Valeri Guru, Kasubag Pers dan Pengelolaan Pendapat Umum Biro Humas dan Protokol Setda Provinsi NTT
Valeri Guru, Kasubag Pers dan Pengelolaan Pendapat Umum Biro Humas dan Protokol Setda Provinsi NTT.

PANDEMI Corona Virus Disease 2019 atau Covid-19 beberapa bulan terakhir tidak hanya di Indonesia tetapi juga di Provinsi NTT telah mengusik nurani dan mata bathin public. Nyaris seluruh aktivitas kehidupan harian yang berlatar pemerintahan, bisnis, agama, dan sosial budaya lainnya “lumpuh” tak berdaya di hadapan virus corona. Covid-19 telah merombak seluruh tatanan kehidupan anak manusia; tanpa kita semua menyadarinya.

Sebagai anak bangsa yang dilahirkan di Bumi NTT, saya bersyukur mendapat kesempatan untuk menjadi editor untuk Buku Pancasila Lahir di Bumi NTT (Pidato Soekarno di Hadapan Sidang BPUPKI 1 Juni 1945) tahun 2017 yang diterbitkan Dinas Perpustakaan Provinsi NTT dan Buku Pancasila dalam Perspektif Kaum Milenial tahun 2019 yang diterbitkan Smart Surabaya yang bekerja sama dengan Biro Humas dan Protokol Setda Provinsi NTT.

Nah, secuil pengalaman itulah yang ingin dibagikan saat momentum 1 Juni 2020; mengenang kembali Hari Kelahiran Pancasila. Karena sejak tahun 2017 yang lalu, tanggal 1 Juni ditetapkan sebagai hari libur nasional. Libur untuk memperingati Hari Lahirnya Pancasila; dan bukan libur untuk berhenti “menghidupkan roh atau spirit” nilai-nilai Pancasila yang melandasi peri kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

Pancasila berasal dari Bahasa Sansekerta (bahasa kasta Brahmana di India), yang berbeda dengan bahasa prakerta (bahasa kaum jelata). Menurut Prof. H. Moh. Yamin, Pancasila memiliki dua arti. Pertama, Panca berarti lima; Syila dengan satu I berarti batu sendi, alas atau dasar; sedangkan  Syiila dengan dua I berarti peraturan yang penting, baik dan senonoh. Dari kata Syiila diturunkan kata susila (bahasa Indonesia) yang berarti “hal yang baik”. Dengan demikian kata Pancasyiila berarti batu sendi yang lima, berdasarkan lima aturan yang penting, baik dan senonoh (bandingkan Dr. Philipus Tule, SVD dalam artikel berjudul Rekonstruksi Historis: Nilai-nilai Pancasila Galian dari Bumi NTT, Buku Pancasila Lahir di Bumi NTT (Pidato Soekarno di Hadapan Sidang BPUPKI 1 Juni 1945) hal 53).

Karena itu, ketika Bung Karno yang juga sang Proklamator Kemerdekaan RI, tampil dalam Pidato di depan sidang BPUPKI, tak pernah ada yang menduga jika akhirnya isi pidato tersebut menjadi tonggak sejarah teramat “keramat” yang sungguh sangat berarti bagi kemerdekaan bangsa Indonesia. Sebab di dalam pidato itu, Bung Karno mencetuskan ide cerdas nan brilian; yang kita kenal sebagai dasar negara Indonesia Merdeka yang dalam bahasa Belanda disebut : philosofische grondslag. Philosofische grondslag itulah fundamen, filsafat, pikiran yang sedalam-dalamnya, jiwa, hasrat yang sedalam-dalamnya untuk di atasnya didirikan gedung Indonesia Merdeka yang kekal dan abadi.

Kisah BPUPKI Bersidang

Pemerintah Jepang membentuk BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia) atau dalam bahasa Jepang disebut : Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai. Pengangkatan pengurus dan anggota BPUPKI diumumkan pada 29 April 1945.

