan sudah masuk dalam Program Legislatif Nasional (Prolegnas).

“Jika Bali sudah ajukan RUU sendiri, NTT harus segera mengikuti. Pemerintah Provinsi NTT dan DPRD NTT harus proaktif. Bali sudah melangkah di depan. Kami di parlemen pusat menunggu apa yang dikirim dari daerah agar bisa diproses. Lebih cepat lebih baik,” ujar Abraham.

Menurutnya, pembentukan UU tersendiri bagi NTT sangat penting. Karena berbagai potensi di NTT belum dimanfaatkan secara optimal. Hal ini karena keterbatasan kewenangan akibat UU yang mengaturnya.

Karena ITU, Dengan UU yang baru, diharapkan berbagai kekhasan Provinsi NTT bisa dieksplorasi lebih optimal, misalnya tentang kekhasan NTT sebagai provinsi kepulauan yang hingga kini belum bisa diberdayakan karena UU membatasinya.

Temasuk juga kekhasan NTT sebagai penghasil kain tenun dan NTT sebagai provinsi pariwisata.

“Keleluasan dalam pengelolaan sektor-sektor itu dibutuhkan masyarakat NTT. Jangan semua dikendalikan pemerintah pusat. Ini menghambat perepatan pembangunan di NTT,” tutur Abraham.

Abraham yang juga Ketua Kadin Provinsi NTT ini menyebut, substansi yang ada dalam UU No 64 Tahun 1958 sudah tidak sesuai dengan perkembangan wilayah Provinsi NTT.

Sensus tahun 2019 menyebutkan, jumlah penduduk NTT mencapai 5,46 juta, dengan laju pertumbuhan penduduk sebesar 2,07 persen. Di sisi lain, sampai tahun 2020, wilayah NTT sudah dimekarkan menjadi 22 kabupaten dan kota. Kemudian wilayah yang menjadi bagian Provinsi NTT telah berkembang.

“Provinsi NTT adalah daerah kepulauan yang harus dilindungi. Laut di NTT memiliki luas empat kali luas daratan dan terdapat 1.192 pulau. NTT merupakan rumah bagi 500 jenis terumbu karang, 300 jenis ikan dan tiga jenis kura-kura serta biota laut unggul lainnya,” beber Abraham.

Dia berkeyakinan ketika NTT diatur dalam UU tersendiri akan melahirkan pembangunan NTT yang menyeluruh, terencana, terarah dan terintegrasi dalam satu gugus provinsi tersendiri. Kemudian dapat memasukkan NTT dalam Provinsi Kepulauan, di mana Provinsi Kepulauan harus mendapat perhatian berbeda dengan Provinsi Daratan.

Sasaran lainnya adalah menjadi landasan dalam perjuangan pemekaran provinsi NTT yang sudah dinyatakan sendiri oleh Presiden Jokowi beberapa waktu lalu.

“Selain itu bisa menjadi landasan untuk membentuk Triangle City yang melibatkan kerja sama Kupang (Indonesia), Dili (Timor Leste) dan Darwin (Australia),” ujar Abraham.

Anda sepakat atau setuju dengan pernyataan Abraham Liyanto? Tulis koemntar anda di bawah artikel ini! (fri/jpnn)

1 Komentar

KOMENTAR ANDA?

Silakan masukkan komentar Anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini