sergap.id, ENORAEN – Cinta memang mengalahkan segalanya. Dengan cinta banyak hal bisa dilakukan. Bekerjalah seolah-olah sedang jatuh cinta. Agar kerja menuai hasil yang memuaskan.
Itulah penggalan kalimat yang sering terucap dari mulut Gubernur NTT, Viktor Bungtilu Laiskodat (VBL).
Karena cinta pula, Sabtu (16/11/19) lalu, VBL menemui jemaat Gereja Ebenhaezer Bikoen, Desa Enoraen, Kecamatan Amarasi Timur, Kabupaten Kupang.
Pertemuan itu diawali dengan tatap muka di dalam gereja dan diakhiri dengan penanaman pisang di samping gereja.
VBL tidak sendiri, ia didampingi oleh Kepala BKSDA NTT, Kadis PU Provinsi NTT Maxi Nenabu, Sekretaris Dinas Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Provinsi NTT Aleks Koroh dan sejumlah wartawan.
Dalam arahannya, VBL mengatakan, perlu adanya kesadaran masyarakat untuk menjaga alam sekitar, sekaligus bersama pemerintah mengatasi masalah ketiadaan air untuk irigasi perkebunan.
“Daerah ini punya masa depan yang baik. Saya sudah perintahkan Kadis PU NTT untuk bendung air agar tidak sampai ke laut,” ujar VBL disambut tepuk tangan jemaat.
Jika sudah ada air, VBL yakin masyarakat akan terus bekerja tanpa mengenal musim.
“Daerah panas seperti (di Enorain) ini, (akan menghasilkan) buah-buahan rasa manis. Anggur terbaik pasti (akan datang) dari Pulau Timor, tidak mungkin dari Israel,” imbuhnya.
Untuk mencapai mimpi NTT Bangkit NTT Sejahtera, kata VBL, butuh peran serta semua pihak.
“Mari kita bagi tugas. Gubernur urus perbaiki jalan dan bendung air, Bupati kerahkan semua alat berat untuk mengolah lahan milik masyarakat agar bisa ditanami sayuran dan buah-buahan, Camat dan Kepala Desa menyelenggarakan festival tarian adat dan fashion show tenun ikat,” tegasnya.
Usai berdialog dan menanam pisang, VBL mengunjungi Pulau Menifon atau Pulau Menipo yang memiliki luas 2449 hektar dan masih dihuni oleh jutaan Kelelawar dan ratusan ekor Rusa (sesuai data tahun 2010 berjumlah 376 ekor).
Menurut legenda, pulau ini mulanya dihuni oleh sepasang suami istri bernama Meni (perempuan) dan Fon (laki-laki).
Jaraknya hanya sekitar 75 meter dari bibir pantai Desa Enoraen.
Pulau itu berada dalam kawasan Taman Wisata Alam (TWA) yang dikelola oleh Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Provinsi NTT.
VBL berkeinginan agar kawasan ini menjadi kawasan wisata berkelas premium.
“Kalau kita ke Skotlandia, di sana tidak ada hotel bintang empat atau bintang lima. Wisatawan menginap di rumah-rumah warga yang fasilitasnya setara dengan hotel berbintang. Itulah yang disebut dengan community based tourism = pariwisata berbasis masyarakat,” ungkapnya.
VBL juga meminta Pemerintah Desa (Pemdes) Enoraen menyiapkan narasi legenda Menipo secara baik.
“Narasi disiapkan dengan baik, tariannya harus diceritakan arti dan maknanya, sehingga orang dapat mengetahui dan menikmati apa yang disuguhkan,” pesan VBL.
Sementara itu, Penjabat Kepala Desa Enoraen, Gasper Boysala, menjelaskan, nama pulau Menifon atau Menipo diambil dari nama Meni dan Fon.
“Mereka ini sepasang suami istri yang pertama kali mendiami pulau itu,” kata Gasper kepada SERGAP, Sabtu (16/11/19).
Saat mendiami Pulau Menifon, kata Gasper, Meni dan Fon memiliki tiga anak. Anak pertama dan kedua berjenis kelamin laki-laki dan si bungsu perempuan.
Suatu hari di masa itu, Pulau Menifon dilanda Tsunami. Meni dan Fon beserta ketiga anaknya akhirnya keluar dari pulau itu dan tinggal di sebuah gua.
Tak lama kemudian Meni dan Fon meninggal dunia dan dimakamkan di gua itu.
Setelah keduanya tiada, ketiga anaknya memutuskan untuk berpisah dan mencari tempat tinggal masing-masing.
Si sulung memilih masuk ke air laut dan berubah jadi buaya. Sedangkan anak kedua pergi ke Kupang, ke sebuah tempat bernama Taimetan.
Sementara si bungsu pergi ke arah matahari terbit bernama Sonbai. Ia membawa serta sebuah kumbang air atau Kusi dalam bahasa lokal.
Itu sebabnya, jika tidak terjadi hujan di musim hujan, masyarakat setempat atau keturunannya akan berdoa meminta hujan kepadanya. Seketika hujan pun turun.
Namun hasil penelusuran SERGAP di Enoraen, menyebutkan, ada dua versi tentang asal Meni dan Fon.
Sebagian masyarakat Enoraen percaya bahwa Meni dan Fon berasal dari Naib Nunmanu, Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS).
Sementara sebagiannya lagi yakin jika Meni dan Fon berasal dari sebuah kampung nun jauh di timur Negara Timor Leste.
Walau begitu, Pulau Menifon memiliki panorama yang layak untuk dikunjungi.
Selain Rusa dan Kelelawar, di pulau itu terdapat juga buaya yang diperkirakan mencapai ratusan ekor.
“Malam hari adalah waktu yang baik untuk melihat buaya. Hanya dengan cahaya senter, kita dengan mudah melihat mereka,” kata seorang petugas BKSDA NTT yang mengaku sudah 5 tahun bertugas di Pulau Menifon. (Valeri Guru/Cis)