BPUPKI terdiri dari sekitar 66 tokoh penting Indonesia dari berbagai lapisan masyarakat. Diantaranya terdapat nama-nama Dr. Radjiman Wediodiningrat, Ki Hadjar Dewantara, Ki Bagoes Hadikoesoemo, K.H. Wahid Hasyim, dan K.H. Masjkoer. Di antara para anggota BPUPKI, terdapat sebilan orang muslim sebagai anggota, yaitu Ki Bagoes Hadikoesoemo (Masyumi), H.Agus Salim (Partai Penyadar), Abikoesno Tjokorosoejoso (PSII), Abdul Kahar Moezakir (Muhammadiyah), K.H. Abdul Wachid Hasjim (NU), K.H. Mas Mansyur (Muhammadiyah), H. Ahmad Sanusi, K.H. Abdul Halim, K.H. Masjkoer, dan seorang Muslim lainnya sebagai amggota tambahan, yaitu K.H. Abdul Fatah Hasan. Mereka berperan penting dalam mematangkan perumusan Pancasila dan rancangan Pembukaan UUD (Undang-Undang Dasar).

Pada hari terakhir sidang pertama BPUPKI tanggal 1 Juni 1945, Soekarno menyampaikan pidato. Salah satu isi pidatonya adalah pengajuan 5 asas negara yang dia sebut “Pancasila” dengan rincian sila:

  1. Kebangsaan Indonesia
  2. Internasionalisme
  3. Perikemanusiaan, Mufakat, atau Demokrasi
  4. Kesejahteraan Sosial
  5. Ketuhanan

Usulan Soekarno mengenai dasar negara itu mendapat sambutan hangat dari para anggota BPUPKI. Setelah Soekarno berpidato, Ki Hajar Dewantara berbicara kepada seluruh peserta sidang: “saudara-saudara sekalian, mari kita terima seluruhnya apa yang diusulkan oleh Soekarno ini.” Padahal Ki Hajar Dewantara sebelumnya mengusulkan beberapa dasar negara yang lain.

Setelah sidang pertama BPUPKI selesai, para peserta sidang kemudian membentuk panitia kecil berjumlah sebilan orang untuk menggelar sidang lanjutan. Di sini terjadi perdebatan sengit seputar rumusan asas negara. Kelompok nasionalis yang terdiri dari Soekarno, Hatta, A. A. Maramis, Muhammad Yamin, dan Achmad Soebarjo berdebat dengan kelompok Muslim, yaitu Abikoesno Tjokrosoejoso, Abdul Kahar Moezakir, H. Agus Salim, dan Abdul Wahid Hasjim.

Meski rapat berlangsung dalam perdebatan sengit, namun mereka akhirnya berhasil mencapai mufakat dengan disahkannya dokumen pembukaan rancangan UUD Indonesia pada 22 Juni 1945. Muhammad Yamin menamai dokumen ini sebagai Piagam Jakarta (The Jakarta Charter). Kemudian BPUPKI menerima Piagam Jakarta sebagai Mukadimah UUD pada 11 Juni 1945. Di dalamnya tercantum lima asas negara (Pancasila) walau agak berbeda dengan versi Soekarno, yaitu:

  1. Ketuhanan
  2. Kemanusiaan
  3. Persatuan
  4. Demokrasi
  5. Keadilan Sosial

Kekalahan Jepang dan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia kian dekatnya kekalahan Jepang di medan Perang Pasifik, Jepang lantas berinisiatif membentuk PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia) atau dalam bahasa Jepang disebut : Dokuritsu Junbi Inkai. Sidang pertama PPKI berlangsung pada 7 Agustus 1945. Di dalam PPKI, terdapat empat tokoh Muslim sebagai anggota, yaitu Ki Bagoes Hadikoesoemo, Abdul Wahid Hasjim, ditambah tokoh Islam daru Sumatera dan Kalimantan.

Tugas PPKI adalah menyelesaikan dan mengesahkan rancangan UUD (Piagam Jakarta) serta dasar negara (Pancasila). Dengan terbentuknya PPKI, BPUPKI secara otomatis bubar. Sidang kedua PPKI direncanakan akan diadakan pada 16 Agustus 1945. Namun, terjadi perkembangan drastis pada tanggal tersebut, yaitu terjadimya peristiwa Rengasdengklok. Setelah menemui Marsekal Terauchi di Dalat, Vietnam, Soekarno dan Hatta dibujuk oleh para pemuda untuk menyingkir ke asrama pasuka PETA (Pembela Tanah Air) di Rengasdengklok. Tokoh pemuda yang membujuk Soekarno dan Hatta antara lain Soekarni, Wikana, Singgih, serta Chairul Saleh.

Mereka menuntut agar Soekarno dan Hatta segera memproklamasikan Kemerdekaan Indonesia, karena di Indonesia terjadi kevakuman kekuasaan akibat menyerahnya Jepang kepada sekutu. Namun, Soekarno dan Hatta menolak permintaan tersebut dengan alasan menunggu kejelasan mengenai penyerahan Jepang. Alasan lain yang berkembang adalah Soekarno menetapkan waktu yang tepat untuk kemerdekaan Republik Indonesia, yakni dipilihnya tanggal 17 Agustus 1945 yang bertepatan dengan tanggal 17 Ramadhan, bulan suci bagi kaum Muslim.

Proklamasi kemerdekaan kemudian diakukan pada tanggal 17 Agustus 1945. Soekarno dan Hatta membacakan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia di halaman rumah Soekarno di jalan Pegangsaan Timur 56, Jakarta. Sehari dalam sidang PPKI, Soekarno secara aklamasi dipilih menjadi Presiden pertama Republik Indonesia. Dalam pidato pembukaan menjelang pembacaan teks proklamasi kemerdekaan, dia mengatakan bahwa meski sebenarnya kita bekerja sama dengan Jepang, sebenarnya kita percaya dan yakin serta mengandalkan kekuatan sendiri.

Beberapa detik setelah Soekarno membacakan teks proklamasi Kemerdekaan pada 17 Agustus 1945, negara Indonesia lahir dengan Piagam Jakarta sebagai Mukadimah UUD nya. Di dalam Piagam ini, tepatnya pada bagian dasar negara (Pancasila), tertulis demikian; “… Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada: Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya…”.

Pada tangaal 18 Agustus 1945,  Soekarno dan Moh. Hatta diangkat oleh PPKI menjadi Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia. Pada hari yang sama terjadi perubahan signifikan terhadap Piagam Jakarta. Perdebatan seputar asas negara pun kembali terjadi. Para tokoh yang terlibat dalam perdebatan kedua itu adalah antara kalangan nasionanalis yaitu Soekarno, Hataa dan Kasman Singodimejo, dengan kalangan Muslim yaitu KI Bagoes Hadikoesoemo, Abdul Qahar Muzakkir, dan Teuku Moh Hasan.

Kali ini, pihak Muslim mengalah kepada kelompok nasionalis karena Soekarno berjanji : “Bahwa ini adalah UUD sementara, UUD darurat, Undang-undang kilat. Nanti enam bulan lagi MPR terbentuk. Apa yang tuan-tuan dari golongan Islam inginkan, silakan perjuangkan di situ”. Akhirnya delapan kata terakhir dari Piagam Jakarta disetujui untuk dihapus dan diganti dengan kalimat : “Yang Maha Esa”. Tetapi, setelah enam bulan berlalu, MPR yang dijanjikan Soekarno tidak pernah terbentuk.

Pada 29 Agustus 1945, pengangkatan menjadi Presiden dan Wakil Presiden dikukuhkan oleh KNIP (Komite nasional Indonesia Pusat). Pada 19 September 1945, kewibawaan Soekarno dapat menyelasaikan peristiwa lapangan Ikada dengan tanpa pertumpahan darah, dimana 200.000 rakyat Jakarta yang bentrok dengan pasukan Jepang dan masih bersenjata lengkap.

Pasukan Sekutu yang dipimpin oleh Letnan Jenderal Sir Philip Cristison mengakui kedaulatan Indonesia secara de facto setelah dia mengadakan pertemuan dengan Presiden Soekaro. Presiden juga berusaha  menyelesaikan krisis di Surabaya, namun akibat provokasi yang dilakukan oleh pasukan NICA (Belanda) yang membonceng sekutu, maka terjadilah peristiwa 10 November 1945 yang antara lain menewaskan Brigadir Jenderal A.W.S. Mallaby.

Karena banyak provokasi di Jakarta pada waktu itu, Presiden Soekarno akhirmya memindahkan Ibukota Republik Indonesia dari Jakarta ke Yogyakarta. Soekarnao sendiri memutuskan untuk hijrah ke Yogyakarta dan memimpin perjuangan dari kota itu. Sikapnya diikuti oleh Wakil Presiden Moh. Hatta dan para pejabat  tinggi negara lainnya.

Selama revolusi kemerdekaan, sistem pemerintahan berubah menjadi semi-presidensial (double-executive). Presiden Soekarno sebagai kepala negara dan Sutan Sjahrir sebagai Perdana Mentri/Kepala Pemerintahan. Hal ini terjadi karena adanya maklumat Wakil Presiden no.X, dan maklumat pemerintah bulan November 1945 tentang partai politik. Hal ini ditempuh agar Republik Indonesia dianggap sebagai negara yang demokratis.

Meski sistem pemerintahan berubah. Pada masa revolusi kemerdekaaan, kedudukan Presiden Soekarno tetap paling penting, terutama dalam menghadapi peristiwa Madiun 1948 serta saat Agresi Militer Belanda II yang menyebabkan Presiden, Wakil Presiden, dan sejumlah pejabat tinggi negara ditahan oleh Belanda. Meskipun sudah ada Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) yang dipimpin oleh Sjahruddin Prawiranegara, namun dalam kenyataannya dunia internasional dan situasi dalam negeri tetap mengakui bahwa Soekarno-Hatta adalah pemimpin Indonesia yang sesungguhnya. Artinya, kebijakan kedua tokoh inilah yang bisa menyelesaikan sengketa Indponesia-Belanda. Setelah Konferensi Meja Bunda di Den Haag, Belanda mengakui Kedaulatan Republik Indonesia. Soekarno dan seluruh jajaran pemerintah RI pun kembali ke Jakarta.

Pancasila Produk Budaya bukan Politik

Sebagai anak NTT mustinya ada rasa bangga dan bersemangat ketika merayakan Hari Kelahiran Pancasila maupun Hari Kesaktian Pancasila pada setiap tanggal 1 Oktober. Mengapa ? Karena, Pancasila, yang lahir di Ende-Flores itu, merupakan buah permenungan asketis dari seorang Soekarno. Pancasila tidak lahir dalam sebuah hiruk pikuk modernitas. Pancasila hadir dalam sepi dan diam. Sepi yang hidup dan diam yang bergerak.

Sosiolog Undana Kupang, Lasarus Jehamat dalam artikel yang berjudul Menulis Pancasila dan Pancasila Menulis (ibid, hal 187) menulis catatan sejarah menunjukan bahwa pada tanggal 1 Juni 1945 Soekarno mencetuskan sebuah gagasan penting mengenai dasar Negara Indonesia yang disebut Pancasila. Sebagai dasar, Pancasila bukanlah produk negara dalam aspek politik. Pancasila adalah produk bangsa dalam konteks sosial budaya. Sebagai produk bangsa, bukan berarti Pancasila tidak berhubungan dengan negara. Sebab, sebagai sebuah bangsa besar, Indonesia harus mendirikan sebuah negara dua bulan berikutnya yakni tanggal 17 Agustus 1945.

Mengapa dasar negara tidak dilahirkan dalam konteks politik tetapi dalam langgam budaya bangsa? Soekarno dan para pendiri bangsa sadar benar bahwa sebagai sebuah entitas politik, negara memiliki banyak kepentingan. Ruang politik menurut mereka terlampau licin dan cair. Negara sebagai sebuah entitas politik bisa membelokan arah dan tujuan perjuangan bangsa. Karena itu, nilai Ketuhanan, Kemanusiaan, Persatuan, Demokrasi dan Keadilan yang telah tumbuh dan berkembang dalam kancah berbangsa Indonesia menjadi tanpa makna akhirnya jika bermain di level politik.

Nilai-nilai Pancasila tetap Relevan?

Meski Pancasila sebagai produk sosial budaya masyarakat Indonesia, tetapi hingga kini konstruksi pemikiran yang komprehensif mengenai Pancasila belum pernah muncul. Pengalaman ini menunjukkan bahwa Pancasila terus mengalami kontekstualisasi sehingga nilai-nilainya tetap memiliki relevansi dengan konteks yang lebih actual.

Terasa sangat penting ditegakkan kembali nilai-nilai Pancasila yang telah terbukti secara instrumental, sebagai alat pemersatu bangsa. Betapa pentingnya Pancasila sebagai dasar falsafah bangsa tidak hanya dipahami berdasarkan teksnya saja, yakni di dalamnya memuat lima sila yang menjadi falsafah hidup bangsa Indonesia; tetapi juga harus dipahami dari konteksnya sebagai sumber hokum tertinggi yang selalu member kepastian bagi setiap insan Indonesia sejati (bandingkan tulisan Pater Gregor Neonbasu, SVD, Ph.D; Prolog yang berjudul : Pancasila dalam Perjalanan Waktu (sebuah refleksi sejarah antropologi) di dalam Buku Pancasila dalam Perspektif Kaum Milenial. Saya Pancasila. Saya Indonesia. Saya NTT. Salam Sehat…!

  • Penulis: Valeri Guru, Kasubag Pers dan Pengelolaan Pendapat Umum Biro Humas dan Protokol Setda Provinsi NTT.

KOMENTAR ANDA?

Silakan masukkan komentar Anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini